Friday, May 25, 2018

Rencana Tuhan dan Apa yang Kita Pahami sebagai Kebetulan


Ada bagian dalam takdir yang memang Tuhan berikan untuk kita usahakan dan kita perjuangkan. Itu sebabnya, Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali orang itu yang mau mengubah nasibnya sendiri. Hal ini tidak berarti Tuhan tidak bisa mengubah nasib seseorang—karena Beliau adalah Yang Maha Kuasa. Tuhan hanya menyediakan jalan dan pilihan hidup bagi manusia agar manusia itu sendiri yang berpikir dan belajar untuk memperjuangkan nasib terbaiknya. Apakah manusia ingin menempuh jalan kemalasan atau jalan ketekunan, semua itu kembali pada manusianya sendiri.

Namun, meski Tuhan menyisakan sebagian dimensi dalam takdir untuk kita perjuangkan, Tuhan selalu mempunyai rencana-rencananya tersendiri terhadap manusia. Ada sekian persen bagian takdir yang mutlak urusan Tuhan—yang kita tidak bisa menolaknya. Seperti urusan jenis kelamin ketika kita lahir, warna kulit kita, bentuk tubuh fisik kita, status orangtua kita, dan sebagainya. Hal-hal semacam itu adalah takdir yang sifatnya given dan tidak bisa diubah. 

Begitu pula dalam keseharian, kita pasti juga menemui kondisi ketika kita benar-benar tidak bisa menolak rencana Tuhan karena hal itu adalah bagian dari hak prerogatif-Nya. Seperti cuaca, misalnya. Jika memang esok pagi hujan, maka kita tidak bisa menolaknya. Begitu juga dengan gempa bumi, gunung meletus, dan bencana alam lain yang bersifat alami. Kita tidak bisa mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut meski kita bisa meramalkan atau memprediksi.

Perkenalan kita dengan orang-orang baru di sekitar kita juga memakai rumus yang sama. Kita tidak bisa memilih saat TK dulu berkenalan dengan siapa, saat SD berkenalan dengan siapa, atau saat ke pasar bertemu dengan siapa. Semua itu terjadi begitu saja—mengalir—tahu-tahu ketika sudah beranjak dewasa kita sudah punya banyak kenalan dan sebagian yang kita akrabi menjadi teman atau sahabat.

Secara khusus, saya juga menemui kebetulan semacam ini ketika saya bertemu dengan istri  saya. Bermula dari urusan pekerjaan dan depresi saya yang berlarut-larut. Sejak lulus kuliah, saya bekerja sebagai relawan di sebuah sekolah dasar dekat rumah. Kebetulan dengan bekerja di sekolah itu, saya bisa tinggal dekat dengan orangtua dan membantu mereka mengerjakan tugas-tugas rumah sehari-hari—termasuk tugas administrasi sekolah.

Selama kurang lebih dua tahun saya menjalani pekerjaan tersebut. Meski pemasukan yang saya terima minim, toh saya menikmatinya. Hitung-hitung mencari pengalaman, pikir saya. Walau harus diakui, saya sempat frustasi waktu itu karena sistem kerja yang kurang mengenakkan dan kecemasan kalau-kalau saya tidak bisa menemkan lowongan pekerjaan di masa depan. Terlebih lagi, ijazah saya ditujukan untuk sekolah menengah, buka sekolah dasar. Mau tak mau saya harus berpikir untuk melanjutkan karir di tempat lain yang lebih cocok dengan ijazah saya. Karena itu, begitu selesai dengan pekerjaan di SD, saya mencoba peruntungan di kota. Untungnya, tepat ketika saya berhenti bekerja di SD, saya mendapati lowongan pekerjaan di sebuah sekolah menengah swasta di kota. Saya pun melamar pekerjaan di sana dan diterima.

Dalam masa-masa awal menjalani pekerjaan itu, fokus pikiran saya hanya bagaimana membuktikan pada keluarga bahwa saya ini mampu dan bisa bekerja. Selain tentunya saya mengejar “apresiasi kemandirian” di mana saya bisa mencari uang jajan sendiri tanpa bergantung pada orangtua. Jadi selama itu, saya hanya berfokus pada perkejaan, urusan jodoh dan tetek bengek pernikahan belum menjadi prioritas. 

Tapi semuanya berubah gara-gara sebuah spidol. Jadi ceritanya, suatu siang saat jeda istirahat, saya masih bersantai menunggu jam mengajar saya di kantor. Tiba-tiba, seorang guru wanita mendatangi saya. Guru wanita itu menyodorkan sebuah spidol dan meminta saya untuk mengisikan tintanya. Saya pernah beberapa kali melihat guru wanita itu tapi saya tidak mengenalnya (belum). Status saya masih guru baru di sekolah itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan permintaan guru wanita itu, mengisikan tinta spidolnya, kemudian bergegas mengembalikannya. Tapi belum sempat ketemu, guru wanita tadi sudah kembali mengajar ke kelas. (Usil, ya).

Sejak urusan spidol tadi, saya pun bertanya-tanya tentang identitas guru wanita itu. Hingga kemudian terbesit keinginan untuk berkenalan dengannya lebih jauh. Ya, seperti perkiraan saya sebelumnya, guru wanita tadi memang seperti saya—sama-sama guru baru di yayasan itu. Hanya bedanya, dia mengampu kelas menengah atas, sementara saya mengampu kelas menengah pertama. Perbedaan inilah yang membuat saya jarang mengbrol dengan guru wanita itu. Ditambah lagi, sekolah di yayasan itu memakai sistem shift. Tidak semua guru datang setiap hari. Karenanya, dari tujuh hari dalam sepekan, saya hanya bisa memanfaatkan hari Minggu untuk bercakap dengan guru wanita itu (shift mengajar saya sama dengannya pada hari Minggu).

Dan waktu pun terus berjalan. Perkenalan saya dengan guru wanita itu semakin intens. Di luar sekolah, kami saling mentraktir makan satu sama lain, atau sekedar mengobrol di kafe. Lama-kelamaan kami pun bisa saling akrab. Suatu hari, saya mengajaknya untuk menseriusi hubungan pertemanan itu. Bagi saya, ada sisi lain dalam diri guru wanita itu yang bisa mengimbangi karakter pribadi saya. Ada semacam chemistry dan intuisi dalam pikiran saya yang mengatakan bahwa “She is your destiny”. Lebih-lebih karena keterbukaannya dalam mempelakukan orang lain tanpa merendahkannya atau menilainya dangkal dari sudut pandang yang sempit. Selain itu, latar belakang keluarga kami juga saling menemui kecocokan dan kemiripan, sehingga proses menuju hubungan yang lebih serius menjadi lebih cepat.

Dan begitulah. Hanya berselang dua belas bulan sejak pertama kali berkenalan, saya pun menikah dengan guru wanita itu. Siapa sangka, perjalanan saya ke kota yang awalnya saya niatkan untuk berkarir malah melabuhkan saya ke dermaga pelaminan. Padahal pertemuan dan pekenalan saya dengan guru wanita itu sama sekali tidak terencana. Hingga akhirnya, saya dan guru wanita itu saling menemukan kecocokan dan akhirnya memutuskan menikah.

Dalam hati, saya sangat bersyukur karena bsia menjawab harapan-harapan orangtua saya. Orangtua saya menginginkan saya agar segera mandiri dan menemukan pendamping hidup yang baik. Hal yang wajar mengingat usia saya yang sudah seperempat abad, membuat saya harus bergegas menentukan jalan hidup selanjutnya. Selain itu, saya juga bersyukur bisa dipertemukan dengan seorang wanita baik yang sangat memahami diri saya pribadi dan penuh penerimaan. Saya bersyukur bisa disandingkan dengan seorang wanita tangguh yang bersedia menjadi pendamping hidup dalam sisa umur saya. Semua itu mutlak adalah rencana Tuhan Yang Maha Kuasa.

*   * *

Begitulah kilasan kehidupan kita di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang tahu rencana-rencana Tuhan seutuhnya. Ada bagian takdir yang memang diperuntukkan bagi kita untuk diupayakan dan diperjuangkan. Namun ada pula bagian takdir yang kita tidak diberi kemampuan untuk mengontrolnya. 

Sebagai manusia, kita memang diwajibkan untuk berikhtiar, melakukan usaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takdir terbaik. Karena tidak ada takdir, selain dari apa yang kita pilih. Tapi seperti yang saya katakan, ada dimensi lain di dalam takdir kita yang berada di luar kendali kita. Ada sekian persen bagian dalam suratan takdir kita yang hanya Tuhanlah yang berkuasa penuh atasnya. Seperti misalnya perkenalan-perkenalan kita dengan orang-orang baru di sekitar kita—termasuk pertemuan kita dengan jodoh kita misalnya. Kejadian-kejadian yang bagi kita seperti kebetulan, pada dasarnya adalah bagian dari skenario Yang Maha Kuasa. Karena kebetulan-kebetulan dan kejutan itulah, hidup ini bisa menjadi lebih menarik untuk dijalani.

Teruntuk istriku, terima kasih atas perhatian dan kasing sayangnya yang tulus dan sepenuh kesabaran yang tiada henti kau beri. Untuk Tuhan, rasa syukur dan puja-puji yang tak terhingga untuk-Mu yang telah menautkan kami dalam bahtera yang Engkau ridhoi. Kiranya Engkau berkenan mempersatukan dan mendamaikan keluarga kecil kami ini dalam biduk rumah tangga yang sakinah. Aamiin.[]