Saturday, May 26, 2018

Ngomong-Ngomong Masalah Pensil

Sebelum membaca lebih jauh, perlu saya ingatkan bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk kepentingan promosi merk produk tertentu. Meski dalam beberapa saya menyebut merk, itu tidak menunjukan opini pribadi penulis bahwa merk tersebut lebih baik daripada merk lain. Semuanya pure sekedar untuk membantu pembaca memahami isi dan konteks tulisan ini. Demikian.

***

Selain pulpen, salah satu perkakas menulis yang berperan penting dalam kehidupan anak sekolah adalah pensil. Pada umumnya, pensil dipakai pada kelas tingkat bawah (TK-SD kelas 3). Dibandingkan dengan pulpen, pensil dinilai lebih aman untuk belajar menggambar dan menulis karena bisa dihapus. Berbeda dengan pulpen yang bersifat permanen dan tidak erasable. Pemakaian pulpen biasanya baru diizinkan pada jenjang kelas yang lebih tinggi dengan catatan siswa sudah lancar menulis dan perkembangan psikomotoriknya berlangsung normal. Begitu juga dengan saya. Pensil adalah alat tulis pertama yang saya pakai untuk belajar menggambar-menulis. Dibandingkan pulpen, saya lebih dulu dikenalkan dengan pensil oleh guru saya.

Ada banyak sekali jenis pensil yang beredar di pasaran. Pensil pertama saya adalah “pensil wangi bergambar” yang saya pakai saat TK sampai SD kelas 2 (kira-kira). Jenis pensil ini sangat unik, karena selain aromanya wangi, badan pensil ini dilapisi gambar kartun warna-warni yang memanjakan mata anak-anak. Pada bagian ujungnya, melekat sebiji karet penghapus yang bisa menyelamatkan uang jajan anak sekolah dari pemborosan membeli karet penghapus standar. Lebih uniknya, pensil jenis ini seringkali tidak mencantumkan merk (barangkali ada, tapi saya jarang memperhatikan detilnya). Selanjutnya, pensil jenis ini akan saya sebut “pensil Wanibar”—karena baunya wangi dan ada gambar-gambarnya.

Seperti yang saya katakan tadi, pensil adalah alat tulis yang paling cocok digunakan untuk mengenalkan cara menggambar dan menulis pada anak. Berkat pensil Wanibar, keterampilan motorik saya dalam menggambar dan menulis juga semakin terasah. Saya masih ingat pelajaran pertama di kelas 1 SD. Saat itu, Bu Guru meminta murid-muridnya untuk menyalin gambar pola yang ada di papan tulis. Bentuk gambar pola di sana bervariasi, ada bentuk oval, spiral, eksagonal, kotak, turus, diamond, dan sebagainya (belakangan, saya tahu bahwa itu adalah metode klasikal untuk mengenalkan cara menulis pada anak). Berkat pensil ini pula, saya jadi bisa menggambar lukisan legendaris khas anak SD–hamparan sawah dengan latar gunung kembar dan seringai matahari.

Setelah pensil Wanibar, saya berkenalan dengan “pensil tukang”. Pensil ini tidak pernah saya pakai di sekolah. Saya hanya melihatnya di kotak perlengkapan di rumah. Pensil itu biasa dipakai ayah saya untuk menandai bagian kayu yang akan dipotong. Itu sebabnya saya menamai pensil itu “pensil tukang”.

Karena ditujukan untuk menandai kayu, diameter pensil ini lumayan besar, kira-kira 3 kali lipatnya pensil anak sekolah.

Menginjak kelas 3 SD, saya mulai tidak nyaman memakai pensil Wanibar. Pensil itu terasa kasar dan lebih sulit dihapus bahkan dengan penghapus bermerk sekalipun. Saya mulai mencari jenis pensil lain yang lebih nyaman dipakai. Salah satunya adalah pensil HB warna merah (saya lupa merknya). Pensil ini mirip-mirip dengan pensil Wanibar, tapi lebih nyaman dan lembut saat digoreskan di kertas. Di ujungnya, pensil ini juga menyediakan sebiji karet penghapus—sama halnya dengan pensil Wanibar.

Sampai suatu hari, saat saya membaca majalah Bobo, saya mendapati sebuah iklan pensil merk “Staedler”. Pensil berwarna biru itu terlihat sangat menarik. Rautannya sangat rapi. Saya mendapati iklan pensil itu di setiap edisi majalah Bobo yang saya baca (ngomong-ngomong saya tidak berlangganan Bobo, hanya pinjam perpustakaan). Karena seringnya terpapar iklan, saya pun tertarik membeli sebuah pensil Staedler. Kualitas dan hasilnya memang cocok dengan iklannya yang masif.

Pensil Staedler adalah pensil modern pertama yang saya pakai. Bahan dasarnya adalah grafit berkualitas yang lembut saat digores di kertas. Pensil ini tidak sampai menyobek kertas walau ditekan dengan kuat. Saat dihapus, bekas hapusannya pun relatif bersih dan tidak merusak kertas (kecuali kalian memakai karet penghapus murahan bertekstur kasar). Memasuki kelas 6 SD, saya lebih sering memakai pensil Staedler 2B ini karena cocok dengan kebutuhan saya—entah untuk sekedar coret-coret atau menjiplak gambar-gambar karakter di komik. Hanya saja tulisan GERMANY yang tertera di badan pensil membuat saya bertanya-tanya “Apa iya, untuk sebatang pensil saja kita harus mengimpor produk dari luar negeri?”

Menjelang ujian kelulusan (waktu itu belum ada Ujian Nasional), muncul lagi pensil merk Faber Castle. Warnanya coklat tua dan tampak lebih elegan dianding Staedler biru. Grafit yang dipakai pensil Faber Castle memiliki tingkat kenyamanan dan kehalusan yang relatif sama dengan grafit pensil Staedler. Keduanya juga bisa dipakai untuk mengisi lembar jawab komputer (LJK). Tidak heran jika kemudian muncul perdebatan soal pensil mana yang lebih bagus dan lebih terbaca oleh komputer?

Ngomong-ngomong soal LJK, saat SD, saya masih awam dengan LJK. Saya terbiasa memakai pulpen untuk mengerjakan soal ulangan di kertas biasa. Sebelum ujian, saya dikursus menghitamkan jawaban pada LJK. Saya diwanti-wanti (mungkin lebih tepatnya ditakut-takuti) agar jangan sampai salah saat menghitamkan jawaban. Jangan sampai ada goresan pensil yang keluar dari batas lingkaran karena berpotensi dianggap salah oleh scanner jawaban.

Gara-gara LJK ini, saya mengikuti ujian kelulusan dengan kekhawatiran macam-macam. Khawatir salah menghitamkan jawaban-lah, khawatir tidak terbaca komputer-lah, sampai khawatir jawaban yang saya ganti (hapus) dianggap salah. Detik demi detik ujian pun menjadi terasa lebih lama.

Tentu saja saya tidak akan menyebut pensil mana yang lebih baik, Staedler atau Faber Castle. Seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan, saya tidak sedang membuat perbandingan produk. Toh, baik Staedler maupun Faber Castle, keduanya sama-sama berjasa mengantarkan saya sampai lulus kuliah dan menjadi sarjana. Menurut saya, masing-masing pensil memilik krakteristik masing-masing, tergantung kebutuhan dan selera si pemakai.

Jika kalian bertanya pensil mana yang lebih “terbaca” saat di-scan komputer, saya rasa keduanya sama saja. Insya Allah. Selama kalian memakai produk yang ASLI, maka keterbacaan LJK kalian tidak perlu diperdebatkan. Konyol sekali jika kalian mengkambinghitamkan merk pensil atas hasil ujian yang buruk. Ora nyambung blas. Itu sama saja mengkambinghitamkan stick playstation ketika kalian kalah tanding PES misalnya.

Terlepas dari semua itu, merk pensil akan selalu bermetamorfosis setiap waktu. Akan ada merk-merk pensil kekinian yang kalian temui di pasaran dengan wujud dan tampilan yang beraneka ragam. Dan untuk setiap merk pensil, semuanya membawa pesan filosofis yang sama, bahwa sebuah pensil akan tetap disebut “pensil” karena ia bisa dihapus. Sebagaimana dinamika hidup manusia, selama masih ada kesempatan untuk melakukan perbaikan diri dan kondisi, maka berupayalah. Selagi masih ada waktu dan hela nafas yang Tuhan berikan.[]

May 26, 2018Benny Prastawa