Friday, April 7, 2017

Nostalgia dan Obsesi yang Baru Kesampaian


Saya pertama kali berkenalan dengan telepon genggam (ponsel) saat masih SD. Kalau tidak salah ingat, sekitar tahun 2001. Saat itu, ponsel masih menjadi barang mewah di kampung saya. Saking mewahnya, di kompleks rumah saya hanya ada dua orang yang mampu membelinya. Wajar saja, karena saat itu harga pulsa terbilang sangat mahal (100 ribuan). Jika dikonversi ke nilai uang sekarang, mungkin nilainya setara setengah juta rupiah. Padahal, dengan harga ‘semahal’ itu, masa aktif yang kita peroleh cuma satu bulan. Tidak heran jika saat itu ponsel hanya bisa dimiliki oleh masyarakat ekonomi mapan—salah satunya adalah paman saya.

Ponsel paman saya terbilang sederhana. Bentuknya mungil, ramping, dan layarnya cuma selebar ibu jari orang dewasa. Karena bentuknya yang mungil dan lucu, saya sering meminjamnya setiap kali dolan ke rumah paman. Untungnya, paman saya tidak pelit meminjamkan ponselnya. Dan seperti bocah-bocah lain pada umumnya, saya lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game dengan ponsel itu.

Tahun demi tahun berganti. Perkembangan teknologi ponsel berlangsung sangat cepat. Teramat cepat, hingga setiap tahun seseorang bisa berganti ponsel dengan fitur yang jauh berbeda dibanding ponsel sebelumnya. Model ponsel pun semakin beragam sehingga masyarakat punya lebih banyak pilihan. Apalagi, sejak tahun 2003, jumlah operator seluler di kota saya semakin banyak. Masing-masing operator menyediakan beragam tarif promo sehingga harga pulsa semakin terjangkau.

Terjangkaunya harga pulsa berbanding lurus dengan semakin murahnya harga ponsel. Ponsel pun menjadi barang yang kian menjamur di masyarakat. Di setiap tempat, jamak terlihat orang yang sibuk berkirim SMS, menelpon, atau sekedar mengecek ponsel sambil menunggu angkutan umum. Tidak hanya orang-orang tua, anak-anak sekolah pun terlihat menenteng ponsel kesana kemari.

Saya beruntung karena larangan membawa ponsel tidak (atau mungkin belum) berlaku di sekolah. Sekolah saya masih membolehkan siswanya membawa ponsel, sebatas untuk berkomunikasi dengan orangtua agar lebih mudah mengurus jemputan. Karena pihak sekolah membolehkan, jadilah teman-teman saya ikut-ikutan membawa ponsel dengan berbagai model, ukuran, dan fitur masing-masing. Ada ponsel berukuran mini yang bisa disaku, ada ponsel berkamera, ponsel dengan MP3 Player, games interaktif, dan juga video player. Meski terdengar sedikit kampungan (khususnya bagi generasi android saat ini), fitur-fitur itu terbilang “sangat canggih” untuk ukuran ponsel saat itu.

Saya sendiri tidak neko-neko dalam hal ponsel. Saya membawa ponsel sekedar untuk memudahkan komunikasi dengan orangtua. Bukan untuk prestise pribadi apalagi pamer-pameran. Gimana mau pamer, lha wong ponsel saya malah cuma ‘lungsuran’ dari kakak saya. Soal fitur jangan tanya, ponsel saya cuma bisa SMS sama telepon. Bikin lagu juga bisa, cuma jarang saya utak-atiki. Nada deringnya juga masih monophonic dan ukurannya pun sangat tidak ramah di saku. Jika kalian bertanya “bagaimana caramu bersenang-senang dengan ponsel itu?” Jawaban saya cuma dua: “Bumper” dan “Space Impact”.

Begitulah—ketika sekolah saya tidak pernah bersentuhan dengan ponsel multimedia. Saya lebih sering meminjam ponsel teman jika ingin mendengarkan MP3, memutar video atau sekedar berfoto bersama. Saya sendiri sungkan meminta ponsel pada orangtua. Prinsip saya, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan saya masih bisa merasakan manfaat dari barang tersebut, saya segan membeli barang yang baru. Karena itu, dalam urusan ponsel, bisa dibilang saya cukup ‘kudet’ (bahkan ikut-ikutan mig33 pun tidak pernah).

Terlepas dari kekudetan saya, ada satu jenis ponsel yang membuat saya melting saat itu. Tentu saja bukan jenis ponsel multimedia berkamera yang bisa “mendesah” keras-keras melainkan ponsel flip. Sejak saya mengenal jenis ponsel flip (ponsel dengan layar yang bisa dilipat), saya begitu terobsesi untuk memilikinya. Salah satunya, karena layar ponsel flip bisa dibuka dan ditutup. Entah kenapa, saya menganggap hal itu “keren” sekali (sama halnya dengan aktivitas ‘buka-tutup’ pintu kulkas untuk mengecek lampu kulkas—ajaib).

Obsesi saya pada ponsel flip boleh jadi karena saya terlalu terpengaruh serial Power Ranger yang rutin saya tonton tiap Minggu pagi. Dalam salah satu serialnya, para tokoh utama memakai gadget mirip ponsel flip untuk berubah menjadi Power Ranger. Tidak mengherankan jika kelak saya ingin mewujudkan gadget itu dalam bentuk nyata.

*   *   *

Hari ini, sudah sepuluh tahun lebih sejak masa-masa perkenalan saya dengan ponsel. Perkembangan terknologi ponsel sudah melampaui apa yang dulu cuma bisa saya bayangkan dalam film-film kartun. Layar sentuh, panggilan video, file transfer, dan internet adalah segelintir narasi fiksi yang telah mewujud menjadi kenyataan di era ponsel saat ini. Saya telah tiba di masa depan.

Ponsel tidak lagi semewah dulu ketika pertama kali muncul di kampung saya. Hampir semua orang menenteng ponsel sekarang. Tidak cukup satu, dua, tiga, bahkan lebih. Masing-masing orang mulai disibukkan dengan ponselnya yang semakin ‘pintar’. Cara mereka bersenang-senang dengan ponsel pun semakin beragam. Tidak ada lagi Bumper dan Space Impact. Tidak ada lagi ritus bangun dini hari demi mengejar telepon gratisan. Tidak ada lagi pesan yang tertunda karena kepenuhan memori SMS.

Ponsel masa kini sudah bertransformasi menjadi semacam ‘entitas’ tersendiri yang bahkan bisa menggerus kemanusiaan seseorang. Dan dengan segala silau kecanggihannya, saya mengikuti arus zaman—memakai ponsel android—hingga saya pun mulai melupakan obsesi memiliki ponsel flip. Setidaknya, hingga beberapa waktu yang lalu, saat saya pergi ke sebuah mall di pusat kota.

Saat itu, saya sedang mencari-cari ponsel (android) baru karena ponsel android saya yang lama sudah terlalu usang. Saking usangnya, sampai-sampai saya dibuat kesulitan karena tidak bisa menginstall Whatsapp di sana. Saat sedang berkeliling melihat-lihat, pandangan saya tertumbuk pada sebuah ponsel flip berwarna putih yang dipajang di kaca etalase.

DEG!

Layaknya seorang bocah yang takjub melihat pameran lumba-lumba, mata saya berbinar melihat ponsel flip itu. Seketika, saya terlibat perasaan nostalgia. Saya merasa kembali ke masa remaja saat saya menganggap ponsel flip sebagai barang yang “keren”. Saya membayangkan betapa elegannya memakai ponsel sambil membuka dan menutup layarnya. Obsesi saya memiliki ponsel flip pun kembali membuncah. “Saya harus memiliki ponsel itu suatu saat nanti,“ tekad saya.

*   *   *

Dan begitulah, setelah pertemuan tak disengaja dengan ponsel flip itu, saya ber-azzam kuat untuk membeli ponsel itu. Kini, setelah menyisihkan sebagian gaji, sebuah ponsel flip warna hitam telah berhasil saya dapatkan. Bukan sesuatu yang mewah memang, tapi sudah cukup membuat saya puas karena akhirnya obsesi saya ketika “bocah” telah terwujud. Terasa lebih puas karena saya mewujudkan obsesi itu dengan jerih payah saya sendiri.


Dengan hati-hati, saya keluarkan ponsel flip itu dari bungkusnya. Warnanya hitam pekat, elegan, meski agak licin dipegang. Saya pun bergegas memasang kartu SIM di dalamnya. Begitu saya membuka layarnya, ponsel flip itu menyala. Sebongkah perasaan membuncah menjalari sekujur tubuh saya. Dan entah kenapa, saat itu saya merasa—yah, sangat sangat—keren.[]
April 07, 2017Benny Prastawa