Tidak sepatutnya engkau memberi makanan
dengan bungkus kresek bekas yang lusuh
(Benny Prastawa)
Seringkali saya bertanya-tanya, siapa sih yang pertama kali menggagas ide pengajian
sampai tengah malam? Bagi saya yang tidak betah melek, acara pengajian hingga larut malam adalah mimpi buruk. Acara
tersebut biasanya membuat waktu tidur saya terganggu dan menurunkan daya
konsentrasi saya keesokan harinya. Belum lagi jika pengajian tersebut diadakan
sampai dini hari, saya malah khawatir para peserta pengajian melewatkan sholat Subuh.
Tentu saja tidak semua orang sama cemen-nya dengan saya. Bagi orang yang pada dasarnya kuat lek-lekan (begadang), pengajian sampai
larut malam atau dini hari tidak menjadi soal. Mereka tetap kuat menjalankan
ibadah sholat Subuh tanpa harus kesiangan. Karena itu, dalam tulisan ini saya
tidak sedang menghakimi bahwa pengajian larut malam itu buruk. Tulisan ini hanya
ingin menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi acara pengajian
yang diadakan hingga larut malam.
Pada dasarnya, tidak ada hukum normatif yang mengatur
waktu pelaksanaan pengajian. Pengajian bisa dilakukan kapanpun tanpa batasan
waktu. Tentu saja, dalam hal ini panitia pengajian akan mempertimbangkan waktu tertentu
yang sekiranya bisa mendatangkan banyak peserta. Karena bagaimanapun, ketika
kita berinisiatif membuat suatu acara, maka urusan peserta menjadi penting
untuk dipikirkan.
Dibanding waktu-waktu yang lain, “malam hari” adalah
waktu yang dirasa paling senggang bagi sebagian besar warga masyarakat. Di
waktu itu, warga masyarakat biasa bersantai dan tidak lagi disibukkan dengan
aktivitas bekerja. Karenanya, sangat logis jika malam hari dipilih sebagai
waktu yang ideal untuk mengadakan pengajian.
Selain itu, harus kita akui bahwa sebagian masyarakat
kita mempunyai kebiasaan lek-lekan (begadang).
Biasanya penggemar lek-lekan senang
mengisi waktunya untuk hal-hal yang kurang produktif, seperti menonton televisi,
nongkrong, atau bermain kartu di pos ronda. Melihat realitas tersebut, kegiatan
pengajian bisa dijadikan solusi alternatif agar kebiasaan lek-lekan di masyarakat menjadi lebih bermanfaat.
Kegiatan pengajian juga efektif untuk membina aspek
rohani dan memperluas wawasan keagamaan warga masyarakat—khususnya masyarakat
awam—yang tidak mendalamai ilmu agama secara intens. Sampai di sini, semuanya tidak
ada masalah. Pengajian mendapat peran strategis untuk memperbaiki moral dan menggugah
kesadaran beragama warga masyarakat.
Tapi ketika kita membahas timing pengajian yang diadakan hingga larut malam, hal ini membutuhkan
pertimbangan tertentu. Bagaimanapun acara pengajian larut malam tidak lepas
dari resiko. Selain resiko keamanan, resiko lain yang tidak kalah pentingnya
adalah potensi gangguan kesehatan dan terlewatnya sholat Subuh.
Karena diadakan hingga larut malam, pengajian semacam
ini akan mempengaruhi waktu istirahat kita. Bagi mereka yang biasa lek-lekan, hal ini mungkin tidak masalah. Namun bagi yang tidak biasa melek (terjaga hingga larut malam), maka
aktivitas pengajian larut malam bisa menjadi sumber mudharat, entah itu gangguan kesehatan atau terlewatnya sholat
Subuh.
Saya bisa memahami jika malam hari adalah waktu yang
paling afdhal untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin warga masyarakat, karena pada periode tersebut tidak ada lagi kesibukan
kerja. Faktanya, seringkali kita dapati jumlah peserta pengajian larut malam
jauh lebih banyak daripada acara pengajian yang diadakan pada waktu lain
seperti Minggu pagi atau selepas sholat Maghrib. Tentu saja hal ini bukan rumus
pasti, karena erat kaitannya dengan kultur dan kondisi masyarakat setempat.
Karena itu, pilihan ada di tangan kita. Jika kita
lebih afdhal mengikuti pengajian sampai
larut malam, maka tidak ada masalah kita menghadirinya, selama acara itu tidak mendatangkan
mudharat seperti gangguan kesehatan atau
terlambat bangun Subuh. Tapi jika kita khawatir mendapat mudharat, maka ada baiknya kita pertimbangkan lagi untuk mengikuti
pengajian sampai larut malam. Jangan sampai kita membuat panitia pengajian ‘berdosa’
karena kita terlambat bangun Subuh atau jatuh sakit setelah mengikuti acara
pengajian tersebut.
Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud melarang
aktivitas pengajian. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, pengajian tetap harus diadakan
untuk menambah wawasan keagamaan masyarakat dan menggugah kesadaran umat untuk
mengolah kembali sisi rohaninya di tengah arus kehidupan yang kian
hedonis-materialistik. Bukankah kita memang diwajibkan untuk saling menasehati
dalam kebaikan dan kesabaran?
Ironis rasanya, jika negara yang mayoritas
penduduknya muslim justru sepi dari kegiatan-kegiatan keagamaan. Bersyukurlah, jika
di tempat tinggal kita masih ada acara pengajian. Setidaknya, semangat untuk
menyebarkan syiar Islam masih
terjaga. Sayang sekali, jika satu-satunya pengajian di pemukiman kita hanya
diadakan seminggu sekali, pada hari Jumat. Eh, itu kan khotbah Jumat, bukan
pengajian.[]