Televisiku terlalu banyak mengurus hal-hal
yang tidak perlu,
ibarat kucing tetangga melahirkan pun bisa
masuk televisi
(Benny Prastawa)
Orang berpikir bahwa
menaruh televisi di ruang tunggu adalah cara terbaik untuk memberikan hiburan
murah bagi pelanggan yang mengantre. Di mana pun tempatnya, mulai dari instansi
pemerintah, rumah sakit, sampai warung-warung makan sering menyediakan televisi
sebagai pengusir kebosanan pelanggan. Di satu sisi, saya setuju dengan ide ini
karena kenyataannya saya juga sering dongkol saat harus berlama-lama mengantre.
Tapi yang menjadi masalah, konten yang disajikan televisi—bagi saya—jauh dari
kata menghibur. Silahkan tanyakan pada anak-anak generasi 1980-1990-an (yang
sekarang sudah beranjak dewasa tentunya), maka akan kalian dapati opini umum
bahwa tayangan televisi saat ini sangat payah.
Saya kesulitan menemukan
unsur “menghibur” dan “mendidik” saat menonton televisi. Hal ini bisa dilihat mulai
dari acara lawak yang niatnya melucu, tapi malah jadi tidak lucu—karena menjadikan
atribut fisik lawan main sebagai bahan candaan. Acara berita yang seharusnya
menghadirkan informasi yang bernas tanpa tendensi, ternyata malah dipelintir
menjadi alat penggiring opini publik dan ‘bombatisasi’ kasus. Pun dengan acara
khusus anak-anak yang sudah jarang kita saksikan di televisi. Hanya segelintir acara
anak yang saya rasa cukup mendidik, seperti Si
Bolang, Laptop Si Unyil, dan kartun
“Ipin Upin”—meski yang terakhir ini hasil
impor negeri tetangga.
Tentu saja opini ini sifatnya
subjektif atas dasar pendapat saya pribadi. Saya tidak mengatakan semua orang pasti
berpikir seperti saya. Karena sebagai media publik, tayangan televisi juga memperhatikan
selera masyarakat. Tidak ada satupun stasiun televisi yang tidak peduli pada
rating, karena dari sana televisi mendapat pemasukan iklan.
Dalam hal ini, bagaimanapun
kita tidak bisa memaksakan selera masyarakat. Andai masyarakat menggilai infotainment, maka acara itulah yang akan
menghiasi channel-channel televisi kita. Jika masyarakat menggemari acara
lawak, maka acara sejenis itu pula yang akan banyak menyedot perhatian
penonton. Suka atau tidak suka, mendidik atau tidak mendidik, kita selaku
konsumen hanya bisa mengunyahnya, menelannya, atau bahkan memuntahkannya.
Tidak heran jika
orang-prang berduit lebih memilih membayar lebih untuk menikmati siaran
televisi berbayar dengan ratusan channel yang menarik. Tak apalah keluar
ratusan ribu per bulan, asal anggota keluarga bisa menikmati tayangan televisi
yang lebih mendidik dan berkualitas.
Tapi berapa banyak orang
yang cukup kaya untuk berlangganan channel berbayar? Saya pun curiga,
jangan-jangan tayangan televisi sengaja digarap dengan kualitas seadanya, agar
para penonton jengah dan mulai beralih pada televisi berbayar(?) Sayang sekali,
saya tidak punya bukti.
* * *
Lebaran kemarin saya
pulang ke kampung halaman. Ada sebuah pesawat televisi milik keluarga di sana. Berhubung
saya sudah kehilangan minat menonton televisi, saya tidak akan memprotes siaran
favorit keluarga saya. Pada akhirnya, saya malah ikut-ikutan menonton kuis yang
menang kalahnya ditentukan hasil survey
100 orang. []