Jika kau tahu bahwa mati itu pasti,
kenapa kau masih sibuk bersenda gurau?
(Benny Prastawa)
Tempo hari, saya mengantarkan ibu saya membesuk salah
satu famili tetangga di rumah sakit—sebut saja famili tetangga saya ini Bu
Ratna. Menurut kabar dari para tetangga, Bu Ratna mengidap sakit kanker. Beliau
sudah cukup lama mengidap kanker tersebut. Meski berbagai jenis pengobatan
sudah dijalani, kondisinya tak kunjung membaik. Saat saya datang membesuk,
kondisi fisik Bu Ratna sudah lemah. Beberapa kali Bu Ratna mengeluh badannya
terasa sangat letih. Sekedar untuk berjalan saja, beliau harus dipapah atau
memakai kursi roda. Bapak saya bilang, sel kanker Bu Ratna sudah mengenai
paru-parunya.
Selama di rumah sakit, saya tidak tahu harus
membicarakan apa tentang kondisi Bu Ratna. Di antara para pembesuk tidak ada
yang seumuran dengan saya sehingga saya agak canggung membuka pembicaraan
dengan orang yang lebih tua. Saya pun sibuk dengan pikiran-pikiran saya
sendiri. Ada semacam perasaan deja vu setiap
kali saya mengunjungi rumah sakit. Terkadang, kilasan-kilasan balik masa lalu membayang
di benak saya, saat membesuk seseorang di rumah sakit.
Ini bukan kali pertama saya membesuk pasien yang
kritis di rumah sakit. Beberapa kali saya mendapati wajah pasien yang terbaring
tak sadarkan diri di bilik perawatan. Pemandangan ganjil tersebut kerap membuat
saya membatin tentang harapan hidup si pasien, “Apakah si pasien masih bisa tertolong? Apakah masih ada harapan hidup bagi si pasien dengan kondisi seperti itu?”
Setahun yang lalu, tepatnya di penghujung bulan
ramadhan, tante saya terbaring kritis di rumah sakit karena diabetes. Kondisinya
saat itu sulit diketahui, antara sadar dan tidak sadar karena pelupuk matanya sedikit
terbuka. Sejak diopname, tante saya tidak bisa berbicara karena tenggorokannya
terganggu. Akibatnya, tante saya juga kesulitan untuk makan sehingga asupan
nutrisi ke tubuhnya berkurang. Setelah berjuang melawan penyakitnya, tepat di
bulan syawal, nyawa tante saya tidak tertolong lagi.
Kondisi serupa juga menimpa guru teater saya. Beliau
harus dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu karena mengidap kanker.
Saat saya membesuk ke rumahnya, beliau dalam kondisi tak sadarkan diri dengan
tubuh yang semakin kurus. Pada akhirnya, setelah segala ikhtiar berobat
ditempuh, kondisi guru teater saya tetap tidak tertolong hingga beliau menghembuskan
nafas terakhir.
Hening…
Begitulah kematian yang menjadi ending cerita hidup manusia. Kematian
adalah keniscayaan yang bersifat mutlak dan tak tertolak. Semua orang meyakini
bahwa kelak mereka akan menjumpai kematian. Namun bagian yang paling
menyesakkan dari kematian adalah kehadirannya yang selalu mendadak. Tak terhitung
sudah berapa kali kita menjumpai peristiwa kematian (yang dalam terminologi
Islam diistilahkan “kiamat kecil”).
Hari ini, misalnya, mungkin kita masih berkesempatan
untuk menemui Si A. Tapi keesokan harinya, kita mendengar kabar Si A telah
meninggal. Semua itu terjadi secara mendadak, tahu-tahu kita sudah berada di rumah
duka—melihat Si A yang terbujur kaku dengan balutan kain kafan. Dalam hitungan
jam, jenazah Si A sudah dibawa ke pemakaman. Saat itu, kita yang merasa kehilangan
akan membatin, “Rasanya baru kemarin aku bertegur
sapa dan berbincang hangat dengan Si A. Tapi kenapa Si A telah kembali
menghadap-Nya?”
Begitu juga dengan saya. Saat mendengar kabar bahwa
tante saya meninggal, saya nyaris tidak percaya. Sebelumnya, saya cukup optimis
jika penyakit tante saya bisa disembuhkan. Nyatanya, Tuhan menghendaki lain. Sakit
yang diderita tante saya, menjadi “kendaraan terakhir” yang mengantarkannya menuju
alam baka. Semua itu terjadi begitu cepat, mendadak, dan tanpa pemberitahuan atau
firasat apapun.
* * *
Bayangan kematian dikesankan sebagai sesuatu yang
mistis, gelap, penuh duka, penderitaan, isak tangis, dan perjalanan jauh yang entah
berujung di mana. Tidak heran, jika sebagian kita merasa ngeri jika harus
membicarakannya. Karena itu, sebagian orang memilih bersikap cuek terhadap
kematian.
“Masa bodohlah,
toh kematian juga masih besok, masih bisa diurus nanti. Saya juga masih
baik-baik saja sekarang,” kira-kira begitu pikir mereka yang lalai mengingat
kematian.
Malangnya, seperti yang saya katakan tadi,
kematian selalu datang mendadak. Kematian tidak mengenal bunyi “centung” seperti pesan yang masuk ke BBM kita. Kematian juga tidak mengenal
notifikasi khusus seperti halnya di media sosial. Datangnya kematian lebih
mirip peristiwa mati lampu, tahu-tahu “PETT…!”—dan
seketika semuanya menjadi gelap.
Beruntunglah jika kita termasuk orang yang selalu
ingat pada kematian. Orang-orang semacam ini ibarat orang yang sudah menyiapkan
lilin sebelum mati lampu. Begitu lampu padam, mereka cuma perlu menyalakan
lilin yang sudah disiapkan sebelumnya, tanpa harus repot meraba-raba seisi
ruangan untuk mendapatkannya.
Tentu saja “lilin” dalam kasus ini bisa kita
analogikan sebagai amal saleh dan kebajikan kita semasa hidup di dunia,
sedangkan “mati lampu” kita artikan sebagai peristiwa kematian. Begitu peristiwa
“mati lampu” (kematian) terjadi, kita sudah siap menyambutnya dengan bekal
penerangan berupa “lilin” yang tak lain adalah buah kebajikan kita di dunia.
Meski begitu, tidak semua orang yang percaya kematian
lantas sibuk berbuat baik atau semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Alih-alih
tidak sedikit orang yang bersikap masa bodoh dan cuek, karena merasa “gilirannya”
mati masih lama.
Dipikirnya, “Badan
saya masih segar bugar begini, masak sih besok saya mati? Saya rajin mana
mungkin saya …………….”
BRAKKK!!!!
Belum selesai ia berbicara, sebuah truk tronton keburu
menggilasnya. Mati—seketika.
* * *
Ketika saya mulai menuliskan artikel ini, Bu Ratna
diberitakan meninggal. Segala pengobatan medis dan alternatif yang ditempuh
tidak bisa menolongnya. Perjumpaan saya dengan beliau di rumah sakit menjadi pertemuan
terakhir. Saya pun hanya bisa mendoakan semoga Bu Ratna meninggal dengan khusnul khatimah dan mendapat tempat
yang baik di sisi-Nya. Aamiin…
Semoga segala peristiwa kematian di sekitar kita,
bisa menggugah kesadaran kita bahwa hidup di dunia ini sementara. Semoga kita juga
dikaruniai kepekaan batin untuk menjadikan setiap peristiwa kematian sebagai iktibar dan pembelajaran untuk terus memperbaiki
diri, memperbanyak ibadah, serta ikhlas melakukan amal saleh dan menolong
sesama demi meraih “lilin” penerang di alam sana. []