“Tanpa resiko kehilangan nyawa,
tak mungkin ada petualangan.”
(Reinhold Messner)
Setiap kali lebaran, harapan saya cuma satu—semoga saya bisa berlebaran dengan damai
tahun ini. Harapan yang terdengar konyol memang. Di saat orang lain sibuk
bertukar pesan maaf, saya malah berharap bisa berlebaran dengan damai. Tapi saya tidak peduli. Kebisingan yang saya rasakan di hari lebaran sudah mencapai taraf mengganggu. Kebisingan itu telah mencederai esensi 'hari kemenangan' itu sendiri. Secara khusus, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas kebisingan yang ditimbulkan oleh ledakan mercon.
Entah siapa orang yang pertama kali menggagas ide tentang
mercon. Pada dasarnya, mercon adalah salah satu jenis bahan peledak berdaya rendah. Hanya saja, bahan peledak
itu telah dikemas sedemikian rupa sehingga ia lebih aman untuk dijadikan ‘mainan’
(walaupun sebenarnya setiap bahan peledak tetap saja berbahaya). Karenanya, bisa dibilang mercon adalah sebuah ‘seni’ dalam mengkreasikan bahan peledak demi keperluan entertainment.
Dalam kultur masyarakat kita, mercon sudah bersinonim
degan kata “perayaan”. Karenanya, tidak mengherankan jika mercon selalu menjadi
primadona dalam setiap edisi lebaran atau perayaan tahun baru. Betapapun berbahayanya,
mercon tetap menjadi benda ‘sakral’ yang wajib disulut dalam setiap
perayaan. Padahal, dari sisi utilitas, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah mercon, alih-alih benda tersebut lebih sering membawa ending tragis bagi para korbannya.
Jika kita mengetikkan kata “mercon” di Google, maka akan muncul seabrek berita tentang
insiden ledakan mercon, lengkap dengan gambar para korbannya. Tak terhitung lagi berapa banyak korban yang berjatuhan karena terkena ledakan mercon, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peracik mercon itu sendiri. Kenyataan ini
mengerikan sekali. Bayangkan, bagaimana bisa sebuah benda yang tidak jelas
manfaatnya terus-menerus diproduksi, dipasarkan secara luas, dan menimbulkan begitu
banyak petaka di masyarakat tanpa ada satu pun sistem yang bisa menghentikan
peredarannya.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa meledakkan
mercon adalah permainan yang menyenangkan. Bagi mereka, ada kepuasan tersendiri yang dirasakan ketika berhasil meledakkan mercon. Karena dianggap menyenangkan, orang mulai terbawa
arus dan melalaikan resiko terburuk dari ledakan mercon. Tak peduli berapa pun banyaknya korban yang tewas atau menjadi cacat seumur hidup karena bermain mercon, benda itu tetap menjadi
primadona dalam setiap perayaan. Hal ini persis seperti para pecandu miras
oplosan yang terus menenggak minuman itu, meski korban yang menggelepar dengan
mulut berbusa sudah jamak terjadi di mana-mana.
* * *
Berbicara masalah mercon, saya jadi teringat sebuah
video di Youtube yang menayangkan
detik-detik ledakan mercon ‘raksasa’ di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Peristiwa
itu terjadi pada bulan Juli 2013. Dalam video berdurasi sekitar dua
setengah menit itu, tampak jelas bagaimana prosesi peledakan mercon ‘raksasa’ yang
berujung petaka.
Awalnya, sebuah mercon ‘raksasa’ diarak
beramai-ramai menuju areal persawahan (beberapa sumber mengatakan, tinggi
mercon ‘raksasa’ itu mencapai 1,3 meter dengan diameter 20 sentimeter). Areal
persawahan itu tampak cukup luas, sehingga cocok dijadikan tempat meledakkan
mercon. Jika melihat banyaknya ceceran kertas sisa mercon di areal tersebut, sepertinya
masyarakat di daerah itu sudah sering menggelar acara serupa sebelumnya.
Sesampainya di tempat peledakan, tiga orang pemuda
bersiap menyulut mercon ‘raksasa’. Beberapa meter di sebelahnya, dua orang pemuda
terlihat sibuk merekam suasana peledakan melalui kamera ponselnya. Begitu segala
sesuatunya siap, mercon pun disulut. Dalam hitungan detik, mercon yang baru saja
disulut langsung meledak hebat.
DAAARRRR!!!!
Suara ledakan terdengar sangat keras. Asap putih yang
tebal segera menyelimuti lokasi ledakan. Kertas-kertas pembungkus mercon berhamburan
di udara. Tiga orang yang menyulut mercon terkapar. Dua di antaranya (dikabarkan)
tewas seketika. Warga yang awalnya ‘asyik’ menonton, tiba-tiba menjadi histeris.
Mereka berhamburan menuju lokasi ledakan untuk menolong para korban yang tergeletak
tak berdaya.
Sejurus kemudian, sebuah mobil pick up datang untuk melarikan para
korban ke rumah sakit. Kondisi tubuh mereka tampak sangat mengenaskan. Salah seorang
warga yang membantu evakuasi tampak menenteng potongan kaki salah satu korban sambil
berkata, “Iki sikile, iki sikile…” (Ini
kakinya, ini kakinya). Dan saya pun mulai mual untuk melanjutkan cerita ini.
* * *
Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak habis
pikir dengan orang yang meledakkan mercon. Meski mereka menganggap mercon adalah
sarana hiburan, hal itu tidak mengubah fakta bahwa mercon telah menelan banyak
korban jiwa, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peraciknya. Tapi para
penggemar mercon tidak pernah jera. Setiap tahun, setiap lebaran, letup-letup mercon
masih terus terdengar. Ironisnya, orang-orang dewasa malah ikut-ikutan latah, ‘mengompori’
anak-anak untuk meledakkan mercon sebagai wujud perayaan lebaran.
Pertanyaannya, mengapa
orang senang meledakkan mercon?
Dalam asumsi saya, setidaknya ada 3 faktor utama
yang membuat orang berpikir bahwa meledakkan mercon itu menyenangkan, yaitu: faktor
‘bahaya’,
‘gejolak
adrenalin’, dan ‘sensasi kelegaan’.
Semua orang tahu bahaya ledakan mercon. Tapi terkadang
manusia ingin ‘bermain-main’ dengan bahaya itu. Sebagian orang merasa
tertantang untuk mendekatkan diri pada sebuah objek atau kondisi yang berbahaya,
demi mendapatkan ‘sensasi berpetualang’. Hal serupa juga dialami oleh para pelaku
olahraga ekstrim seperti jetski,
panjat tebing, bungy jumping, dan penggemar
wahana roller coaster. Jika kita
termasuk salah satu di antara penikmat kegiatan ekstrim tersebut, kita bisa
lebih mudah memahami ‘kesenangan’ yang dirasakan para penggemar mercon.
Ketika kita dihadapkan pada bahaya, maka hormon
adrenalin akan meningkat. Hal ini memicu serangkaian mekanisme ‘pertahanan diri’
dalam tubuh kita, seperti meningkatnya denyut jantung dan mempercepat proses
respirasi. Contoh dari proses ini adalah saat kita berlari kencang karena dikejar-kejar
anjing. Selain itu, hormon adrenalin juga bisa memicu pelepasan stres. Itu
sebabnya, orang-orang yang meledakkan mercon bisa tetap berwajah ceria karena
sebagian stres dalam dirinya telah terlepas.
Dari penjabaran di atas, kita bisa memahami ‘kelegaan’
yang dirasakan para penggemar mercon ketika berhasil meledakkan sebuah mercon
dan meloloskan diri dari bahaya terkena efek ledakannya. Hal ini, pada akhirnya,
mendorong penggemar mercon untuk meledakkan mercon lagi dan lagi. Tanpa sadar,
mereka tengah digiring untuk ‘berjudi’ dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya
sendiri.
Sebuah kesenangan sesaat yang ditukar dengan keselamatan
diri atau bahkan nyawa adalah salah satu bentuk kebodohan. Tidak logis rasanya,
jika kesenangan yang sifatnya sesaat harus dibayar dengan nyawa yang tidak sebanding
harganya. Padahal, kita semua tahu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meraih
kesenangan hidup. Untuk apa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri demi sebuah
petualangan?