Kemarin, blog saya hilang.
Begitu mengecek Gmail saya, ternyata akunnya
diblokir oleh Google. Saya sendiri
tidak tahu kesalahan saya, karena selama ini saya merasa tidak melanggar Term of Use apapun. Saya tidak pernah ngaco membuat artikel cerita dewasa, tidak
nyomot artikel dari blog tetangga, atau malah mengunggah konten porno.
Lalu apa salah
saya? Lagipula, blog ini boleh dibilang masih baru. Belum banyak konten yang termuat
di sini. Ibarat bayi, umur blog ini belum genap 2 bulan. Jadi sangat tidak adil
jika blog yang baru seumur jagung ini ‘dimusnahkan’. Lebih pihak Google tidak menuliskan detail kesalahan
saya. Inti email yang saya terima cuma: “Kamu
melanggar peraturan, dan karena itu
kamu dihukum! ”
Boleh jadi, seperti
ini ya rasanya dituduh padahal kita yakin tidak melakukan kesalahan apapun. Ya,
itu menyesakkan sekali. Bagaimana kita bisa menerima sebuah hukuman padahal
kita yakin diri kita tidak bersalah?
Saya jadi teringat
kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna. Sampai detik ini, saya masih belum
yakin (sejujurnya malah tidak percaya), jika tewasnya Mirna disebabkan oleh
sianida yang ‘konon’ dimasukkan oleh Jessica. Ada begitu banyak plot hole yang tidak terjelaskan dalam
kasus tersebut.
Saya pikir, jika
sebuah kejahatan memang tidak terpecahkan karena kurangnya alat bukti, maka
seperti kata Hotman Paris, kasus tersebut bisa dikatakan sebagai unsolved crime. Tapi apa daya, sejak
awal, semua orang terlanjur beropini (lebih tepat digiring opininya), untuk
mempercayai bahwa Mirna tewas setelah meminum kopi sianida. Padahal, jika kita
menyelami persidangan Jessica, akan kita temukan beberapa kejanggalan di
dalamnya. Terlebih, penanganan kasus itu sudah meninggalkan banyak ‘lubang’ sejak
awal.
Ada dua hal yang
sangat saya sayangkan dari kasus ini. Pertama,
ketiadaan proses otopsi pada jenazah Mirna. Padahal, dari hasil otopsi itu kita
bisa meyakini, apakah Mirna tewas karena sianida, atau karena hal lain. Kedua, penanganan
TKP berjalan sangat lambat. Polisi malah baru bisa mengkondisikan TKP berjam-jam
kemudian. Karena itu, sangat mungkin barang bukti seperti sianida (jika memang
ada), sidik jari, dan gelas kopi yang dipakai Mirna hilang—atau setidaknya ‘dibersihkan’
dari jejak-jejak si pelaku.
Jika sudah begini,
tinggal Jessica seorang yang dinilai paling mencurigakan. Jessicalah yang
datang paling awal dan memesankan kopi. Jessica juga yang paling mungkin
menuangkan racun. Jessica pula yang menaruh paper
bag di atas meja, seakan-akan hal itu sengaja dilakukannya untuk menutupi
CCTV. Media pun menghipnotis kita untuk berpikir “Jessica”, “Jessica”, “Jessica”, dan pasti “Jessica”
pelakunya. Pada akhirnya, Jessica harus menanggung ‘tuduhan umat’ yang menyeretnya
ke jeruji besi.
Ah, tapi siapalah
saya. Detektif bukan, jaksa bukan, polisi bukan, bahkan anaknya polisi juga
bukan. Postingan ini juga tidak akan mengubah vonis hakim dan membebaskan Jessica.
Saya memang bukan siapa-siapa. Dan karena saya bukan siapa-siapa, saya pantas
bertanya, apa salah saya sampai-sampai akun Gmail
saya diblokir?
Semoga semesta masih
menghendaki adanya keadilan di antara umat manusia. Yang menghukum mereka yang
bersalah dan membebaskan mereka yang tidak bersalah. Karena sungguh, menuduh seseorang
tanpa kesalahan itu menyakitkan, dan dituduh tanpa bukti, itu sebuah kejahatan! []
***Paginya,
buru-buru saya buka akun Gmail saya. Memang
benar, akun saya terblokir sehingga saya harus melakukan verifikasi kode via
nomor ponsel. Beberapa saat kemudian—Klontank!!!
Akun Gmail saya sudah bisa dipulihkan. Saya pun bisa posting cerita nggak penting seperti ini lagi. Adakah
yang pernah bernasib sama dengan saya?