Mungkin sudah kodratnya—saya
tidak pandai berbusana. Bukan berarti saya gila, lalu berkeliling kota tanpa
busana. Maksud saya, saya merasa asing dengan dunia fashion. Bagi saya, urusan
fashion ini boleh jadi merepotkan sekali. Ada beberapa aturan tidak tertulis
soal fashion—khususnya tentang etika berbusana. Aturan yang saya maksud di sini
adalah aturan-aturan seperti memakai baju hitam-hitam saat melayat, baju batik
untuk kondangan, baju putih untuk kegiatan keagamaan, dan sejenisnya. Terlebih di
lingkungan budaya kita yang mengedepankan nilai kepantasan dan kesopanan. Mau
tak mau, saya harus memahami aturan tidak tertulis itu, demi menjaga kehormatan
saya dalam berbusana.
Sayangnya, bentangan
nasib tidak menghendaki saya menjalani kehidupan yang lurus-lurus saja. Sejauh
ini, saya sudah beberapa kali terjerat ‘skandal’ salah kostum, mulai dari acara
sederhana seperti buka bersama, sampai acara penting seperti hajatan pernikahan.
Salah satu yang paling saya ingat adalah acara halal bi halal di SMP.
* * *
Dulu—dulu sekali (meski
nggak dulu-dulu amat), sekolah saya
mengadakan halal bi halal (sebuah tradisi
bermaaf-maafan antara siswa dan guru sambil bersungkem
keliling sekolah). Acara itu sudah menjadi rutinitas tahunan yang diadakan
setelah libur lebaran. Semua murid harus berpartisipasi, baik yang muslim
maupun non-muslim demi mempererat jalinan silaturahmi antarwarga sekolah.
Nah, sebelumnya, dalam
acara itu, pihak sekolah tidak menginformasikan dresscode yang harus dipakai. Karena itu, saya pikir, sekolah
membebaskan murid-muridnya untuk memakai dresscode
apapun, selama masih sopan dan menutup lubang pusar. Berhubung saat itu masih
dalam suasana lebaran, saya pikir acara halal
bi halal akan dikemas secara religius, lengkap dengan pengajian atau semacamnya.
Saya pun berencana memakai stelan baju koko putih agar terlihat matching dengan nuansa religiusnya.
Maka, hari itu dengan
penuh kesadaran saya berangkat ke sekolah memakai stelan baju koko putih. Saya tidak
sabar ingin bertemu dengan teman-teman setelah beberapa minggu libur lebaran. Ekspektasi
saya, mereka pasti memakai baju koko, sama seperti saya. Tapi, ketika memasuki
gerbang sekolah, tidak ada satupun murid yang terlihat memakai baju koko
seperti saya. Semua murid memakai stelan putih-biru layaknya hari-hari biasa. Saya
mencoba berpikir positif, mungkin saja mereka
murid-murid yang tidak berlebaran.
Bermenit-menit
setelahnya, saya mengamati murid-murid yang datang. Tak satu pun di antara
mereka yang memakai baju koko seperti saya. Bahkan Bapak Ibu guru saya pun
tidak. Dengan kata lain, cuma saya satu-satunya murid yang memakai baju koko
hari itu! Mak klontank!!!
Begitu acara halal bi halal dimulai, saya tidak
berani beranjak dari kelas. Saya sibuk merutuki diri sendiri, yang dengan konyolnya
memakai ‘baju pesantren’ ke sekolah. Kenapa
sejak awal tidak memakai seragam biasa saja? gerutu saya.
Pada akhirnya, acara halal bi halal yang
seharusnya memperat silaturahmi itu, justru menjadi mimpi buruk yang mempermalukan
saya seharian.
Belasan tahun setelah
kejadian koko terkutuk itu, saya menghadiri acara resepsi di tempat tetangga. Berhubung
yang punya hajat adalah tetangga saya sendiri, saya pikir saya akan sibuk
beroperasi di dapur membantu para pelayan mengantar makanan dan mengambil
piring-piring di meja. Karena itu, saya tenang-tenang saja memakai stelan Polo shirt dan celana kain, karena saya
yakin, saya tidak akan muncul ke meja depan utuk menyambut tamu.
Begitu acara dimulai,
ada satu momen di mana seluruh pelayan diminta ke meja depan untuk bersalaman
dengan keluarga mempelai—termasuk saya. Meski sempat ragu, saya tetap mengikuti
rombongan pelayan lain untuk bersalaman. Saat tiba di meja depan, saya sempat
canggung karena para tamu undangan—termasuk tetangga saya—menatap saya dengan heran.
Demi mengurangi kecanggungan, saya setengah cengengesan
bersalaman dengan keluarga mempelai.
Selesai bersalaman, saya
dan para pelayan lain kembali ke dapur. Sejurus kemudian, seorang teman karib mendatangi
saya. Dengan jujur, ia menyodorkan ponselnya yang menampilkan pesan singkat
dari nyokabnya, yang isinya meminta saya agar berganti pakaian.
Klontaaank!!!
Demi mengenyahkan
sebongkah rasa malu yang menyesak, saya bergegas pulang dan berganti pakaian.
Sejak saat itu, saya pun mentasbihkan diri untuk selalu memakai stelan batik
dan celana kain jika menghadiri acara seperti kondangan dan sejenisnya. Saya
tidak peduli, jika tamu undangan lain lebih keren memakai stelan dasi kupu-kupu
atau dasi walang sangit. Saya bertekad untuk keukeuh memakai stelan batik jika pergi kondangan.
* * *
Pakaian adalah produk
budaya. Jenis dan model pakaian akan selalu beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tempat pakaian itu berada. Dalam hal ini, ada batasan kesopanan dan
kepantasan untuk setiap model pakaian. Stelan jas dalam acara pemakaman
misalnya. Dalam budaya Barat, stelan seperti itu tidak akan dipermasalahkan
karena sudah sewajarnya pelayat di sana memakai stelan itu. Tapi jika kita
memakai stelan jas saat melayat di kampung, orang kampung bisa saja menilai
kita kurang sopan.
Sama halnya dengan pemakaian
bikini di pantai. Dalam budaya Barat, hal itu dianggap wajar. Tapi jika kita
memaksa memakainya di sini, boleh jadi kita malah jadi bulan-bulanan massa.
Karena itu, setiap busana memiliki tata nilai tertentu yang belum tentu sama dalam
setiap masyarakat.
Sebagai orang Jawa, ada
falsafah ajining raga dumunung saka
busana. Artinya, pakaian yang kita kenakan
sangat berpengaruh pada citra diri kita secara keseluruhan. Memahami tata
nilai dan etika berbusana menjadi penting agar kita mudah diterima sebagai
bagian dari suatu masyarakat. Selain itu, memahami etika berbusana juga penting
agar kita tidak sampai ‘salah kostum’.
Terlepas dari semua
itu, saya pribadi merasa risih karena hidup di lingkungan masyarakat yang tidak
terbiasa menerima perbedaan kaidah berbusana. Seperti kasus saya, pergi
kondangan dengan Polo shirt dianggap tidak
sopan. Bagaimana jika saat itu ada tamu undangan yang baru datang dari jauh dan
tidak sempat membawa kemeja batik? Haruskah kita memintanya pulang untuk sekedar
mengganti bajunya?
Mark Zukenberg bahkan
menemui Presiden Jokowi dengan stelan kasual khas anak muda—kaos oblong dan
celana jeans. Oh man, andai Mark Zuckenberg
bukan CEO Facebook orang-orang pasti berpikir
“Bah, betapa kurang ajarnya anak ini”.
Menurutnya, memikirkan
baju apa yang akan dipakai dan menyesuaikannya dengan acara yang akan dihadiri,
merupakan sesuatu yang “bodoh”. Bagi orang awam, jawaban Zuckenberg memang terdengar
sembrono. Tapi jika kita mau memahami kesibukannya dan memikirkan urusan-urusan
pentingnya, maka perkataan Zuckenberg ada benarnya. Orang-orang dengan
kesibukan sepertinya, tidak akan rela membuang waktu hanya untuk mengurusi
fashion.
Masih ingat almarhum
Bob Sadino? Sebagai pengusaha sukses, Bob Sadino sering diundang dalam seminar-seminar
bisnis. Dalam urusan fashion, Bob Sadino gemar memakai kemeja dengan bawahan celana
pendek. Terang saja, penampilannya kerap dianggap nyeleneh oleh orang-orang yang belum mengenalnya. Bahkan Bob Sadino
pernah diusir dari gedung DPR karena penampilan nyeleneh-nya itu.
Kultur masyarakat
kita tidak terbiasa dengan ‘perbedaan’. Ketika ada orang yang berpenampilan
berbeda, mereka langsung menghakimi orang tersebut tanpa memahami latar
belakangnya. Padahal, apa yang kita lihat dari satu sisi belum tentu sebuah
kebenaran. Berapa banyak asumsi kita yang keliru karena kita enggan mencari
tahu seluk-beluk suatu masalah?
Sejujurnya saya iri
dengan Mark yang bisa menemui Presiden Jokowi dengan kaos oblong. Begitu juga
dengan Bob Sadino yang tetap enjoy
memakai kemeja dan celana pendek di pertemuan-pertemuan resmi. Orang-orang
mungkin akan menuduh mereka tidak punya etika. Tapi bagi saya, selama pakaian
yang dikenakan masih memenuhi standar kesopanan yang universal, maka tidak ada
yang perlu dipermasalahkan.
Ngomong-ngomong, saking
ribetnya memikirkan fahion, saya jarang sekali bereksperimen dalam hal
berbusana. Saya lebih sering memakai stelan yang netral-netral saja. Bagi saya,
kaos oblong, jaket hooodie, dan celana
jeans sudah lebih dari cukup. Kemana pun saya pergi, saya selalu enjoy dengan stelan fashion seperti itu.
Bagaimanapun, saya tidak sudi membiarkan diri saya menjadi tontonan orang,
hanya karena salah berbusana—persis seperti insiden ‘baju koko di sekolah’. []