Semasa bocah dulu, saya
punya pengalaman kurang mengenakkan dengan orang yang temperamental. Saking traumanya,
sampai-sampai saya sering illfeel jika
bertemu dengan orang yang raut mukanya tidak ramah. Lebih parah lagi, saya jadi
terlalu ‘perasa’ setiap kali melihat orang dengan ekspresi wajah cemberut. Mereka
seringkali membuat saya berpikir “jangan-jangan
orang itu cemberut karena marah sama saya...”
Karena itu, saya
sangat menghargai orang-orang ramah. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan
orang yang ramah tanpa terbebani rasa sungkan dan takut salah. Umumnya, kita tentu lebih mudah akrab saat bergaul dengan orang yang ramah. Sebaliknya, saat bergaul
dengan orang yang ketus dan dingin seringkali membuat kita ilfeel dan serba salah.
Orang-orang
ramah cenderung menghargai lawan bicaranya. Mereka tahu bagaimana membuat lawan bicara merasa dirinya penting. Tidak heran jika kita bisa bersikap
terbuka ketika berinteraksi dengan orang yang ramah. Pendeknya, keramahan tersebut adalah
salah satu faktor penting untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis.
Ngomong-ngomong, saya kok jadi berandai-andai,
apa jadinya jika instansi-instansi pemerintah diisi oleh pegawai-pegawai yang
ramah?
Selama ini, kita justru lebih sering mendengar berbagai keluhan masyarakat tentang payahnya pelayanan pegawai instansi
pemerintahan. Sebagian mengeluhkan ribetnya proses birokrasi. Sebagian lagi merasa
“dipermainkan”—disuruh ke loket ini loket itu, ke dinas ini, ke dinas itu, tapi
endingnya masalah yang diurus tidak
kunjung selesai. Belum lagi jika ada oknum ‘nakal’ yang meminta pungli
di sana sini. Lengkap sudah penderitaan kita. (Saya jadi senang jika ada lebih
banyak kepala daerah seperti Ahok atau Ganjar yang menindak tegas oknum pegawai
yang bekerja seenak perut).
Pemandangan yang
jauh berbeda bisa kita temui di loket-loket bank atau customer service (CS) jasa penerbangan.
Di tempat-tempat itu, keramahan menjadi salah satu standar operasional
pelayanan (SOP) yang wajib diterapkan. Tidak heran, jika pegawai-pegawai di
sana ramah-ramah. Sudah rupawan, cantik, ramah pula. Belum pernah saya
mendapati teller bank yang marah-marah
di depan nasabahnya. Begitu juga dengan CS jasa penerbangan, yang tetap tenang
meski dimaki-maki pelanggannya ketika pesawat delay.
Sebaliknya, di
instansi-instansi pemerintahan, saya lebih sering menjumpai pegawai-pegawai bertampang
judes yang mengabaikan keramahan pelayanan (jangankan melempar senyum, bisa disapa
saja kalian sudah beruntung). Di tempat-tempat itu, saya sering merasa diperlakukan layaknya
“motor yang sedang diservis”. Di sana, saya cuma ditanya keperluannya apa, diberitahu
begini begitu, diminta ke loket ini loket itu, kemudian selesai—antrian berikutnya.
Tidak ada keramahan pelayanan yang membuat tamu merasa nyaman di sana,
Tentu saja saya
tidak menggeneralisasi semua instansi pemerintahan seperti itu. Boleh jadi, saya cuma
kurang beruntung, karena harus berurusan dengan pegawai yang judes. Sesekali,
saya juga bertemu dengan pegawai yang ramah dan mau bersabar mendengarkan
keluhan pengunjung. Pegawai-pegawai semacam itulah yang patut mendapat apresiasi
lebih dan layak digaji tinggi oleh negara. Bukankah, seorang pegawai pemerintahan
memang digaji dengan uang rakyat? Karena itu, kita berhak menuntut mereka untuk
memberikan pelayanan terbaik—karena secara tidak langsung kitalah yang membayar
mereka!
*
*
*
Seperti yang saya jelaskan
di awal, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Sedemikian tinggi penghargaan
saya sampai-sampai saya tidak akan ragu untuk membayar lebih, demi mendapatkan
keramahan pelayanan.
Sebagai contoh, di dekat
rumah saya, ada sebuah warung langganan. Warung langganan saya itu terbilang
cukup laris. Pemilik warung biasa menjalin keakraban dengan para pelanggannya.
Ia tidak sungkan berbasa-basi dan melempar lelucon untuk mencairkan suasana. Karena
itu, saya pun kerasan setiap kali berbelanja di sana dan tidak ragu menjadikannya
warung langganan.
Di dekat warung
langganan saya, ada juga warung lain yang barang dagangannya tidak jauh berbeda.
Akan tetapi, saya jarang berbelanja di warung itu karena si pemilik warung kurang
ramah. Seperti halnya pegawai instansi pemerintahan yang judes, pemilik warung itu
hanya sekedar menanyakan keperluan saya, mengambilkan barang, menerima bayaran,
kemudian mengakhiri transaksi. Tidak ada celetuk basa-basi atau lelucon ringan pencair
suasana seperti halnya warung langganan saya.
Berhubung saya
sangat menghargai keramahan pelayanan, saya tidak merasa rugi jika harus berbelanja
di toko swalayan berjejaring. Meski secara ekonomi harganya lebih mahal, keramahan
pelayanannya sebanding dengan harga yang dibayarkan. Bandingkan dengan pemilik warung yang judes tadi. Meski harganya lebih murah, sikap judesnya adalah 'nila setitik' yang membuat saya bergeming untuk belanja di sana.
Dari warung
langganan dan toko swalayan berjejaring itu, saya pun berpikir: “Sudah seharusnya orang berdagang dengan pelayanan
seperti itu”. Karena prinsipnya, ketika pemilik warung berhasil membuat
pelanggannya merasa nyaman, maka besar kemungkinan si pelanggan akan kembali
berbelanja di warung itu. Sebaliknya, jika pemilik warung pernah membuat kapok
pelanggannya sekali saja, maka kecil kemungkinan si pelanggan akan kembali berkunjung ke warung itu.
Terlepas dari semua
itu, bersikap ramah memang tidak mudah—lebih-lebih ketika suasana hati kita sedang
tidak enak. Karena itu, kita bisa belajar dari para pegawai bank atau CS jasa
penerbangan yang tetap bersikap ramah, meski perilaku pelanggannya tidak mengenakkan.
Mereka mengajarkan kepada kita bahwa keramahan adalah “bahasa kasih” yang
universal.
Kita tidak perlu
risau jika keramahan kita tidak pernah digubris oleh orang lain. Karena dalam
hening pun, Tuhan tahu ketulusan kita untuk bersikap ramah pada sesama. Bukankah
kehidupan ini akan jauh lebih damai jika kita dikelilingi oleh orang-orang
ramah? Siapa tahu, dengan keramahan itu, rezeki kita menjadi lebih lancar—sebagaimana
yang terjadi pada pemilik warung langganan saya. Demikian. []