Buat saya, pahlawan bisa berarti siapa saja. Pahlawan tidak
harus mereka yang gugur di medan perang. Pahlawan tidak harus mereka yang pergi
mengangkat senjata. Pahlawan bisa berada di mana saja. Bahkan saat kau membalikkan
kecoa yang terjengkang—maka kau pun sudah menjadi ‘pahlawan’—setidaknya bagi
kecoa itu. Hinakah? Tentu saja tidak. Karena
bagi seorang pahlawan, keikhlasan
menolong sesama adalah segalanya.
Berhubung saya
belum pernah menulis tentang Hari Pahlawan, di postingan kali ini saya ingin
membahas mengenai sosok ‘pahawan’. Sejenak, mari kita flashback pada hari di mana saya masih kuliah.
Bagi seorang
mahasiswa (seperti saya), definisi ‘pahlawan’ tidak akan jauh dari ibuk-ibuk pemilik warung makan! (Saya
pernah menulis tentang mereka di sini).
Jika bukan karena regulasi-birokrasi dan intimidasi penguji skripsi, sudah
pasti saya akan menuliskan “ibuk-ibuk pemilik warung makan” di halaman persembahan.
Bukan bermaksud lebay—saya hanya
ingin jujur mengatakan betapa besarnya peranan mereka, hingga saya bisa menjadi
sarjana.
Sebagai seorang
yang tidak jago masak, saya sangat tertolong dengan adanya warung-warung makan.
Di tengah tugas kuliah yang menumpuk, kesibukan yang tidak berhenti, dan kerepotan
proses memasak, ibuk-ibuk warung makan adalah solusi praktis mengatasi lapar
yang tak tertahankan. Saya cukup mendatangi warung mereka, memilih menu, membayar
sekian rupiah, menikmati hidangannya, dan urusan saya dengan rasa lapar pun
selesai. Praktis, simpel, efektif, dan efisien—tentu saja.
Karena itu, ketika tersiar
kabar penggerebekan warteg yang buka saat puasa, saya termasuk pihak yang
ikut mukulin prihatin. Bagaimana tidak, keberadaan warung-warung makan membuat orang-orang
kelaparan yang tidak jago masak (seperti saya) mendapatkan asupan gizi. Keberadaan warung
makan juga membantu menolong orang-orang yang kelaparan di tengah perjalanan
jauh. Sederhananya, keberadaan warung-warung makan terbukti memberikan solusi nyata
untuk mengatasi masalah konstipasi dan malnutrisi di kalangan rakyat.
Saya tidak sedang
beretorika. Ini serius!
Kalian tahu, di tengah
pesatnya modernitas zaman, orang-orang berubah menjadi makhluk yang super
sibuk. Saking sibuknya, orang bisa sampai lupa makan. Tidak heran, jika rumah
sakit sering kebanjiran pasien tipus, diare, atau penyakit pencernaan lainnya—sedikit
banyak diakibatkan oleh pola makan masyarakat modern yang kurang tertata.
Di satu sisi, kita tentu
tidak mau jatuh sakit hanya gara-gara lupa makan. Di sisi lain, kita tidak suka
memasak karena berpikir kegiatan itu buang-buang waktu. Karenanya, keberadaan
warung-warung makan menghadirkan solusi instan bagi mereka yang ingin makan tanpa
buang-buang waktu memasak—khususnya para mahasiswa dan musafir yang tengah dalam perjalanan jauh.
Selain mereka, keberadaan
warung-warung makan juga menolong kehidupan bayi-bayi montok yang kelaparan (dalam
hal ini warung makan khusus bayi). Seperti yang kita tahu bersama, arus kehidupan
modern memaksa kaum ibu-ibu untuk ikut bekerja. Jika mereka punya bayi, maka
hampir dipastikan mereka tidak akan sempat membuatkan makanan bayi. Padahal, memasak
makanan bayi bisa jadi sangat lama. Proses memasak harus terus dilakukan sampai
menghasilkan tekstur makanan yang lembut.
Untungnya, warung-warung
makan khusus bayi sudah banyak beredar di sekitar kita. Kini, ibu-ibu tidak perlu
repot memasak makanan untuk bayinya. Cukup dengan membayar sekian rupiah,
makanan bayi bisa segera terhidang. Praktis dan mudah. Ibu senang, bayi pun girang.
Dari contoh-contoh tersebut,
ibuk-ibuk pemilik warung makan sudah memenuhi kriteria seorang ‘pahlawan’. Mereka
memang tidak memegang senapan ataupun bambu rucing untuk berjibaku melawan penjajah.
Tapi goresan pisau mereka di atas telenan sudah cukup menolong orang-orang yang
kelaparan di sekitar kita. Racikan rempah-rempah mereka terbukti ampuh mengatasi
berbagai penyakit sosial akibat perut yang lapar.
Akhirnya, pada Hari
Pahlawan ini (lebih tepatnya kemarin), saya hanya ingin bilang:
“Terpujilah, wahai ibuk-ibuk pemilik warung
makan. Berkat kalian, bayi-bayi tidak sampai kekurangan nutrisi. Berkat kalian,
orang-orang yang kelaparan di tengah jalan bisa makan. Berkat kalian, mahasiswa-mahasiswa
bisa menjadi sarjana. Berkat kalian pula, gangguan perut yang bermacam-macam bisa
terhindarkan.”