Rrr....rrrr...
Sesi telepon interaktif dengan pemirsa dimulai. Terdengar
dengung suara telepon masuk ke studio. Samar-samar, seorang lelaki paruh baya
menyapa pelan.
“Sudah sepuluh
tahun nasib saya tidak berubah, Pak......”
Hening. Penonton di studio senyap, terbius suara berat
lelaki yang tengah menelpon.
“Saya tidak tahu
lagi harus melakukan apa untuk mengubah keadaan ini. Hingga pada satu titik...”—lanjut
lelaki itu—“saya berpikir Tuhan itu tidak
ada...”
“Tolong, berikan
saya pencerahan, Pak, di mana Tuhan itu? Dan jika Bapak bisa membantu saya, apa
yang harus saya lakukan...?”
* * *
Suara lelaki penelpon itu berhenti. Rentetan
pertanyaan yang disampaikan dengan sentimentil itu menyisakan tanda tanya yang
canggung pada seluruh penonton di studio–termasuk (mungkin) Mario Teguh. Sejenak,
Mario Teguh terdiam, merenung, kemudian mencoba menjawab penelpon tersebut.
“Bapak tidak mungkin tidak disayang Tuhan, jika dari
sekian banyak orang yang mencoba menelpon kemari, suara Bapaklah yang diterima
masuk. Itu saja tanda bahwa Bapak dengan suara hati yang tulus tadi bertanya ‘apakah Tuhan itu ada dan di mana Tuhan’
telah dijawab dengan diizinkannya suara Bapak didengar oleh dua juta hati Indonesia
(yang sedang menonton acara ini).”
“Tuhan itu, sebetulnya, Pak tampil sangat jelas bagi
mereka yang ‘tidak mempercayai-Nya’. Tapi bagi mereka yang sudah yakin, Tuhan
tampil seperti ‘tidak ada’. Seakan-akan harus kita semua yang menentukan (segala
urusan).”
“Pak, apakah Bapak berdoa pada saat gembira atau hanya
waktu bersedih? Orang yang berdoa hanya waktu sedih, akan ‘ditambah
kesedihannya’ oleh Tuhan. Karena bagi Tuhan, kesedihan itu tidak apa-apa
(karena justru bisa mendekatkan hamba dengan Tuhan-nya melalui doa). Karena
suara terindah yang Tuhan ‘dengar’ adalah doa. Jangan buat Tuhan merindukan
suara Anda (doa) hanya ketika Anda sedang bersedih (saja)”.
“Syukuri, renungkan setiap kebaikan-kebaikan di
sekitar kita, seperti kenyataan bahwa ada
seseorang yang mau menerima Bapak dan bersedia menua bersama sebagai istri itu.
Apa harapan hidupnya, jika suami yang gagah perkasa, yang disandarinya sebagai
suami itu terdiam berputus asa?”
“Jadi bagaimana jika mulai sekarang Bapak merayakan hal-hal kecil yang selama ini
Bapak sepelekan...”
“Nafas...
Bapak bernafas lebih bebas daripada mereka yang di ICU sana, yang membayar
jutaan hanya untuk bernafas”.
“Mata...
berapa banyak orang yang harus membayar milyaran, hanya untuk melihat apa yang sekarang
Bapak lihat?”
“Jadi bagaimana jika mulai sekarang kita mensyukuri hal-hal yang selama ini kurang
kita syukuri. Rayakanlah setiap kemenangan-kemenangan kecil dalam hidup
seperti ketika melihat anak pulang sekolah, “Terima kasih, Tuhan, Engkau izinkan aku punya anak—karena banyak
orang kaya-raya tidak punya anak.”
“Biasakan berdoa dalam kegembiraan agar Tuhan
“tersemangati” untuk turut serta membantu memberkati kehidupan kita” pungkas
Mario Teguh.[]
===========
*Disarikan dari sesi telepon interaktif acara Mario Teguh Golden Ways episode “Who am I?” dengan penggubahan dialog
secukupnya.