Sunday, January 26, 2020

Bakso Terabal Sejagad

Suatu kali, saya dan istri tengah mencari hidangan untuk makan malam. Berhubung menu di kulkas belum menggugah selera, kami memutuskan untuk makan di luar. Kebetulan saat itu saya sedang senggang sehingga ada cukup waktu sekedar untuk ngelayap ke luar mencari kudapan. Soal menu—bagi saya—hal itu tidak pernah akan saya baku-debatkan dengan istri. 

Jika suami istri lain “gaduh” gara-gara tidak kunjung memilih menu, atau karena si istri ketus menjawab “terserah”, saya lebih suka berinisiatif mengambil kata “terserah” lebih dulu sebelum keduluan dipakai istri. Lelaki manapun di dunia pasti kebingungan jika si perempuan sudah bilang “terserah”. Mbuh maunya apa.

Singkatnya, dalam perkelayapan mencari hidangan malam, saya dan istri berhenti di sebuah kedai bakso pinggir jalan. Kedai itu cukup luas dengan desain bangunan joglo di depannya. Secara umum tempatnya bersih dan sangat nyaman untuk dijadikan tempat kongkow akhir pekan. Desain interior kedai memakai corak jawa tradisional—menyesuaikan bentuk bangunan yang klasik. Meja-meja dan kursi tertata rapi memanjang dengan nomor di setiap sudutnya (ini kedai bakso apa ruang ujian ya?). Melihat tampilan awal kedai bakso itu, kami pun yakin bahwa kami tidak salah memilih tempat.

Setelah memesan menu, saya dan istri ngobrol ngalor ngidul seputar kedai yang kami kunjungi. Jadi di sekitar kedai bakso itu, tidak ada kedai bakso lain. Hanya ada warung-warung soto dan penyet tenda bergambar unggas dan satwa-satwa air di seberangnya. Berhubung saat itu cuaca cukup dingin, membayangkan nyantap bakso dengan kuah hangatnya akan menggugah selera. Lebih sempurna lagi karena di kedai bakso itu hanya ada saya dan istri saya—seakan-akan kami sudah memesan seluruh isi kedai itu untuk menjadi tempat makan malam yang romantis.

Beberapa menit berselang, minuman pembuka diantarkan pelayan. Bagi saya, minuman pembuka semacam itu adalah salah satu trik “pengalihan isu” agar pelanggan betah menunggu hidangan utama (yang seringkali dimasak terlalu lama). Begitu juga dengan bakso pesanan kami. Dari tempat kami duduk, terlihat juru masak bakso sedang sibuk-sibuknya mengolah bahan. Tapi setelah ditunggu bermenit-menit, belum ada gelagat bakso matang siap dihidangkan.

Membahas pesanan makanan yang lama dibikin, saya jadi teringat momen kabur bareng istri (bukan kawin lari lho, ya). Situasinya kami sedang menunggu jam tayang sebuah film di bioskop. Berhubung jeda waktunya masih lama, kami memutuskan untuk makan malam dulu di sebuah warung bebakaran yang katanya enak. Saat itu, banyak karyawan warung yang mudik (saat itu beberapa hari setelah lebaran) sehingga pelayanannya menjadi lambat. Saya dan istri sengaja memesan jenis makanan yang proses memasaknya tidak lama. Sehingga kami tidak perlu berlama-lama menunggu.

Sayangnya, asumsi awal kami keliru. Hidangan kami tidak kunjung diantarkan. Saya dan istri sudah lebih dari setengah jam menunggu, duduk mengakar di kursi dengan gelas minum yang sudah tandas. Sementara itu, film yang ingin kami tonton di bioskop akan segera tayang. Saya pun mendatangi meja pesanan, menanyakan kepada karyawan, dan mendapati jika dari tadi menu kami belum sempat dibuat! Apa-apaan!? Saya dan istri pun beringsut meninggalkan warung makan dengan dongkol.

Kembali ke kedai bakso. Setelah menunggu bermenit-menit lamanya, bakso kami pun terhidang dengan segala umbarampe-nya (kecap-saos-sambal-cuka). Kepulan uap putih dari kuah bakso sudah melambai menggugah lapar.

Baru tandas beberapa suap sendok bakso, saya mulai merasa aneh. Citarasa bakso yang kami santap sangat menggelikan. Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing. Berhubung lapar, saya habiskan saja seporsi bakso tadi. Tapi istri saya tidak. Gurat-gurat kedongkolan terlihat dari ekspresinya. Setengah berbisik, kami mengomeli citarasa bakso yang menggelikan itu.

“Baksonya pake bakso instan nih... (bakso yang sering dijual bebas di pasar-pasar tradisional).”

“Mie-nya juga pakai mie instan kok piye.”

“Walah, parah banget nek iki...”

“Kuahnya gimana?”

“Kuahnya apalagi??? Micin thok!”

“Ini bener-bener bakso paling parah yang pernah tak makan!”

“Iya, setuju. Eman-eman sekali, padahal tempatnya udah bagus, lokasinya strategis di pinggir jalan, saingan sesama kedai bakso nggak ada, tapi rasa baksonya kacau begini.
*   * *

Sepanjang perjalanan pulang, istri saya masih mengomeli bakso abal-abal yang barusan disantap. Mengesalkan memang. Sudah harga baksonya di atas rata-rata, tapi citarasanya menyedihkan. Terlihat sekali si pemilik kedai bakso ingin meraih untung instan dengan modal seadanya. Demi meredakan komplain istri yang getir, saya membelikannya bakso di kedai bakso lain yang jauh dari kedai bakso abal-abal.

Menjalani bisnis memang tidak mudah. Ada modal yang selalu dipertaruhkan di sana, kebanyakan nominalnya besar. Setiap pengusaha ingin meraih keuntungan maksimal dengan modal yang ada. Meski begitu, ada hal lain selain modal yang perlu dipikirkan para pelaku usaha yakni kualitas produk! 

Pengusaha-pengusaha yang sukses pasti sangat memprioritaskan kualitas produknya. Produk tersebut sebisa mungkin dibuat untuk menyenangkan pelanggan, bukan malah mengecewakannya. Karena bagi pengusaha, pelanggan adalah “raja”. Jika “raja” kecewa, siapa yang mau mampir membeli? Jika seorang pelanggan sudah kapok, bagaimana mungkin dia akan kembali membeli? Seperti kata pepatah cina kuno “Jika kau tak bisa tersenyum, tidak usah jadi pedagang”.

Tak jauh dari kedai bakso abal-abal, ada sebuah warung padang murah. Saya sering makan di sana, semata karena harga makanannya yang (terlalu) murah. Saat harga cabe sedang mahal-mahalnya, paman pemilik warung padang itu pernah berkata kepada saya “Kami berusaha untuk tidak terpengaruh dengan mahalnya bahan-bahan. Prinsip kami, meski keuntungan yang diperoleh boleh jadi cuma sedikit, yang terpenting pelanggan kami puas dan tidak kapok datang kemari lagi.” Nyatanya, dengan prinsip itu, warung makan padang milik paman itu terus laris manis didatangi pelanggan.

Ada baiknya pemilik kedai bakso meneladani prinsip paman warung padang. “.....yang terpenting pelanggan kami puas dan tidak kapok datang kemari lagi”. Apalagi kedai bakso itu sudah didukung oleh kenyamanan bangunan dan lokasi yang strategis. Sayang sekali jika kedai bakso yang sebenarnya punya modalitas yang cukup untuk menjadi laris, justru dikerdilkan oleh pemilik usaha dengan menyediakan bakso abal-abal bercita rasa menggelikan.

Menjadi pengusaha memang tidak mudah. Banyak hal yang dipertaruhkan di dalamnya. Ada desakan kuat untuk bisa segera balik modal dan hasrat meraih omset ratusan juta. Hal semacam ini memang tidak dilarang. Boleh-boleh saja seorang pengusaha mencari untung berlipat. Tapi yang jelas, tidak akan ada keuntungan berlipat jika pelanggan selalu dikecewakan. Pada akhirnya, kekecewaan para pelanggan akan menumpuk tinggi menggunung hingga akhirnya menghancurkan usaha yang telah dirintis—betapapun bagusnya konsep yang ditawarkan usaha itu.[]

*   * *

Meanwhile, setelah kunjungan saya dan istri ke kedai bakso abal-abal, pemilik kedai itu masih konsisten membuka usaha baksonya. Hingga beberapa waktu yang lalu sebelum catatan ini ditulis, saya dan istri saya sempat melewati kedai bakso abal-abal. Hanya saja tempatnya sudah ditutup dan kini entah difungiskan untuk usaha apa. Sangat disayangkan.


*) Dialog-dialog dalam catatan ini dibuat untuk menjelaskan konteks masalah dan dramatisasi agar lebih mudah dipahami.
January 26, 2020Benny Prastawa