Saturday, January 4, 2020

Ketika Istri Menyadarkan Bakti pada Sosok Ibu


Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata, "Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?”
Rasulullah menjawab “Ibumu!
Orang tersebut kembali bertanya, “Lalu siapa lagi?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu!
Orang tersebut kembali bertanya, “Lalu siapa lagi?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu!
Orang tersebut kembali bertanya, “Lalu siapa lagi?”
Rasulullah menjawab, “Kemudian Ayahmu...”

(HR. Bukhari)

*   * *

Dalam banyak literatur, peran sesosok ibu dalam kehidupan seseorang sangat vital dan esensial. Sosok “ibu” sering disebut sebagai madrasah pertama bagi seorang anak. Sejak kecil kita memang diajarkan untuk selalu menghormati kedua orangtua kita. Tetapi sosok “ibu” selalu mendapat tempat prioritas tersendiri. Tanpa bermaksud mengkerdilkan status “ayah”, tuntutan penghormatan dan bakti seorang anak kepada sosok “ibu” selalu jauh lebih utama.

Saat kanak-kanak, kita sering menyanyikan lirik:

Satu-satu... aku sayang ibu...
Dua-dua... juga sayang ayah...

Sosok pertama yang Bu Kasur (pencipta lagu) tuliskan dalam bait lagu tersebut adalah “ibu”. Ada banyak lagu lain yang mengedukasi anak dalam hal berbakti kepada sosok “ibu”—seperti lagu “Kasih Ibu” dan “Ambilkan Bulan”. Saking pentingnya urusan ini, sampai-sampai Rasulullah tiga kali mewasiatkan kepada umatnya agar memprioritaskan bakti kepada sosok “ibu”.

Saya pribadi sudah kenyang dengan doktrin untuk mengutamakan bakti kepada ibu. Sejak kecil, saya diajarkan tentang hal-hal sejenis itu. Urusan bakti kepada ibu termasuk salah satu pelajaran moral mula-mula yang diajarkan sejak pertama kali saya duduk di bangku sekolah.

Saya diajarkan bahwa ibu adalah sosok yang telah mengandung dan melahirkan kita. Proses mengandung itu sendiri sangatlah berat, membutuhkan waktu sembilan bulan, sampai kemudian harus bertaruh nyawa di meja persalinan demi melahirkan sang buah hati.

Tapi saya terlalu normatif dalam memahami ajaran-ajaran semacam itu. Saya terjebak pada simplifikasi “Ibu sudah mengandung dan melahirkan kamu dengan susah payah, kamu harus berbakti padanya!” Sesederhana itu.

Saya tidak bisa mengolah pemahaman saya sampai pada internalisasi ajaran moral tentang bakti kepada ibu. Boleh jadi, hal ini disebabkan karena saya tidak bisa mengingat peristiwa-peristiwa awal kehidupan saya dari fase post-natalis sampai batita. Saya tidak pernah tahu betapa berat perjuangan ibu saya dalam merawat dan membesarkan saya (setidaknya sampai saya bisa mengingat sesuatu secara psikis-emosional).

Apalagi pada zaman saya lahir, alat-alat perekam video semacam handycam atau sekadar kamera “KODAK” tergolong barang mewah yang hanya dimiliki segelintir orang (keluarga saya tidak termasuk). Karena itu, keluarga saya tidak memiliki dokumentasi audio-visual yang memperlihatkan betapa repotnya membesarkan saya. Foto-foto balita saya lebih banyak diambil di studio atau di tempat wisata di mana ada para juru kamera.

Begitu menginjak usia dewasa, saya masih terjebak pada tafsir normatif ajaran bakti kepada ibu—hanya berbeda dari segi manifestasi aspek kausalitasnya saja. dalam fase ini, saya menganggap sosok “ibu” harus dihormati bukan hanya karena beliau telah mengandung dan melahirkan kita, tapi juga karena beliau telah banyak berkorban dan berjasa dalam memperjuangkan kebaikan bagi anaknya (terutama dari aspek ekonomi).

Ibu telah berpayah-payah mensekolahkan kita, membiayai semua kebutuhan kita, dan merawat kita dengan sabar hingga beranjak dewasa. Dan karena alasan-alasan itu, kita harus selalu berbakti kepada ibu. Hanya saja, saya menganggap hal ini (pengorbanan dan perjuangan ibu) sebagai sesuatu hal yang memang sudah semestinya dilakukan. Karena itu, saya belum benar-benar menginternalisasikan secara psikis-emosional alasan untuk berbakti kepada ibu.

Hingga kemudian setelah menikah, barulah saya bisa menginternalisasi doktrin “menghormati ibu”. Setelah melihat perjuangan istri saya dalam mengelola urusan rumah tangga, hingga ketika anak pertama kami lahir, saya seakan baru tersadarkan tentang betapa besar peran sesosok ibu bagi anaknya.

Dari istri saya, saya melihat sendiri bagaimana repotnya mengurusi seorang anak. Sebelum anak kami lahir, istri saya harus berpayah-payah melewati fase kehamilan—selama sembilan bulan dengan segala batasan aktivitas fisik dan psikis yang menghimpit. Begitu proses melahirkan, saya mendapati istri saya harus menahan beban sakit yang “meremuk tulang” selama fase pembukaan lebih dari 13 jam!

Hingga puncaknya, ia memaksakan badan yang sudah teramat letih untuk berkontraksi mengeluarkan si jabang bayi dari rahim. Tidak cukup sampai di situ, istri saya masih harus mendapat beberapa kali jahitan-tanpa-bius pasca persalinan. Mengingat soal “jahitan” ini, selalu membuat saya bergidik ngilu (termasuk ketika saya menuliskan catatan ini).

Seperti kebanyakan orangtua lain pada umumnya, fase 4 bulan pertama setelah persalinan harus dijalani dengan ketelatenan prima. Pada usia itu, kondisi bayi masih sangat lemah dan mengharuskan keberadaan orang lain secara total untuk mengurusi segalanya. Begadang pun harus menjadi kebiasaan bahkan “hobi” yang rutin dilakukan istri saya. Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat.

Istri saya selalu terjaga setiap kali si kecil bangun menangis. Dengan telaten, ia menenangkan si kecil yang kehausan. Istri saya selalu cemas kalau-kalau si kecil terhimpit badannya ketika lelap. Atau ketika muka si kecil tanpa sengaja tertutup selimut. Kecemasan-kecemasan itulah yang membuat dirinya sendiri tidak bisa lelap alih-alih harus selalu sigap semalaman.

Pada bulan-bulan berikutnya, ada fase ketika si kecil rewel luar biasa tanpa sebab yang  jelas. Lapar, tidak. Haus, tidak. Popok basah, tidak. Bosan, tidak. Perut kembung, tidak. Gatal, tidak. Kondisi ini bisa berlangsung berjam-jam lamanya—membuat kami cukup tidak enak hati pada tetangga. Artikel medis menyebutnya sebagai “growth sprute” atau semacam lonjakan pertumbuhan. Jika dalam kondisi normal, kerewelan si kecil akan berhenti dengan digendong atau diberi ASI. Namun pada saat growth sprute  hal itu tidak banyak membantu. Lebih susah lagi karena hanya istri saya seorang yang bisa meredakan semua kekacauan itu.

Saya jadi merasa tidak berguna karena keberadaan saya tidak banyak membantu untuk menenangkan si kecil. Asumsi saya, faktor kedekatan emosional ibu dan anak yang selalu terhubung lewat proses laktasi-lah yang membuat si kecil teramat bergantung pada ibunya. Tak peduli betapa pun letihnya, istri saya harus selalu ada demi menenangkan si kecil.

Seiring bertambahnya usia, keinginan si kecil juga semakin bertambah. Ketelatenan saja tidak cukup untuk menghadapi perubahan-perubahan dalam diri si kecil yang acapkali menimbulkan masalah. Dibutuhkan kesabaran lebih untuk menghadapi tingkah polah si kecil yang semakin beragam karena terdorong keinginan dan rasa ingin tahunya.

Misalnya, ketika istri saya sudah berpayah-payah membuatkan bubur dan sup untuk sarapan, akan tetapi si kecil tidak mau memakannya. Padahal di hari sebelumnya, si kecil mau memakan menu serupa dengan lahap. Atau (yang paling sering) ketika si kecil rewel, gerah, tidak bisa tidur, dan memaksa harus digendong-gendong sampai terlelap. Mau tak mau, istri saya harus menuruti permintaan si kecil demi melihatnya pulas terlelap. Karena hal itu, otot pergelangan tangan dan lengan istri saya sampai mengalami cedera.

Dari cuplikan-cuplikan keseharian istri dalam mengurus si kecil, saya jadi lebih memahami alasan logis mengapa sosok “ibu” layak kita utamakan dan berhak mendapat tempat teratas dalam daftar orang yang wajib kita beri bakti sepenuh hati. Dalam diri seorang ibu, terdapat nilai-nilai pengorbanan, penderitaan, ketulusan, kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang tak bertepi yang selayaknya disadari dan dipahami oleh setiap anak.

Sebagian orang mungkin menganggap urusan bakti kepada ibu ini sebagai hal yang biasa—sebuah keharusan yang semestinya dilakukan, atau salah satu pelajaran kebajikan mula-mula yang diajarkan sejak kanak-kanak. Tapi pada praksisnya, entah karena kesibukan, tuntutan pekerjaan, atau distorsi arus kehidupan, ada saja anak-anak “malang” yang melupakan peran ibu dalam kehidupannya.

Anak-anak “malang” ini hanya menjadikan ibunya sebagai pemeran figuran dalam narasi kehidupannya. Dalam semesta kehidupan yang lain, sebagian anak malah membenci ibu kandungnya dengan berbagai macam alasan pembenaran. Sebagian yang lain tidak kalah parahnya dengan memperlakukan ibunya seperti “doraemon” yang siap diper-babu-kan untuk apa saja.

Catatan ini bergerak dalam konteks semesta kehidupan yang das solen, di mana seorang anak harus berbakti kepada ibunya, dan seorang ibu yang baik harus mau memperjuangkan kebaikan bagi anaknya. Dalam hal ini, saya pantas berterima kasih kepada istri saya. Berkat ketelatenan dan kesabarannya membersamai si kecil, saya semakin memahami betapa besar pengorbanan sosok “ibu” bagi anaknya.

Saya juga semakin tersadarkan untuk berbakti kepada ibu dan berusaha membahagiakannya dengan balas budi terbaik yang bisa saya berikan. Sesuatu hal yang terkadang membuat saya gamang karena belum bisa saya penuhi semuanya. Setidaknya, dalam penilaian standar moral saya sebagai seorang anak. Kiranya, Tuhan berbaik hati memberikan usia yang cukup untuk merealisasikan semua cita saya membahagiakan kedua orangtua, terutama—membahagiakan sosok seorang “ibu”.[]