Saturday, August 3, 2024

Hidup Berbahagia sekaligus Menderita?

Banyak yang bilang, tujuan hidup manusia adalah bahagia. Mulai dari buku-buku motivasi sampai seminar MLM, hampir semuanya mengatakan hal yang sama. Rumus generalnya: kecil dimanja, remaja dipuja, dewasa kaya-raya, tua bahagia, mati masuk surga.

Mau diiyakan, tapi kok, utopis sekali. Mau dibantah, tapi kok, tidak salah. Faktanya, manusia memang selalu ingin bahagia.

Jika melihat gerak peradaban manusia, semua kecanggihan teknologi, infrastruktur, dan properti yang dibangun diarahkan untuk tujuan kebahagiaan. Moyang kita di zaman batu, susah payah membuat api untuk mempercepat proses memasak. Dengan api, moyang kita bisa terhindari dari kelaparan dan kedinginan. Kebahagiaan kita saat itu sebatas bertahan hidup dan mengenyangkan perut.

Kecenderungan manusia tidak berubah di era modern. Bedanya, kita tidak “menyembah” api seperti moyang kita dulu. Hari ini, kita bisa mengelus-elus layar, lalu menunggu kurir mengantarkan kudapan. Semakin bervariasi (dan mewah) menunya, semakin bahagialah kita.

Manusia tetaplah spesies cerdas yang terobsesi mengejar kebahagiaan. Bahkan meski kebahagiaan itu terasa semakin sulit dipenuhi. Manusia akan terus mencari cara demi mendapatkannya. Teknologi dan infrastruktur yang terus berkembang mempermudah manusia merealisasikan keinginannya.

Masalahnya, nilai kebahagiaan setiap manusia tidak sama. Kebanyakan manusia modern akan bahagia jika punya banyak uang. Tapi faktanya, tidak sedikit manusia yang menderita setelah menghabiskan banyak uang. Kebanyakan manusia modern akan bahagia jika punya rumah bagus. Tapi faktanya, tidak sedikit manusia yang tersiksa ketika melihat rumah tetangganya lebih bagus.

Jika begitu polanya, kapan manusia modern bisa bahagia?

Tanpa disadari, kita justru lebih sering menderita karena mengejar kebahagiaan itu. Kita sering memaksakan diri bekerja sedemikian keras, demi meraih uang yang lebih banyak. Dengan uang itu, kita berpikir bisa menjadi lebih bahagia. Sayangnya, karena kita terlalu memaksa badan, kita pun jatuh sakit. Uang hasil bekerja malah tidak jadi dinikmati karena harus dipakai membayar dokter dan membeli obat.

Kita menabung sedemikian rajin, demi membeli mobil baru. Semua pengeluaran sekunder dan tersier kita coret dari skala prioritas. Selama berbulan-bulan, tabungan kita menggunung. Mobil baru akhirnya terbeli. Sayangnya, meski sudah punya mobil baru, kita masih belum bahagia—karena tetangga sebelah juga membeli mobil baru yang lebih mewah dan elegan.

Menabung dan menunda kesenangan konsumtif itu “menderita”. Bekerja keras juga “menderita”. Meski tujuannya meraih kebahagiaan, kita tidak bisa menggaransi semua “penderitaan” itu akan terbayar lunas. Kita tidak bisa memastikan kebahagiaan itu terwujud, meski kita sudah mati-matian mengejarnya.

Tanpa sadar, manusia modern terperangkap oleh ilusi kebahagiaan yang diciptakannya sendiri. Ibarat pesepeda mengejar segepok uang yang digantung di depan sepedanya sendiri. Secepat apapun ia mengayuh, uang yang ada di depannya tidak akan bisa diraih. Pesepeda itu baru bisa mengambil uang jika ia sudah “sadar”, lalu turun dari sepedanya.

Artinya, kita akan lebih mudah mencapai kebahagiaan jika kita meletakkan “garis finish-nya” di dalam diri kita—bukan di luar. Jika kita menggantungkan kebahagiaan pada uang, jabatan, properti, dan objek-objek lain yang bersifat eksternal, bukankah kita akan lebih sulit berbahagia? Pikiran kita akan terus terjebak dan mengejar  objek-objek artifisial itu sebagai prasyarat kebahagiaan. Seakan-akan, tanpa semua itu, kita merasa tidak berhak berbahagia.

Bukan berarti uang, jabatan, dan properti itu tidak penting. Kita tidak bisa naif, jika uang bisa mendatangkan kebahagiaan secara instan. Namun, jika kita menganggap uang sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan dan mengabaikan hal-hal lain yang sudah dimiliki, kita justru akan semakin tertekan. Karena percaya uang adalah sumber kebahagiaan, kita sibuk mengejarnya sampai mengabaikan kesehatan, mengabaikan keluarga, bahkan sampai mengabaikan ibadah.

Sah-sah saja menjadikan bahagia sebagai tujuan hidup. Tapi jangan sampai obsesi meraih kebahagiaan itu justru membuat hidup kita (atau bahkan orang lain) menderita.

Dalam hidup ini, kita harus selalu melatih keterampilan bersyukur. Dengan bersyukur, kita menjaga kesadaran bahwa kita sudah memiliki dan meraih sesuatu. Sekecil apapun itu, kita pantas bersyukur dan merayakannya. Kita bahkan bisa bersyukur untuk hembus napas yang mengalir gratis yang menjaga kita tidak mati. Sementara kita tahu, di luar sana, ada banyak orang yang membayar jutaan hanya demi bisa bernapas.

Jika kita lupa untuk bersyukur, kita tidak akan puas dengan apapun yang dimiliki. Kita selalu menderita karena merasa kurang. Kita akan menderita karena terus membanding-bandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Inilah faktor terbesar yang membuat kita tidak lekas berbahagia.

Kebahagiaan juga tidak lepas dari keterampilan memaknai hidup. Ketika kita terampil memaknai hidup, kita dapat membuat ruang kebahagiaan di dalam diri tanpa bergantung pada orang, benda, atau hal-hal artifisial dari luar. Dengan begitu, kita bisa menjadi manusia yang merdeka dari “perbudakan materialisme” yang kita ciptakan sendiri.

Dan kesadaran bersyukur adalah resep paling mujarab untuk hidup yang lebih berbahagia.[]


-backdate-

August 03, 2024Benny Prastawa