Sunday, December 1, 2024

Jejak Sejarah Manusia Modern

Salah satu kegelisahan saya tentang dinamika peradaban manusia modern adalah hilangnya eksistensi dan jejak sejarah manusia itu sendiri. Kehadiran internet memungkinkan setiap manusia memiliki ruang publikasi nirbatas bernama media sosial. Namun dari sekian banyak konten yang diunggah—atau mungkin dipamerkan—apakah semua itu termasuk jejak sejarah yang memiliki nilai utilitas bagi generasi selanjutnya?

Peradaban manusia zaman kuno bisa kita ketahui dari artefak agung yang ditinggalkannya. Piramida Ginza, Taj Mahal, Candi Borobudur, dan Kuburan Tentara Terakota, adalah contoh artefak monumental karya peradaban masa lampau. Dari sana, manusia masa kini bisa menggali banyak informasi dari peradaban masa lampau.

Sayangnya, manusia modern dengan segala kecanggihan teknologi yang diciptakannya, seperti kehilangan arah dalam menciptakan warisan peradaban yang memiliki nilai utilitas bagi generasi selanjutnya. Manusia modern memang masih mampu membuat gedung super tinggi seperti Burj Khalifa. Manusia modern juga masih mampu membuat kecerdasan buatan yang serba tahu, hingga mempermudah banyak urusan manusia.

Namun, nilai utilitas apa yang akan manusia modern tinggalkan dengan segala kecanggihan teknologi kontemporer yang mereka ciptakan?

Manusia modern yang cerdas menciptakan media sosial, namun mengalami banyak masalah mental karenanya. Manusia modern memprogram kecerdasan buatan, namun keberadaannya malah memicu ketergantungan dan kemalasan. Manusia modern memiliki ponsel pintar dengan akses internet ultra cepat (5G), namun selalu bingung mencari foto-foto penting di galeri. Manusia modern membangun gedung pencakar langit, namun ketimpangan sosial di sekitarnya masih terus terjadi.

Memang ada segelintir manusia yang dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menunjang produktivitas lalu menghasilkan karya-karya yang memiliki nilai utilitas. Sayangnya, ada jauh lebih banyak manusia modern yang diperbudak oleh kecanggihan teknologi hingga sulit memaknai apa yang benar-benar penting bagi kehidupannya.

Pada akhirnya, sampailah manusia modern pada peradaban penuh dopamin dengan tujuan sederhana: menyenangkan diri selama mungkin.

Implikasinya, segala kecanggihan teknologi diarahkan algoritma untuk mempermudah manusia modern dalam mencari kesenangan. Kesenangan telah menjadi berhala baru bagi manusia modern. Video-video konyol, game, lagu, sampai tren-tren absurd terus diproduksi agar manusia modern terbiasa dengan nuansa kesenangan. Dengan kesenangan artifisial tersebut, otak akan mengeluarkan hormon dopamin yang memicu perasaan nyaman dan lega. Itu sebabnya, manusia modern tidak akan berhenti “memberhalakan kesenangan” karena mereka menginginkan efek dopamin tersebut.

Sampai kemudian, tiba waktunya bagi manusia modern itu meninggal. Tubuh jasmaninya dikuburkan dan ruhnya pergi menuju alam baka. Manusia modern yang masih hidup tidak bisa berkomunikasi lagi dengan mereka yang sudah meninggal. Yang tersisa hanya jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan.

Namun apa jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan manusia modern? Video-video konyol bersama kucing kesayangan? Foto selfie dengan puluhan filter? Komentar penuh makian pada pejabat yang korup? Atau hutang-hutang yang menggunung, karena perilaku konsumtif demi validasi sosial?

Ketika manusia modern meninggal, berapa banyak di antara mereka yang sempat meninggalkan “jejak-jejak sejarah”? Boleh jadi, generasi yang akan datang tidak sempat tahu siapa mereka dan apa jasa mereka semasa hidup. Nisan-nisan di pemakaman menjadi satu-satunya artefak yang mereka tinggalkan, dan satu-satunya informasi penting yang ditinggalkan hanyalah tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

Berapa banyak yang bisa kita pelajari dari media sosial, foto, ponsel pintar, catatan, atau jejak-jejak digital lain yang sempat didokumentasikan manusia modern semasa hidupnya? Apakah semua itu bermanfaat atau tidak lebih dari setumpuk sampah belaka? Ketika kelak kita meninggal, jejak-jejak sejarah kitalah yang akan tertinggal di dunia. Ada baiknya, kita mulai bersikap bijak dalam menulis jejak-jejak sejarah yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya.[]

December 01, 2024Benny Prastawa

Friday, November 15, 2024

Rumus Kerja Keras dan Kekayaan


Apakah kerja keras adalah kunci sukses menuju kekayaan? Tentu saja, YA. Tapi, kerja keras bukan satu-satunya cara.

 

Ketika kita berbicara tentang kekayaan, ada banyak faktor yang saling mempengaruhi dan ada lebih banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk melihatnya. Kita tidak akan sampai pada pemahaman yang utuh tentang kekayaan jika hanya memakai satu sudut pandang—karena akan kalian temui banyak pertentangan/kontradiksi setelahnya.

 

Misalnya, jika saya mengatakan kerja keras adalah kunci menuju kekayaan, kalian bisa langsung 'menyangkal' dengan menyodorkan realitas ada banyak orang yang tampak bekerja keras banting-tulang dari subuh hingga larut malam tapi tidak kunjung kaya. Sementara ada segelintir orang yang sepertinya malas-malasan, sering bangun kesiangan, kerja sesukanya, tidak pernah diburu waktu ke kantor, tapi penghasilannya berlipat-lipat digit nol-nya.

 

Artinya, kerja keras memang bukanlah satu-satunya cara untuk menjadi kaya. Kerja keras harus dipahami sebagai sebuah sikap atau mentalitas yang bisa membuat orang menjadi kaya, bukan sebuah prasyarat mutlak yang jika dikerjakan akan langsung membuat orang menjadi kaya.

 

Memang ada orang yang kaya raya meski tampaknya bekerja biasa-biasa atau malah terkesan malas-malasan. Tapi, ada lebih banyak orang yang menjadi kaya karena KERJA KERAS—yang telah dilakukannya sebelumnya. Hal terakhir inilah yang sering luput dari perhatian kita.

 

Kita tidak pernah benar-benar mengikuti perjalanan hidup Si Kaya itu. Kita hanya bisa melihat sisi luar kekayaannya saja. Mungkin dari megah rumahnya, banyak mobilnya, meriah pestanya, frekuensi liburannya, bagus bajunya, montok anak-anaknya, atau atribut kemakmuran lain yang kasat mata.

 

Kita mungkin mengabaikan fakta, bahwa dulunya, Si Kaya itu juga pernah mengalami fase kerja keras banting-tulang dari pagi hingga malam, sebelum sukses meraih kekayaannya saat ini. Kita hanya tertarik melihat produk akhir kekayaannya, tapi mengabaikan serangkaian proses yang mendahuluinya.

 

Orang kaya yang memiliki mentalitas kerja keras, akan lebih survive menghadapi perubahan zaman dibanding orang kaya yang malas, yang hanya mengandalkan warisan, keberuntungan, atau ketergantungan pada keahlian orang lain.

 

Sebagai contoh, ada dua karyawan yang bekerja di sebuah biro jasa wisata, karyawan A dan karyawan B. Keduanya sama-sama memperoleh gaji yang besar karena biro jasa wisata tempat mereka bekerja sangat laris.

 

Bedanya, karyawan A memiliki keahlian yang lebih unggul dibandingkan karyawan B. Karyawan A juga selalu bekerja keras dan meningkatkan skill-nya dibanding karyawan B yang lebih suka malas-malasan dan bekerja seenaknya. Karyawan B merasa aman dari pemecatan karena pimpinan biro jasa wisata itu masih terhitung saudara ayahnya.

 

Tiba-tiba, datanglah pandemi COVID-19. Pemerintah memberlakukan pembatasan perjalanan dan lockdown. Mobilitas masyarakat menjadi berkurang. Kegiatan pariwisata lokal dan internasional pun lumpuh seketika.

 

Biro jasa wisata tadi juga terkena imbasnya lalu mengalami kebangkrutan. Pimpinan biro yang masih saudara ayah karyawan B tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan bisnisnya. Karyawan A dan karyawan B pun sama-sama kehilangan pekerjaannya.

 

Di tengah-tengah krisis akibat pandemi, karyawan A menggunakan keahliannya untuk membuka bisnis sendiri dari rumah. Awalnya memang tidak mudah. Tapi, dengan mentalitas kerja keras yang dimiliki, karyawan A sukses membuat bisnisnya berkembang dan membuat kekayaannya bertahan.

 

Berbeda dengan karyawan B yang gemar bekerja seenaknya. Karena selama ini kekayaannya tidak ditopang oleh keahlian yang cukup, ditambah lagi pendapatannya tertolong oleh unsur nepotisme/ketergantungan pada orang lain, karyawan B kesulitan untuk tetap bertahan di tengah krisis. Mentalitas karyawan B yang enggan bekerja keras, memperkeruh krisis yang dialaminya. Ia pun kesulitan untuk mempertahankan kekayaannya.

 

Ilustrasi cerita ini hanya gambaran untuk menunjukkan bahwa JANGAN PERNAH MEREMEHKAN KERJA KERAS SIAPAPUN.

 

Kerja keras memang bukan satu-satunya kunci dan syarat penentu kekayaan. Tapi orang kaya yang tetap mau bekerja keras, lebih mungkin mempertahankan kekayaannya di tengah perubahan zaman yang bagaimanapun juga.

 

Lebih-lebih, bagi mereka yang merasa belum kaya—kerja keras adalah pilihan paling realistis agar selangkah lebih dekat menuju kekayaan. Kerja keras saja memang belum tentu akan membawa kita pada raihan kekayaan tertentu. Tapi, kerja keras adalah sikap yang jauh lebih terhormat daripada bermalas-malasan.

 

Terlepas dari semua itu, tidaklah bijak jika kita selalu mengukur nilai kerja keras dari raihan materi atau kekayaan semata. Tidak adil jika kita memandang mereka yang berhasil mengumpulkan lebih banyak uang sebagai orang yang lebih mulia kerja kerasnya. Sementara mereka yang mendapat lebih sedikit uang—meski telah gigih bekerja keras—kita anggap remeh tanpa penghargaan apapun.

 

Pasti ada balasan terbaik bagi orang-orang yang tetap gigih bekerja keras meski imbal materi yang diterimanya belum sesuai ekspektasi matematisnya. Tentunya, selama kerja keras itu bertujuan positif, ditempuh dengan cara-cara yang baik, dan dilakukan dengan sepenuh keikhlasan.


Semesta menjadi saksi bagi manusia-manusia yang tetap ikhlas bekerja keras. Dan biarkan Tuhan Yang Maha Pemurah yang memberi ganjaran terbaik bagi mereka.[]



-backdate-

November 15, 2024Benny Prastawa

Saturday, October 5, 2024

Bisnis Humanis di Bengkel Mobil


Ada sebuah bengkel mobil, sebut saja bengkel Mas Takur. Bengkel ini masih baru, tapi sudah ramai pelanggannya.Mas Takur selaku pemilik bengkel masih muda. Ia bekerja bersama 4 karyawannya.

Meski memiliki karyawan, Mas Takur selalu terlihat di bengkel. Ia bukan tipe bos yang “cuma nyuruh”. Sebisa mungkin, Mas Takur selalu membantu mengerjakan order pelanggannya.

Sekali waktu, anak Pak Takur datang ke bengkel. Usianya sekitar 4 tahun. Pak Takur tidak menyuruh anaknya pergi. Ia malah membiarkan anaknya membantu karyawannya mencuci mobil pelanggan. Namanya juga anak-anak. Daripada bermain seenaknya, lebih baik “bermain” sambil melatih mental bekerja—mungkin begitu pikir Mas Takur.

Bengkel Mas Takur enggan menggetok harga. Ia selalu transparan jika ditanya soal harga. Pelanggan bisa mengkontak Mas Takur untuk mendiskusikan perkiraan ongkosnya sebelum datang ke bengkelnya. Jika pelanggan membutuhkan servis lain, Mas Takur tidak ragu merekomendasikan bengkel lain yang lebih ahli.

Tidak heran jika bengkel Mas Takur cepat ramai. Pelayanan dan perhatiannya pada kepuasan pelanggan selalu diutamakan. Mas Takur juga sportif. Jika bengkelnya tidak mampu menangani, ia berani merekomendasikan bengkel lain. Mas Takur seperti tidak takut kehilangan pelanggan. Ia hanya fokus membantu dan mempermudah urusan pelanggannya.

Dalam dunia bisnis yang kompetitif, “monopoli” adalah target penting. Ketika suatu bisnis bisa mendominasi pasar dan aliran modal, mereka bisa terus memperbanyak profit. Sayangnya, mindset mengejar profit dan hasrat memonopoli seringkali tidak diimbangi dengan perbaikan pelayanan.

Banyak pebisnis yang pandai menekan harga, tapi tidak tahu cara melayani pelanggan. Banyak pula pebisnis yang cerdas membuat produk, tapi rajin menggetok harga.

Dunia bisnis memang penuh spekulasi dan fluktuasi. Hari ini, orderan bisa ramai. Di hari lain, orderan bisa sepi. Segala barang/jasa yang dapat mempermudah urusan konsumen dan membantu mengatasi kesulitannya akan selalu dicari. Kualitas layanan demi kepuasan pelanggan—seperti yang ditunjukkan Mas Takur—adalah Kartu As yang bisa menjaga kelangsungan bisnis.

Selain itu, bengkel Mas Takur juga mengajarkan pentingnya menjadi boss tanpa mental “bossy”. Pemilik bisnis yang tidak malu bekerja bersama karyawannya, tentu lebih disenangi daripada pemilik bisnis yang kerjanya menyuruh-nyuruh.

Bukan berarti semua pemilik bisnis harus ikut bekerja di lapangan. Poin pentingnya adalah perhatian dan penghargaan pemilik bisnis pada karyawan. Dua hal tersebut bisa berdampak positif bagi produktivitas kerja karyawan.

Dunia bisnis memang penuh spekulasi dan fluktuasi. Meski begitu, bisnis yang humanis, yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dan karyawan, lebih berpeluang untuk bertahan dan berkembang.

Bisnis yang humanis tidak berhulu dari hasrat kapitalis. Ia berangkat dari keyakinan bahwa profit selalu bisa diraih dengan jalan memanusiakan manusia—alih-alih mengeksploitasinya. Masyarakat kita membutuhkan lebih banyak bisnis yang humanis agar perekonomian terhindar dari krisis. Dari bengkel Mas Takur, saya mulai memahami pelajaran penting ini.[]


-backdate-

October 05, 2024Benny Prastawa

Saturday, September 7, 2024

Nilai Guna Status Whastapp

Sejujurnya, sampai hari ini, saya masih bertanya-tanya, apa manfaat “Status” di Whatsapp Messenger (WA)? Foto atau video apapun yang diunggah di Status WA, semua akan hilang setelah 24 jam. Tak peduli konten itu berupa foto bersama presiden, momen penting pernikahan, atau video keren ke luar negeri, semuanya akan lenyap setelah 24 jam.

Dengan kecepatan publikasi sesingkat itu, apa nilai guna signifikan dari sebuah Status WA?

Dulu, saat saya masih aktif memakai media sosial (seperti Facebook), pembaruan status bisa terdokumentasi dalam rentang waktu tak terbatas. Selama akun tidak terhapus, semua konten yang kita unggah akan tetap eksis di sana. Sistemnya mirip dengan Blogger. Bedanya, Blogger lebih fokus pada konten tekstual yang lebih informatif/naratif dan tidak berfokus pada pengembangan jejaring sosial/pertemanan.

Di Facebook atau blog, sistem pengarsipan konten memungkinkan kita melacak konteks kejadian atau momen apapun yang melatarbelakangi pembuatan konten. Dengan sistem seperti itu, kita bisa melihat “Status” sebagai ruang arsip yang dapat menjadi sarana pembelajaran dan kontemplasi ketika kita membukanya di masa depan.

Bagaimana dengan Status WA yang hilang setelah 24 jam? Apakah fitur ini dibuat sekedar untuk memamerkan momen penggunanya? Apakah fitur ini ditujukan untuk membuka topik percakapan dengan pengguna lainnya? Ataukah fitur ini berperan penting untuk menunjukkan eksistensi kita di dunia?

Entah—semuanya boleh jadi benar. Bagi saya pribadi, karena saya tidak melihat nilai guna signifikannya, saya jarang sekali membuat status. Kalaupun saya membuat status, target status saya selalu jelas dan tersegmentasi. Misalnya, saya membuat status WA untuk mengabarkan aktivitas saya bersama anak dan istri pada orangtua di rumah.

Dengan pendekatan tersegmentasi semacam ini, saya tidak pernah berlaku ‘brutal’ dengan mengunggah banyak status sekaligus. Selain tidak efektif, saya pribadi melihat hal itu sebagai pemborosan ruang publikasi. Kecuali, jika kalian adalah seorang influencer atau public figure, yang segala aktivitas dan unggahannya selalu disorot setiap menit.

Tentu saja tulisan ini hanya sekedar nguda rasa, dan tidak bermaksud ngrasani mereka yang sering memposting status banyak-banyak. Status WA adalah hak asasi setiap penggunanya. Selama konten yang dijadikan status tidak bertentangan dengan kebijakan Whatsapp, tidak ada aturan legal yang berhak melarangnya.

Meski begitu, bagaimanapun juga Status WA adalah ruang publik yang tidak bebas dari ranah etik. Mempertimbangkan dengan bijak setiap unggahan, sangat penting dilakukan agar tidak menjadi polemik. Status WA yang dibuat dengan sadar dan bertanggung jawab tentu lebih aman dan terbendung dari kritik. Semua itu adalah bentuk tanggung jawab kita dalam menciptakan ekosistem media sosial yang lebih baik dan lebih mendidik.[]

-backdate-

September 07, 2024Benny Prastawa

Saturday, August 3, 2024

Hidup Berbahagia sekaligus Menderita?

Banyak yang bilang, tujuan hidup manusia adalah bahagia. Mulai dari buku-buku motivasi sampai seminar MLM, hampir semuanya mengatakan hal yang sama. Rumus generalnya: kecil dimanja, remaja dipuja, dewasa kaya-raya, tua bahagia, mati masuk surga.

Mau diiyakan, tapi kok, utopis sekali. Mau dibantah, tapi kok, tidak salah. Faktanya, manusia memang selalu ingin bahagia.

Jika melihat gerak peradaban manusia, semua kecanggihan teknologi, infrastruktur, dan properti yang dibangun diarahkan untuk tujuan kebahagiaan. Moyang kita di zaman batu, susah payah membuat api untuk mempercepat proses memasak. Dengan api, moyang kita bisa terhindari dari kelaparan dan kedinginan. Kebahagiaan kita saat itu sebatas bertahan hidup dan mengenyangkan perut.

Kecenderungan manusia tidak berubah di era modern. Bedanya, kita tidak “menyembah” api seperti moyang kita dulu. Hari ini, kita bisa mengelus-elus layar, lalu menunggu kurir mengantarkan kudapan. Semakin bervariasi (dan mewah) menunya, semakin bahagialah kita.

Manusia tetaplah spesies cerdas yang terobsesi mengejar kebahagiaan. Bahkan meski kebahagiaan itu terasa semakin sulit dipenuhi. Manusia akan terus mencari cara demi mendapatkannya. Teknologi dan infrastruktur yang terus berkembang mempermudah manusia merealisasikan keinginannya.

Masalahnya, nilai kebahagiaan setiap manusia tidak sama. Kebanyakan manusia modern akan bahagia jika punya banyak uang. Tapi faktanya, tidak sedikit manusia yang menderita setelah menghabiskan banyak uang. Kebanyakan manusia modern akan bahagia jika punya rumah bagus. Tapi faktanya, tidak sedikit manusia yang tersiksa ketika melihat rumah tetangganya lebih bagus.

Jika begitu polanya, kapan manusia modern bisa bahagia?

Tanpa disadari, kita justru lebih sering menderita karena mengejar kebahagiaan itu. Kita sering memaksakan diri bekerja sedemikian keras, demi meraih uang yang lebih banyak. Dengan uang itu, kita berpikir bisa menjadi lebih bahagia. Sayangnya, karena kita terlalu memaksa badan, kita pun jatuh sakit. Uang hasil bekerja malah tidak jadi dinikmati karena harus dipakai membayar dokter dan membeli obat.

Kita menabung sedemikian rajin, demi membeli mobil baru. Semua pengeluaran sekunder dan tersier kita coret dari skala prioritas. Selama berbulan-bulan, tabungan kita menggunung. Mobil baru akhirnya terbeli. Sayangnya, meski sudah punya mobil baru, kita masih belum bahagia—karena tetangga sebelah juga membeli mobil baru yang lebih mewah dan elegan.

Menabung dan menunda kesenangan konsumtif itu “menderita”. Bekerja keras juga “menderita”. Meski tujuannya meraih kebahagiaan, kita tidak bisa menggaransi semua “penderitaan” itu akan terbayar lunas. Kita tidak bisa memastikan kebahagiaan itu terwujud, meski kita sudah mati-matian mengejarnya.

Tanpa sadar, manusia modern terperangkap oleh ilusi kebahagiaan yang diciptakannya sendiri. Ibarat pesepeda mengejar segepok uang yang digantung di depan sepedanya sendiri. Secepat apapun ia mengayuh, uang yang ada di depannya tidak akan bisa diraih. Pesepeda itu baru bisa mengambil uang jika ia sudah “sadar”, lalu turun dari sepedanya.

Artinya, kita akan lebih mudah mencapai kebahagiaan jika kita meletakkan “garis finish-nya” di dalam diri kita—bukan di luar. Jika kita menggantungkan kebahagiaan pada uang, jabatan, properti, dan objek-objek lain yang bersifat eksternal, bukankah kita akan lebih sulit berbahagia? Pikiran kita akan terus terjebak dan mengejar  objek-objek artifisial itu sebagai prasyarat kebahagiaan. Seakan-akan, tanpa semua itu, kita merasa tidak berhak berbahagia.

Bukan berarti uang, jabatan, dan properti itu tidak penting. Kita tidak bisa naif, jika uang bisa mendatangkan kebahagiaan secara instan. Namun, jika kita menganggap uang sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan dan mengabaikan hal-hal lain yang sudah dimiliki, kita justru akan semakin tertekan. Karena percaya uang adalah sumber kebahagiaan, kita sibuk mengejarnya sampai mengabaikan kesehatan, mengabaikan keluarga, bahkan sampai mengabaikan ibadah.

Sah-sah saja menjadikan bahagia sebagai tujuan hidup. Tapi jangan sampai obsesi meraih kebahagiaan itu justru membuat hidup kita (atau bahkan orang lain) menderita.

Dalam hidup ini, kita harus selalu melatih keterampilan bersyukur. Dengan bersyukur, kita menjaga kesadaran bahwa kita sudah memiliki dan meraih sesuatu. Sekecil apapun itu, kita pantas bersyukur dan merayakannya. Kita bahkan bisa bersyukur untuk hembus napas yang mengalir gratis yang menjaga kita tidak mati. Sementara kita tahu, di luar sana, ada banyak orang yang membayar jutaan hanya demi bisa bernapas.

Jika kita lupa untuk bersyukur, kita tidak akan puas dengan apapun yang dimiliki. Kita selalu menderita karena merasa kurang. Kita akan menderita karena terus membanding-bandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Inilah faktor terbesar yang membuat kita tidak lekas berbahagia.

Kebahagiaan juga tidak lepas dari keterampilan memaknai hidup. Ketika kita terampil memaknai hidup, kita dapat membuat ruang kebahagiaan di dalam diri tanpa bergantung pada orang, benda, atau hal-hal artifisial dari luar. Dengan begitu, kita bisa menjadi manusia yang merdeka dari “perbudakan materialisme” yang kita ciptakan sendiri.

Dan kesadaran bersyukur adalah resep paling mujarab untuk hidup yang lebih berbahagia.[]


-backdate-

August 03, 2024Benny Prastawa