Tahun baru, resolusi baru. Umumnya, di sela-sela perayaan
tahun baru, sebagian orang akan membuat resolusi atau serangkaian rencana
tahunan dan target-target yang harus dicapai di tahun itu. Tentu saja, mereka
yang sibuk memikirkan resolusi adalah kelompok orang yang “sadar diri”—bahwa
esensi tahun baru bukan sedangkal gegap gempita kembang api yang penuh
hura-hura, melainkan perenungan panjang tentang rencana hidup di masa depan.
Ironisnya, saya malah tidak pernah membuat resolusi-resolusi
tahun baru semacam itu. Boleh jadi karena saya tidak termasuk kelompok orang
yang “sadar diri” tadi. Bagi saya, sekedar membuat rencana, resolusi, apapun
itu namanya, tidak harus menunggu tahun baru tiba. Saya lebih suka membuat
rencana dan pengharapan pada saat yang bersamaan. Boleh dibilang, setiap hari
saya membuat rencana, tidak harus menunggu tahun baru dengan rincian resolusi
yang muluk-muluk.
Kenapa?
Karena dalam pandangan saya, ketika kita membuat rencana dan
target, kita pasti akan selalu dihadapkan pada pengharapan kuat agar rencana
dan target itu tercapai. Misalnya kita membuat resolusi “tahun ini saya harus
nambah berat badan 10 kilo”. Pada saat yang sama, kita pasti menumbuhkan
pengharapan agar rencana kita bisa terwujud. Hal ini normal dan wajar.
Masalahnya adalah ketika kita sampai di penghujung tahun dan mendapati ternyata
berat kita cuma naik 5 kilo. Sejumput kekecewaan bisa kita rasakan karena
resolusi yang sudah kita proklamasikan sejak awal tahun tidak terwujud.
Atau resolusi lain misalnya “tahun ini saya harus lulus
kuliah dan dapat pekerjaan”. Pada saat yang sama, kita pasti akan berharap agar
resolusi itu terwujud. Tapi bagaimana jika ternyata pada akhir tahun kita masih
harus bersabar menjalani fase nganggur setelah lulus kuliah? Bisakah kita
berlapang diri untuk tidak kecewa ketika resolusi awal tahun kita tidak
tercapai?
Karena itu, saya tidak pernah muluk-muluk membuat resolusi
di tahun baru. Tahun baru ya biar saja tahun baru. Rencana, target, resolusi,
apapun itu namanya, silahkan dibuat dengan syarat kita punya kendali penuh
terhadap setiap pengharapan yang muncul. Hal ini penting agar kita tidak
terbiasa menanggung kecewa di akhir tahun karena resolusi-resolusi kita terlalu
ndakik-ndakik—yang ujung-ujungnya
malah tidak tercapai.
Soal rencana dan target, saya jadi ingat ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan”.
Entah siapa yang pertama kali mengatakannya, yang jelas, meski terdengar puitis
dan padat isinya, ungkapan tersebut berpotensi menyesatkan. Ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan”
seakan-akan melimpahkan tanggung jawab moral kepada Tuhan atas setiap nasib
yang kita terima. Jika kita sudah membuat rencana, dan rencana itu berjalan
baik, maka syukurlah—tidak ada yang perlu dipersalahkan. Tapi jika kita sudah
membuat rencana, tapi ternyata rencana itu tidak berjalan sebagaimana mestinya,
kita pun mencak-mencak dan melimpahkan kekecewaan pada Tuhan. Lha wong kita yang membuat rencana, kita
yang menjalani hidup, masak setiap kesialan dan kegagalan yang kita terima
menjadi tanggung jawab Tuhan semua? Apa tidak kurang ajar sekali ini namanya?
Tidak heran jika ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan” biasanya malah keluar dari
mulut ketus orang-orang yang gagal dalam hidupnya. Tidak sepenuhnya salah sih,
hanya perkenaannya kurang tepat. Seharusnya redaksi kata pada ungkapan itu
dilengkapi, “manusia berencana dan
berikhtiar, apapun hasilnya biarlah Tuhan yang memastikan.” Yang dimaksud
“memastikan” di sini adalah memastikan takdir terbaik apa yang pantas diterima orang-orang
yang telah sabar berikhtiar. Tambahan kata-kata dalam ungkapan ini perlu dilakukan,
setidaknya untuk menghindari dua hal.
Pertama, agar orang-orang tidak kebablasan dalam melimpahkan
tanggung jawab kesalahan pada Tuhan setiap kali menemui kegagalan dan nasib
buruk. Kedua, agar orang-orang tidak cuma berencana dan ongkang-ongkang kaki
tanpa ada ikhtiar dna kerja keras untuk mewujudkan rencana yang telah dibuat.
Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali jika dalam diri orang
itu ada niat dan kerja keras untuk berubah?
Jika kita sudah tahu hukumnya sesederhana itu, tidak ada
alasan bagi kita untuk menyalah-nyalahkan Tuhan atas nasib buruk yang kita
terima. Kita tidak berhak memaksa (atau bahkan memalak) Tuhan agar menuruti dan
melancarkan semua rencana kita. Ada batas-batas tertentu yang terkadang membuat
kita harus legawa menerima nasib buruk atau menghadapi kegagalan dalam rencana
kita karena hanya Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita.
Seperti cerita seorang petani yang kehilangan kuda
kesayangannya. Si petani bersedih karena merasa mendapat nasib buruk. Tak lama
berselang, kuda kesayangannya pulang sambil membawa kuda lain yang tidak kalah
bagusnya. Si petani bergembira karena merasa mendapat nasib baik. Lalu anak si
petani bermain-main dengan kuda yang baru tadi. Karena tidak hati-hati, si anak
terjatuh dari kuda dan kakinya patah. Si petani kembali meratap karena
kemalangan yang menimpa anaknya. Beberapa waktu kemudian datanglah sekelompok penggawa
kerajaan yang mencari lelaki muda untuk dilatih beperang. Anak si petani tidak
diajak karena kakinya cacat. Si petani pun bersyukur karenanya.
Tidak semua nasib buruk yang menimpa kita, benar-benar
berarti buruk bagi kita. Ada sekelumit dimensi illahi yang kita tidak akan
pernah bisa mengintipnya. Tentang nasib, ada lebih banyak rencana Tuhan yang
tidak bisa kita tebak. Karena jatah manusia memang sekedar berikhtiar maksimal,
berdoa, dan memasrahkan segala hasil akhir pada Tuhan. Jika Tuhan selalu
mengiyakan semua doa pada saat yang bersamaan, maka yang terjadi kemudian
adalah kekacauan.
Seperti dalam film jadul Jim Carrey berjudul “Bruce Almighty”. Alkisah, di film itu, seorang
pemuda bernama Bruce (Jim Carrey) ditakdirkan mendapat “nasib khusus” untuk menjalankan
peran “tuhan” selama beberapa hari. Sebagai “tuhan”, Bruce berhak memiliki
fasilitas-fasilitas ketuhanan dengan segala sifat ke-maha-annya, termasuk
kekuatan untuk mendengar doa-doa dari hati manusia.
Ternyata, doa-doa yang disampaikan umat manusia sangat
banyak. Saking banyaknya, Bruce sampai tidak bisa tidur karena kewalahan
menjawab semua doa. Demi mempersingkat waktu, Bruce mengiyakan dan mengabulkan semua
doa yang didengarnya. Untuk sesaat, sepertinya tidak ada masalah. Orang-orang telah
mendapatkan “YA” untuk setiap doa yang dipanjatkan.
Tapi, keesokan harinya, kekacauan massal segera terjadi di
dunia manusia. Bank-bank mendadak bangkrut karena semua pengajuan kredit nasabah
dikabulkan. Orang-orang yang berjudi mendadak kaya setelah memenangi semua
taruhannya. Kantor-kantor perusahaan juga menjadi ramai karena semua pegawai
mendapat kenaikan gaji. Bruce menjadi stres dan merasa bertanggung jawab atas
kekacauan yang terjadi di dunia manusia akibat kecerobohannya mengabulkan semua
doa. Di akhir cerita, Bruce meminta “tuhan” agar kekuatan ketuhanan yang ada
padanya dicabut dan kehidupan manusia kembali normal.
Meski film Jim Carrey tersebut sangat nyeleneh sekaligus sensitif (mengangkat topik yang
nyerempet-nyerempet konsep tuhan), harus diakui bahwa apa yang disampaikan si
pembuat film memiliki pesan moral yang positif. Kita harus menyadari bahwa
hidup ini sepeti roda yang berputar. Nasib baik dan nasib buruk akan
dipergilirkan dalam setiap segmen kehidupan kita. Selain itu, tidak semua doa
dan pengharapan kita dapat langsung terwujud dan mendapat jawaban “YA” dari
Tuhan. Tuhan selalu memiliki pertimbangan dan keputusan tersendiri untuk setiap
nasib hamba-hamba-Nya. Pada dimensi ini, sungguh hanya Tuhan yang paling memahami
apa yang paling baik bagi manusia. Sedangkan jatah kita cukuplah dengan tunduk
patuh dalam tetes kesabaran ikhtiar dan kekhidmatan doa dengan pengharapan
semoga Tuhan berkenan memberikan nasib terbaik sebagai imbalannya.
Jadi, apa resolusi saya untuk tahun baru ini? Jawabannya
tidak ada. Ya, tidak ada. Saya tidak mau muluk-muluk beresolusi tanpa aksi.
Saya juga tidak mau ndakik-ndakik
memanjatkan target dan pengharapan tahunan yang menggunung dan melangit. Kalau ada
Undang-Undang yang mewajibkan setiap warga negara memiliki resolusi tahun baru,
resolusi saya cukup satu saja: mengganti kalender di dinding rumah. Sudah.[]
#backDate