Makanan yang paling enak adalah makanan yang kita makan ketika kita betul-betul merasa lapar. Terlepas dari menu makanan dan selera lidah kita masing-masing, semua pasti setuju jika makan ketika perut kelaparan akan terasa jauh lebih enak dibanding dengan makan ketika perut sebenarnya tidak terlalu lapar. Begitu pula dalam konteks minuman yang paling enak.
Sebagai contoh, bagi kebanyakan orang, pizza atau roti brownis memang enak. Tapi, bayangkan, bagaimana jika kalian makan pizza atau roti brownis setelah kekenyangan tiga porsi nasi pecel dan bakso beranak ukuran jumbo? Apakah kadar "enak" makanan pizza dan roti brownis tadi masih tetap sama?
Disadari atau tidak, ibadah puasa
melatih kita untuk menata ulang pemahaman tentang esensi “makanan enak”, keinginan lidah, dan kebutuhan perut. Selama ini, kita
berpikir bahwa makan itu urusan perut. Jika perut sedang lapar, kita tergerak
mencari sesuatu untuk dimakan agar kenyang—normalnya begitu. Jadi, pada
dasarnya, kebutuhan perut hanya satu: kenyang.
Tapi, kita sering lupa, bahwa sebelum
mencapai perut, ada sekerat daging di rongga mulut yang kebutuhannya tidak hanya
sekedar "kenyang"—tapi juga apa yang disebut dengan "enak", "lezat", "gurih",
"manis", "delicious",
dan sejenisnya. Dorongan keinginan lidah inilah yang sering membuat kita
bingung memilih menu. Jika kita fokus pada kebutuhan perut (kenyang), kita
tidak akan bermasalah harus makan di warung makan manapun. Karena yang terpenting,
perut bisa kenyang.
Sementara jika kita fokus pada
keinginan lidah, ada lebih banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Menunya
apa, harganya berapa, rasanya bagaimana, dan seterusnya. Tapi jika kita fokus
pada keduanya (keinginan lidah dan kebutuhan perut), yang terjadi kemudian adalah
membengkaknya pengeluaran kita dalam tempo sekali makan.
Apa hubungannya dengan puasa?
Saat berpuasa, normalnya kita akan
merasa lapar. Rasa lapar—sejatinya—adalah
dorongan kebutuhan perut (bukan lidah). Perut kita sebenarnya tidak akan
protes jika nanti hanya disantuni dengan nasi pecel atau dua tiga kerat
gorengan di angkringan. Tapi, yang sering terjadi, begitu bedug Maghrib tiba,
kita mendadak alpa pada kebutuhan perut, lalu mencampuradukkannya dengan keinginan
lidah. Keinginan lidah inilah yang akhirnya mendorong kita untuk berbuka dengan
segala hidangan yang enak, lezat, gurih, manis, dan segala cita rasa lain yang dinginkan
lidah.
Secara ekonomis, perut kita tidak
selalu meminta kita untuk membayar banyak, karena yang terpenting adalah
kenyang. Tapi, karena kita punya lidah yang permintaannya macam-macam, kita
tergoda untuk memenuhi semua keinginannya dengan makanan yang enak, lezat,
gurih, manis, mewah, asem, pedas, dan sejenisnya. Anggaran belanja pun
membengkak dan tanpa sadar kita menjadi lebih boros karenanya. Dengan kata
lain, dorongan keinginan lidah inilah yang acapkali mengurasi isi dompet
kita—bukan dorongan kebutuhan perut. Perut kita hanya minta dibikin kenyang
agar tidak merasa lapar. Cukup. Sesederhana itu.
***
Membahas urusan ini mengingatkan saya
semasa masih bocah dulu, ketika berbuka puasa di rumah Guru ngaji saya
(selanjutnya disebut Guru saja). Jadi ceritanya, saat itu, di surau tempat saya
biasa mengaji, ada kegiatan buka bersama. Meski saya biasa mengaji di sana,
saya tidak rutin mengikuti acara buka bersama karena lokasi surau yang cukup
jauh dari rumah saya. Saya biasa buka bersama sendiri bersama keluaga di rumah.
Tapi suatu hari, karena penasaran, saya iseng saja ikut buka bersama di surau.
Dari rumah, saya sendirian mengikuti
acara itu. Bocah-bocah lain di sekitar komplek rumah tidak ada yang ikut.
Mungkin karena lokasi surau yang cukup jauh di perbatasan kampung dan jalanan
yang gelap pada malam hari (saat itu, belum semua sudut kampung teraliri
listrik).
Awalnya, saya ingin pulang setelah
sholat Maghrib berjamaah. Tapi saat akan pulang, listrik di kampung saya malah padam.
Bocah-bocah lain yang ikut buka bersama sudah menghambur pulang ke rumah
masing-masing. Guru—yang tahu rumah saya cukup jauh—menawari saya berbuka di
rumah beliau. Berhubung saat itu tidak ada bocah lain, saya pun menyanggupi
ajakan Guru.
Rumah Guru tidak jauh dari
surau—sekitar lima menit berjalan kaki. Bangunan rumah Guru tergolong sederhana
dengan dinding anyaman bambu. Pada masa itu, rumah beranyam bambu banyak
dijumpai di kampung saya. Jadi, saya pun sudah terbiasa dengan model bangunan
semacam itu.
Setelah dipersilahkan masuk, Guru
menyuguhkan segelas teh hangat pada saya. Temaram lampu teplok (sejenis lampu dinding tradisional berbahan bakar minyak
tanah) menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Sejurus kemudian, Guru
datang membawa hidangan-hidangan berbuka dan menaruhnya di meja.
Berhubung saya lapar, saya langsung
melahap hidangan yang ada. Sampai saya menyadari, sayur yang Guru hidangkan tidak
memakai penyedap. Hambar. Mungkin hanya ditambahkan sedikit garam. Sebelumnya,
saya memang tidak pernah melahap sayur hambar tanpa rasa.
Di rumah, saya terbiasa makan dengan tambahan penyedap atau yang manis-manis. Ibu saya paham, jika saya—yang susah makan—hanya dapat menikmati jenis makanan semacam itu. Akan tetapi, demi menghormati Guru, saya tetap melanjutkan makan meski kurang nyaman dengan menu yang dihidangkan. (Kelak, saya baru tahu jika ada jenis orang tertentu yang memiliki pantangan memakan menu tertentu karena alasan kesehatan—misalnya makanan yang mengandung penyedap, gula, atau bahan-bahan yang memicu alergi).
Di rumah, saya terbiasa makan dengan tambahan penyedap atau yang manis-manis. Ibu saya paham, jika saya—yang susah makan—hanya dapat menikmati jenis makanan semacam itu. Akan tetapi, demi menghormati Guru, saya tetap melanjutkan makan meski kurang nyaman dengan menu yang dihidangkan. (Kelak, saya baru tahu jika ada jenis orang tertentu yang memiliki pantangan memakan menu tertentu karena alasan kesehatan—misalnya makanan yang mengandung penyedap, gula, atau bahan-bahan yang memicu alergi).
Tentu saja saya tidak bermaksud
merendahkan Guru dengan mengolok-olok hidangan tadi. Saya hanya mengungkapkan keadaan
saya dengan segala “kebocahan” lidah saya saat itu. Alih-alih sejak momen buka
puasa di rumah Guru, pandangan saya tentang makanan berubah total.
Saya menjadi sadar, jika ada orang
lain yang menu makanannya "tidak enak" (saya beri tanda kutip karena
maksud saya bukan untuk mengejek atau merendahkan menu makanan Guru dalam
konteks catatan ini). Ada segelintir orang (bahkan banyak orang) yang karena
alasan kesehatan atau karena masalah keuangan terpaksa menyantap menu makanan
yang "tidak enak"—bahkan tidak bisa makan sama sekali.
Banyak pelajaran yang saya petik dari
momen buka puasa di rumah Guru. Segala yang saya saksikan di sana, lebih dari
sekadar hidangan berbuka semata, melainkan nilai-nilai kesederhanaannya, rasa tawadhu’ dan keikhlasan penerimaan
seorang hamba atas segala rizki yang telah Tuhan berikan. Semua itu menyadarkan
diri untuk tidak mencela hidangan apapun
yang sudah tersaji di meja—tentu saja selama hidangan itu halal dan thayyib. Karena di luar sana, di
sudut-sudut terpencil bumi ini, ada Saudara-Saudara kita yang tengah dihimpit
keterbatasan, yang bahkan untuk makan sehari-hari pun belum tentu ada.
Itulah salah satu semangat egalitarianisme ibadah puasa
yang semestinya bisa mengetuk empati kita, yakni untuk sama-sama merasakan
keterbatasan orang lain. Karena mengusung semangat egalitarianisme, momen buka
puasa mestinya kita lakukan dengan sewajarnya, sekadarnya, dan seadanya. Momen
buka puasa juga mestinya kita lakukan dengan penuh perenungan diri dan rasa
syukur atas rezeki yang Tuhan beri. Bukan malah sibuk berbuka-pora, dengan meluapkan
segala keinginan lidah, selezat-lezatnya dan kemauan perut, sekenyang-kenyangnya.
Ironis.[]