Thursday, December 20, 2018
Friday, December 7, 2018
Danien Kalandra Birth Day
Tuesday, November 20, 2018
Malu Dibilang Anak Mama
Aduh, apalah itu istilah “anak mama”. Anak muda memang selalu pintar membuat istilah. Ada teman kalian yang orangtuanya overprotektif, kalian lantas mengoloknya dengan panggilan “anak mama”. Ada teman kalian yang segalam macam urusan sering dicampuri orangtuanya, lalu kalian mengejeknya “anak mama”. Pun ketika teman kalian “terlalu rajin” membantu orangtuanya, (kenapa pula) kalian masih berseloroh bilang (dasar) “anak mama”?
* * *
Istilah “anak mama” biasanya muncul saat kalian remaja (sekitar SMP-SMA). Pada fase ini, kalian sudah tidak bisa disebut anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Karena posisi kalian yang serba “nanggung” ini, ada perbedaan perlakuan orangtua yang bisa kalian terima. Ada orangtua yang memperlakukan anaknya seperti ketika ia masih kanak-kanak, ada pula orangtua yang sudah memberikan kepercayaan dan membiarkan anaknya berkembang seiring usianya.
Di satu sisi, remaja pada umumnya menginginkan kebebasan untuk bersikap. Remaja tidak ingin terlalu dikekang dan diatur-atur lagi layaknya anak SD. Jika remaja terlalu dikekang dan diatur-atur, ada kalanya ia akan bersikap emosional dan meledak-ledak. Hal ini adalah manifestasi dari “jiwa pemberontak” yang ada dalam diri remaja yang pasti dialami semua orang.
“Jiwa pemberontak” dapat berkembang menjadi energi kemandirian. Dengan cara ini, seorang remaja akan terdorong untuk berani mengambil inisiatif tindakan dan berusaha menyelesaikan segala persoalannya sendiri—tidak lagi gampang mengadu atau bergantung pada orangtua. Jika diarahkan dengan benar, “jiwa pemberontak” dalam diri remaja dapat mempercepat proses pendewasaan dan menjauhkannya dari sifat penakut, minder, atau cengeng.
Akan tetapi, jika “jiwa pemberontak” dalam diri remaja tidak tertangani dengan baik, maka ia cenderung akan mengekspresikannya dalam tindakan negatif seperti memalak teman, membolos, merokok, memakai narkoba, berpenampilan “bengal” (bertindik, tatto, rambut dikerok, dll), sampai melakukan tindak kriminalitas. Hal ini bisa terjadi jika seorang remaja tidak mendapatkan perhatian, peneladanan, dan pengarahan dari orang yang lebih dewasa di sekitarnya—tidak selalu orangtuanya—bisa juga dari lingkungan masyarakat tempat tinggalnya.
Karenanya, tidak sedikit orangtua sangat cemas saat anak-anaknya menginjak usia remaja. Sebagian di antara mereka berusaha memberikan kepercayaan pada si anak agar mau belajar dan berani mengambil sikap atas segala persoalan yang dihadapinya secara positif. Tapi tidak sedikit pula orangtua yang tetap melakukan proteksi (perlindungan) dan pengawasan yang mungkin—bagi si anak—dirasa terlalu berlebihan. Istilah “anak mama” pun muncul sebagai bentuk olok-olok bagi remaja yang orangtuanya terlalu ikut campur dalam setiap urusannya.
Sampai batas-batas tertentu, wajar saja remaja merasa malu jika orangtuanya terlalu ikut campur dalam urusannya. Remaja selalu ingin menghirup udara kebebasan yang mengizinkan mereka untuk belajar menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tapi di sisi lain, remaja juga harus ingat bahwa orangtua adalah sosok yang harus dihormati. Betapapun “rewelnya” orangtua, seorang anak harus pandai menata sikap dan tidak mengurangi rasa hormat pada orangtuanya.
Teruntuk kalian yang sering diolok “anak mama”, olok-olok “anak mama” memang mengesalkan. Tapi, jangan jadikan hal itu sebagai alasanmu untuk menolak membantu orangtua. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk enggan mengantarkan ibu ke pasar (misalnya). Jangan jadikan itu sebagai pembenaran atas setiap pembangkangan dan sikap bandel kalian selama ini.
Belajarlah untuk berlapang dada menerima sikap dan perilaku orangtua kalian. Pahami, kenapa orangtua kalian berperilaku seperti ini, seperti itu, atau melarang ini, melarang itu. Bagaimanapun juga, kalian bisa tumbuh dewasa berkat orangtua kalian. Kalian bisa makan, minum, sekolah, dan tidur nyenyak, semua itu juga berkat orangtua kalian. Karenanya, selama orangtua kalian hidup, ada tanggung jawab moral bagi anak untuk selalu menghormati orangtuanya.
Jangan biarkan istilah “anak mama” menghalangi niat kalian utnuk berbakti pada orangtua. Lagipula, istilah “anak mama” itu FAKTA—bukan olok-olok jahil. Logikanya, jika kalian bukan “anak mama”, lalu kalian ini anak apa??? Anak sapi?[]
Kekuatan Terbesar Manusia
Ada banyak pasien yang divonis hidupnya tidak akan lama lagi, tapi mereka tetap rajin berobat dan berbuat.
Ada banyak orang yang hidup dalam kungkung kefakiran, tapi mereka tetap menyeka peluh, bekerja dengan penuh kelapangan.
Ada banyak orang yang sakitnya berlarut-larut, tapi mereka tetap tabah, tekun pergi ke dokter.
Ada banyak orang yang fisiknya tidak sempurna, lumpuh, tapi sibuk membuat karya yang bermakna bagi sesama.
Ada pula orang-orang yang tidak pusing memikirkan surga dan neraka, tapi tetap rajin beribadah dan beramal salih, ikhlas, semata mengharap ridha dari Tuhannya.
Kenapa?
Karena itulah kekuatan sejati harapan manusia.
Harapan memberikan tenaga bagi siapapun untuk tetap hidup.
Harapan membangkitkan keyakinan dalam diri manusia, bahwa esok, kesempatan baik itu akan datang.
Harapan menjadi jembatan akan terkabulnya doa-doa yang telah berpilin ke langit yang membuat manusia tetap percaya bahwa kehidupannya berarti.
Jika seseorang sudah tidak bisa membangun harapan, maka kehidupannya akan hampa. Ia akan rentan mengalami depresi. Rapuh, merasa bersalah, menganggap dirinya tidak berguna. Lelah, menyesal, kenapa dirinya harus dilahirkan.
Teramat banyak kasus bunuh diri karena hilangnya harapan. Jika seseorang masih menyimpan barang sekeping harapan, maka ia tidak mungkin nekat mengakhiri hidupnya.
Harapan adalah kekuatan terbesar manusia.
Yang dengannya, kita tetap memiliki kekuatan menjalani kehidupan dan menatap masa depan.
Kekuatan yang terus menjaga kita agar tetap sadar, bahwa episode kehidupan ini terlalu berharga untuk disia-siakan tanpa makna dan karya.[]
Saturday, November 10, 2018
Game Legendaris Satu-Satunya (2)
Master League adalah salah satu pilihan kompetisi dalam game Winning Eleven. Dalam Master League, kita bisa membangun sendiri sebuah klub sepakbola dengan pemain-pemain yang kita kumpulkan dari seluruh dunia. Secara berkala, pemain-pemain kita akan berkembang dan mengalami peningkatan skill seiring dengan pertambahan usia atau seberapa sering kita memainkan mereka. Dalam Master League, kita juga bertanggung jawab untuk mengelola keuangan klub. Kita tidak boleh sembarangan membelanjakan uang klub untuk membeli banyak pemain top sekaligus karena bisa mengakibatkan klub bangkrut (GAME OVER).
Di sinilah letak candu dan klimaks keseruan bermain Master League. Setiap kali musim transfer tiba, kita akan sibuk mencari dan merekrut pemain-pemain baru yang memiliki potensi untuk berkembang. Jika uang klub kita melimpah, kita bisa langsung merekrut pemain-pemain ber-skill top. Tapi jika uang klub terbatas, kita harus membidik pemain berharga murah yang bisa dipoles menjadi pemain berkualitas.
Saya dan Budi telah menghabiskan ratusan jam bersama dan melewati belasan musim kompetisi untuk bermain Master League. Berbagai masalah konyol telah kami lalui seperti salah menyimpan data, kehilangan data karena mati listrik sampai saling ngambek karena gol bunuh diri. Bagi kami berdua, ada kesenangan tersendiri ketika kami bisa merekrut pemain idola kami ke dalam klub yang kami mainkan. Ada pula jenis kesenangan lain yang kami rasakan ketika berhasil mengembangkan skill pemain, dari pemain yang mulanya ber-skill payah menjadi pemain top dengan skill level dewa. Meski sering dicibir karena cuma bisa bermain Winning Eleven, saya dan Budi tetap konsisten meneruskan permainan Master League.
Sering berjalannya waktu, saya tidak lagi intens bermain PS2 dengan Budi. Setelah lulus dari SMP, saya dan Budi melanjutkan studi di sekolah yang berbeda. Kami hanya sesekali main bareng jika sedang senggang, walau tidak seintens ketika masih menjadi teman sekelas. Klub kami di Master League yang telah kami jalankan selama belasan musim pun terbengkalai. Jika kebetulan kami bermain bareng, saya dan Budi lebih senang bertanding daripada bekerjasama melanjutkan Master League. Meski begitu, bagi saya pribadi, kompetisi Master League dalam game Winning Eleven telah menjadi candu yang kesenangannya sulit dienyahkan.
Candu ini pun berlanjut bahkan sampai saya kuliah. Bermodal sebuah kartu memori, saya bertualang ke berbagai tempat rental PS2 di sekitar kampus sekedar untuk menuntaskan hasrat saya bermain Master League. Seperti yang saya jelaskan tadi, ada kesenangan tersendiri ketika saya mendapati pemain-pemain di klub saya berkembang menjadi pemain top. Saya juga dikejar rasa penasaran untuk terus berburu pemain-pemain berbakat saat musim transfer dibuka. Hanya saja, saya mulai bosan dan kewalahan jika harus pergi ke tempat rental setiap kali ingin bermain Winning Eleven. Belum lagi jika mengingat biaya sampingan yang harus saya bayar untuk setap jam bermain di tempat rental. Saya sempat berpikir utnuk membeli konsol PS2 sendiri, tapi saya terlalu malas untuk menabung demi benda semacam itu. Saya pun memutuskan untuk berhenti bermain Master League di tempat rental.
Sampai suatu kali, secara tidak sengaja, saya mendapati file game Pro Evolutin Soccer 6 (PES6) dari situs Indowebster. PES6 sendiri merupakan salah satu game sepakbola seperti halnya Winning Eleven yang sama-sama dibuat oleh KONAMI. Jika Winning Eleven didesain khusus untuk konsol Playstation, maka PES didesain untuk lebih multi platform. Ada PES versi PC, smartphone, dan versi Playstation. Begitu mendapati file PES6, saya pun langsung mendownload dan menginstallnya. Ukuran file yang tidak terlalu besar (tidak sampai 100MB), memudahkan proses instalasi di laptop saya yang spesifikasinya tidak terlalu mewah.
Voila! Tanpa perlu mahal-mahal membeli konsol Playstation 2, sebuah game sepakbola bisa saya nikmati di laptop. Yang paling menggembirakan, tampilan grafis dan gameplay PES6 sangat mirip dengan Winning Eleven favorit saya. Begitu pula dengan kompetisi Master League-nya. Tanpa butuh waktu lama, saya pun segera membeli sebuah stik USB dan mulai memainkan game PES6. Saya merasa sangat beruntung bisa melanjutkan candu saya—membuat klub virtual di kompetisi Master League.
Saya menyadari, ada banyak game lain yang lebih populer dan sering disebut berkelas dibandingkan sekedar game sepakbola, sebut saja Ragnarok, Point Blank, Grand Thief Auto (GTA), Tekken, DOTA, dan Need for Speed. Tetapi, bagi saya, Winning Eleven tetap menjadi game sepakbola paling legendaris yang pernah saya mainkan. Kesederhanaannyalah yang membuat saya begitu menggandrungi Winning Eleven. Meski terlalu jadul dan kalah kelas dibanding game sepakbola kekinian seperti PES2018 atau FIFA2018, saya tetap tidak akan berpaling dan tetap menjadikan Winning Eleven sebagai game sepakbola legendaris. Dan PES6 di laptop saya telah banyak membantu menghadirkan sensasi nostalgia dan gelontoran adrenalin mencetak gol sambil bersabar membangun klub di Master League—kesenangan yang sama seperti ketika bermain Winning Eleven semasa bocah.[]
Game Legendaris Satu-Satunya (1)
Awalnya, saya bukan seorang maniak game. Saya tidak pernah serius mengikuti tren perkembangan game. Saya juga tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun hanya untuk menuruti keinginan bermain game, entah untuk bermain game online, pergi ke rental, atau membeli sendiri konsol game digital seperti Nintendo, SEGA, atau Playstation. Boleh dibilang, saya hanya kebetulan "nyasar" dan berkenalan dengan dunia game.
Sepanjang TK sampai SD kelas 5 (sekitar tahun 1997-2003), saya lebih akrab dengan permainan-permainan konvensional seperti layang-layang, petak umpet, kejar-kejaran, tik tir (adu kelereng), atau sekedar sepakbola. Sebenarnya, pada tahun-tahun itu, sudah banyak beredar konsol permainan digital, seperti Ding Dong, Nintendo, dan SEGA. Tapi semua itu terlalu mahal untuk ukuran kampung saya yang terletak di pelosok kabupaten. Untuk bisa menikmati konsol game semacam itu, anak-anak di kampung saya harus bersepeda ke kota yang berjarak belasan kilometer dari kampung saya. Karena itu, tidak ada teman-teman sebaya di kampung saya yang pernah bermain ke tempat persewaan konsol game digital seperti itu. Kalaupun ada konsol game digital yang masuk ke kampung saya, paling banter hanya sejenis permainan gameboard (baca: gimbot)—yang lebih sering membuat pemainnya nyeri kepala karena level kesulitannya hanya berupa peningkatan kecepatan grafis hitam-putihnya.
Saat SD, saya terbilang anak rumahan yang lebih senang bermain di rumah daripada mblayang (bepergian) ke luar. Saya hanya akan keluar jika ada teman-teman sebaya yang mengajak bermain di lapangan RT, semisal untuk bermain sepakbola atau petak umpet. Jika sedang tidak ada teman, saya bermain perang-perangan dengan koleksi miniatur tokoh kartun. Saya memiliki cukup banyak koleksi miniatur seperti ini. Tapi, jangan kira miniatur saya seperti action figure impor seharga jutaan rupiah. Miniatur saya hanya mainan bocah berbahan dasar plastik daur ulang. Itu pun juga hadiah dari makanan ringan seharga seribuan! Sepanjang tahun 1999 sampai 2002-an, makanan ringan yang dijual di warung-warung memang sering menyertakan hadiah langsung di dalam kemasannya. Selain uang dan kelereng, hadiah yang paling diincar anak-anak seperti saya adalah miniatur tokoh superhero. Saking penasarannya, tidak sedikit anak-anak yang memborong berbungkus-bungkus makanan ringan hanya demi mendapatkan hadiah langsungnya (jika beruntung, sih).
Kembali ke soal konsol game digital. Perkenalan saya dengan konsol game digital baru dimulai saat kelas 5 SD. Saat itu, seorang teman saya (beda sekolah), mengajak saya dolan ke rumahnya. Di rumah teman saya inilah untuk pertama kalinya saya melihat Nintendo dan SEGA. Teman saya memang terbilang cukup makmur sehingga bisa memiliki dua konsol game sekaligus. Koleksi kaset permainannya pun bejibun menumpuk di rak. Saya hanya bisa geleng-geleng kagum melihatnya. Contra, Metal Slug, dan Super Shoot Soccer adalah beberapa judul game yang pernah saya mainkan bersama teman saya itu. Tapi, sebagai gamer pemula, saya benar-benar payah. Saya lebih sering menonton teman saya bermain daripada ikut bermain.
Selang beberapa waktu, konsol game Playstation 1 (PS1) mulai menjamur di kampung saya. Konsol game ini memang berbeda dengan Nintendo atau SEGA. Pilihan permainannya jauh lebih banyak dengan pergerakan grafis yang lebih halus. Banyak teman SD saya yang kecanduan dan mulai mencuri-curi waktu untuk pergi ke rental PS1—termasuk anak-anak di sekitar rumah saya. Seringkali, pada jam biasa anak-anak berkumpul bermain, ada saja satu dua anak yang “menghilang” karena dolan ke tempat rental PS1. Banyak cerita seru tentang game-game yang mereka mainkan di tempat rental. Mendengar semua itu, saya pun tertarik mencoba pergi ke tempat rental.
Dasar anak rumahan, saya perlu waktu lama untuk bisa mencuri-curi waktu pergi ke tempat rental. Etika di rumah mengajarkan saya untuk selalu izin ke mana pun saya akan pergi. Karenanya, saya perlu alasan yang jelas dan meyakinkan untuk bepergian agak jauh dari rumah. Dengan dalih pergi bersepeda, sambil mencuri-curi waktu, saya bersama beberapa teman berhasil mblayang ke tempat rental PS1 yang berada di kampung sebelah (di kampung saya belum ada rental PS1).
Setibanya di tempat rental, saya mulai menjajaki beberapa jenis game, mulai dari game sepakbola, pertarungan silat, sampai balap motor. Saya tidak terlalu menikmati permainan saya karena terganggu dengan keriuhan anak-anak lain yang menyemut di depan konsol gamenya masing-masing. Yang paling risih, ada pula segelintir anak yang bermain game (duel) sambil memasang uang taruhan. Edan. Setelah kunjungan pertama saya ke tempat rental, saya agak kapok dan hanya sesekali mengunjungi tempat itu lagi. Teman saya—yang tadi saya ceritakan memiliki Nintendo dan SEGA di rumahnya—juga pernah mengajak saya bertanding PS1. Dan saya, lagi-lagi tidak pernah menang darinya.
Karena tidak ada kenyamanan apapun yang saya dapat dari tempat rental PS1, saya pun berkomitmen untuk tidak lagi mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Saya mulai berpikir jika tempat rental PS1 hanya cocok untuk anak-anak yang gagal dalam pelajaran di sekolah. Sayangnya, komitmen saya hanya bertahan sampai saya SMP.
Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk mendaftar di salah satu SMP di pusat kota kabupaten. Karena lokasinya di pusat kota kabupaten, ada banyak pilihan rental PS1 dan media hiburan anak yang tersedia di sana. Jika di kampung hanya ada PS1, di kota kabupaten saya berkenalan dengan mesin Ding Dong dan beberapa rental game komputer. Sejak saat itu, wawasan saya tentang game berkembang pesat. Apalagi, beberapa teman SMP saya juga memiliki konsol game PS1 dan komputer PC sendiri di rumah. Sesekali, saya dolan ke rumah mereka untuk numpang bermain dengan konsol game mereka.
Seorang karib SMP saya, Budi namanya, adalah kompatriot saya dalam bermain game. Saya sering menghabiskan waktu untuk bermain PS1 bersama Budi. Berkat Budi, saya bertransformasi menjadi seorang penikmat game. Jika dulu saya berpikir “game itu dosa”, berkat Budi, saya mulai berpikir jika “game adalah selingan yang penting”. Jika dulu saya sering kalah bermain PS1, berkat Budi, keahlian permainan saya meningkat pesat.
Waktu bermain saya semakin lapang setelah saya tinggal bersama bibi saya di kota kabupaten. Saya numpang tinggal di rumah bibi karena rumahnya lebih dekat dengan SMP saya. Kebetulan rumah bibi saya tidak jauh dari rumah Budi. Saya pun semakin sering pergi ke rental PS1 bersama Budi. Sesekali, saya dan Budi juga mencoba-coba bermain rental game komputer untuk selingan.
Dari beragam game yang pernah saya coba, kegandrungan saya mengerucut pada game sepakbola Winning Eleven. Betapapun payahnya saya bermain, saya tidak pernah kapok untuk kembali memainkan game buatan KONAMI ini. Terlebih, setelah berkenalan dengan Budi, level permainan saya meningkat—meski saya lebih sering kalah jika bertanding dengan Budi.
Kebersamaan saya dan Budi dalam bermain Playstation terus berlanjut bahkan sampai kemunculan konsol game generasi terbarunya, yakni Playstation 2 (PS2). Dari sini, saya dan Budi—yang sama-sama gandrung dengan game Winning Eleven—mulai bekerjasama membuat klub sepakbola virtual sendiri dalam kompetisi Master League.[]
Lanjut ke sini.
Saturday, September 1, 2018
Pelajaran dari Senyum Karyamin
***
Pagi itu, bersama teman-temannya, Karyamin tengah bekerja mengangkut batu-batu dari sungai. Batu-batu yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam wadah yang harus dipikul dan dibawa ke atas bukit. Karyamin—yang sedari pagi belum makan—sudah terjengkang dua kali saat menapak naik ke bukit. Begitu Karyamin roboh, batu-batu yang sudah susah payah dikumpulkan tercecer berhamburan. Teman-teman Karyamin tergelak menertawakannya. Sial betul nasib Karyamin hari itu. Tapi, Karyamin tetap tersenyum—mencoba menertawakan dirinya sendiri.
Seorang teman menyarankan Karyamin pulang saja. Karyamin tampak kurang sehat dan butuh istirahat. Temannya yang lain berseloroh menyuruh Karyamin lekas pulang karena istrinya sendirian di rumah. Dua orang penagih hutang akan mendatangi rumah Karyamin.Tidak mungkin para penagih hutang itu hanya datang sekedar minta uang. Bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada istri Karyamin.
Mendengar ocehan teman-temannya, Karyamin mendadak cemas bercampur cemburu. Pikiran-pikiran buruk terus berkecamuk dalam benaknya. Karyamin pun memutuskan pulang ke rumah meski saat itu kepalanya semakin berat dan pening.
Di tengah perjalanan pulang, perut Karyamin berkeruyuk hebat. Sedari pagi, ia belum makan. Seorang penjaja pecel di pinggir jalan menawarkan makanan pada Karyamin. Perut Karyamin semakin melilit. Jakun Karyamin naik turun menelan ludah. Karyamin sempat tergoda untuk makan nasi pecel, tapi urung karena Karyamin ingat hutangnya pada penjual pecel sudah banyak. Karyamin hanya tersenyum pada penjual pecel dan melanjutkan langkah ke rumah.
Belum sampai di rumah, Karyamin bertemu dengan Pak Lurah. Tanpa basa-basi, Pak Lurah mencecar Karyamin untuk segera membayar iuran warga desa. Katanya, hanya Karyamin yang belum berpartisipasi. Ironisnya, iuran tersebut—kata Pak Lurah—dipakai untuk membantu korban bencana kelaparan di Afrika. Mendengar hal itu, Karyamin pun terbahak keras-keras. Langkahnya terhuyung sempoyongan. Karyamin pun terperosok jatuh ke jurang di pinggir tebing.
***
Membaca cerpen “Senyum Karyamin” karangan Ahmad Tohari terasa seperti membaca sebuah narasi rohani yang mengusik relung batin. Ahmad Tohari memiliki spesialisasi dalam menghadirkan potongan potret kehidupan masyarakat kelas bawah dengan sangat detail. Nilai-nilai kesederhanaan dan kehidupan tradisional pedesaan selalu terselip dalam setiap karya sastra Ahmad Tohari. Unsur “kesederhanaan” dan potret kehidupan kaum miskin inilah yang selalu menyentil pembaca agar lebih peka terhadap penderitaan mereka dan mensyukuri setiap rezeki kehidupan yang sedang dijalani. Dan bagi saya, gaya bercerita Ahmad Tohari selalu mampu menggugah hal tersebut.
Well, kehidupan ini memang dinamis. Ada kalanya kita mengalami pasang surut, baik dalam hal rezeki, perilaku, kesehatan, pergaulan, atau derajat ketakwaan kita pada Sang Khalik. Nasib kita juga tidak selamanya mujur. Terkadang, kita harus menghadapi sisipan-sisipan kejadian atau peristiwa yang tidak mengenakkan. Sesekali, kita akan merasa hari ini sial sekali atau ditimpa kemalangan beruntun. Semua itu wajar terjadi dalam roda hidup setiap anak Adam.
Tetapi, dalam menghadapi setiap manis getir kepingan nasib, kita selalu memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk lama berdiam meratap atau memilih untuk tetap tersenyum. Seperti Karyamin, kita perlu takzim belajar dari kearifannya, yang dalam kepedihan dan kefakiran pun bisa tetap tersenyum penuh syukur. Karena inilah salah satu bentuk kesabaran dan hikmah kehambaan manusia di hadapan Tuhannya.[]
Wednesday, August 1, 2018
Pengharapan
Jangan pernah berharap kepada manusia, karena pengharapan yang paling pahit adalah pengharapan kepada selain-Nya.
Manusia bisa salah, bisa khilaf, bisa ingkar, bisa dusta, bisa lupa, bisa pula celaka. Kenapa masih mau berharap pada manusia?
Tidak ada yang tahu masa depan akan jadi seperti apa. Ada cemas, ragu, was-was, dan sejumput rasa takut jika sudah memikirkan masa depan.
Karena itulah, kita selalu menumbuhkan HARAPAN agar kita merasa lebih kuat, lebih optimis menatap masa depan.
Tapi, banyak orang yang termangu tertipu, karena menggantungkan harapan pada makhluk bernama manusia.
Jadi untuk apa berharap pada manusia yang ingkar sementara kita semua memiliki Dia Yang Maha Kuasa?
Jadi, untuk setiap keraguan dan rasa takutmu akan masa depan, ajukanlah permohonan itu pada Yang Maha Memiliki, yang kuasa-Nya menembus batasan-batasan manusia.
Karena sungguh, tidak ada manfaat apapun jika kita sibuk mencemaskan nasib kita sendiri.
Hanya DOA dan UPAYA yang akan meringankan semua kecemasan dan ketakutan kita.
#backDate
Sunday, July 1, 2018
Cerita-Cerita Anak yang Berkesan
Saat saya SD, salah satu ruangan di rumah saya pernah dijadikan perpustakaan anak. Karena masih kecil, saya tidak terlalu paham bagaimana proses kerjasama pendirian perpustakaan itu. Yang saya tahu, pihak sponsor perpustakaan berasal dari SD tempat ayah saya bekerja. Boleh jadi, karena SD ayah tidak memiliki cukup ruang untuk perpustakaan, buku-buku dari sponsor perpustakaan itu dialihkan ke rumah saya.
Menceritakan seorang anak laki-laki yang bersimpati pada tetangganya, seorang kakek-kakek pemilik pohon jambu, yang berkali-kali menjadi korban pencurian jambu. Si Kakek sebenarnya tidak terlalu mempersoalkan pencurian itu, tapi ulah pelakunya yang serampangan menyebabkan banyak buah jambu mentah yang masih kecil berguguran.
Cerpen paling kreatif dan unik yang pernah saya baca. Meski sempat bingung dengan arti kata "korespondensi", saya tetap paham maksud ceritanya. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak yang baru pindah rumah. Si anak beruntung karena di halaman rumah barunya ada pohon belimbing yang tengah ranum.
Ternyata, si pencuri tidak jera, alih-alih ia malah membalas surat ancaman itu. Maka, terjadilah aksi balas membalas surat yang seru antara si anak yang menjadi korban dan pelaku pencurian.
Karena setelah dewasa saya memakai kacamata (saat bocah mata saya belum minus) mau tak mau saya jadi teringat cerpen ini. Cerpen Kacamata UFO bercerita tentang seorang anak berkacamata yang menjadi korban kejahilan teman sekelasnya. Si Anak berkacamata sering diolok-olok karena bentuk kacamatanya yang lebih mirip kacamata Alien. Jadilah dia dijuluki "Kacamata UFO". Suatu kali, kacamata Si Anak diambil dan dijadikan bahan bercandaan oleh temannya yang jahil. Malangnya, kacamata itu terjatuh dan pecah berkeping-keping. Si Anak sangat sedih karena tahu orangtuanya yang pas-pasan tidak mungkin bisa membelikannya dalam waktu dekat.
Cerpen ini bercerita tentang seorang anak yang bertetangga dengan Om Jali. Di mata Si Anak, Om Jali adalah sosok tetangga yang baik, ramah, dan senang memberi hadiah. Si Anak sering ditraktir makan atau sekedar jalan-jalan dengan mobil Om Jali. Mobil Om Jali keren dan sering berganti-ganti. Awalnya, Si Anak tidak menaruh curiga karena Om Jali bekerja di perusahaan mobil, sehingga wajar jika dia sering berganti mobil. Sampai suatu kali ketika Si Anak dan temannya ditraktir jalan-jalan dengan mobil, teman Si Anak mendapati kejanggalan pada mobil Om Jali yang ditumpangi.
Berkisah tentang seorang bocah penakut yang disuruh ibunya membelikan sabun ke warung. Karena warung dekat rumahnya tutup, Si Bocah harus membeli sabun di warung lain yang berada di kampung sebelah. Si Bocah pun mengayuh sepeda dengan sejumput rasa takut melihat penampakan. Sepanjang perjalanan pulang dari warung, Si Bocah dibuntuti bau harum misterius yang disangkanya sebagai bau hantu. Bau harum itu membuatnya terbirit-birit mengayuh sepeda sampai ke rumah. Tak dinyana, bau harum itu berasal dari sabun yang baru saja dibelinya sendiri. Kocaknya...
Friday, June 1, 2018
Gairah Artis dan Jalan Sunyi Para Blogger
Hanya segelintir orang yang bisa rutin ngeblog sampai belasan atau puluhan tahun. Faktor kesibukan, tidak ada waktu, dan minimnya ide menulis adalah beberapa alasan yang paling sering dilontarkan. Namun, pada umumnya, alasan mendasar kenapa banyak orang berhenti ngeblog adalah karena blog sulit membuat pemiliknya terkenal. Tentu saja ada beberapa pengecualian, seperti Raditya Dika yang sukses menjadi terkenal karena blog. Tapi, jika kalian bertanya pada para blogger pemula “kenapa kalian bikin blog?” kebanyakan mereka akan menjawab “karena saya ingin terkenal.”
Pada dasarnya kita ingin agar diri kita dikenal orang lain. Hal ini merupakan kebutuhan mendasar manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya, kita sering merasa tidak nyaman jika terlalu lama berada di tempat yang tidak ada seorang pun mengenali kita. Awalnya, kita hanya butuh dikenal oleh orang-orang terdekat di sekitar kita, seperti orangtua, saudara, kerabat dan tetangga. Seiring bertambahnya usia, hubungan sosial dan relasi pertemanan kita semakin berkembang. Kita tidak lagi merasa cukup hanya dengan mengenal, tapi kita juga ingin agar diri kita dikenal. Kebutuhan untuk dikenal ini perlahan berubah menjadi hasrat untuk mengaktualisasikan diri—kita ingin agar orang-orang tahu siapa kita dan apa kelebihan kita. Saya menyebut kecenderungan ini sebagai “gairah artis”.
Ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk memenuhi “gairah artis” ini. Kita bisa memamerkan atau menunjukkan kelebihan kita secara langsung, seperti lewat pertunjukan seni, misalnya. Kita juga bisa memenuhi “gairah artis” dengan mendokumentasikan aktivitas kita dan menyebarkannya di ruang publik—misalnya melalui media massa.
Penemuan kamera dan alat perekam video memudahkan kita untuk melampiaskan “gairah artis”. Siapapun bisa mendokumentasikan setiap aktivitasnya lewat citra audio visual. Jika tiga puluh tahun lalu hanya orang-orang kaya yang bisa mendokumentasikan aktivitasnya lewat foto atau video, sekarang, dengan adanya internet dan smartphone, siapapun bisa dengan mudah mendokumentasikan bahkan membagikan foto atau videonya kepada semua orang di dunia.
Pada akhirnya, perkembangan teknologi telah mendorong “gairah artis” manusia menjadi tidak terkendali. Media sosial menjadi wadah sekaligus wabah yang menampung berjuta ragam ekspresi dan aktualisasi diri dari berbagai jenis ras manusia. Tak peduli apakah konten yang dimuat bermanfaat atau tidak, layak atau tidak, semua orang berlomba menunjukkan eksistensi diri masing-masing. Semuanya mengusung misi yang sama: menjadi seorang yang lebih dikenal dan terkenal.
Lalu apa hubungannya ngeblog dengan “hasrat artis” yang selalu ingin terkenal? Well, seperti yang saya jelaskan di awal, blog juga bisa membuat seseorang menjadi terkenal. Seorang blogger pemula sangat mungkin tergiur untuk menjadi terkenal lewat blognya. Mereka memandang blog sebagaimana media sosial pada umumnya, seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram. Padahal, blog dan media-media sosial mainstream memiliki beberapa aspek perbedaan.
Yang pertama, dari aspek fungsi jejaring pertemanan. Media-media sosial mainstream pada umumnya didesain untuk membuat penggunanya menjadi lebih dikenal dan memungkinkan mereka mendapat lebih banyak teman dalam waktu singkat. Kalian hanya perlu mengetikkan nama akun teman kalian, lalu klik “ADD”. Setelah dikonfirmasi (di-accept), kalian telah saling berteman dan bisa langsung berbagi informasi. Dan semua proses tersebut bisa dilakukan dengan mudah hanya dengan satu panel saja.
Sementara dalam dunia blog, konsep “teman” di sana berbeda dengan media sosial mainstream. “Teman” dalam dunia blog bisa diartikan sebagai pengikut (followers) yang rajin mengikuti dan memantau blog kalian. Karenanya, agar blog kalian mendapat pengikut dan dibaca banyak orang, kalian harus mengisi blog dengan konten-konten yang memang bisa dinikmati orang lain. Konten yang menarik akan membuat pengunjung blog merasa betah dan berpeluang untuk kembali mengunjungi blog kalian. Jika sudah begitu, maka besar kemungkinan pengunjung blog akan tertarik untuk mem-follow blog kalian.
Selain itu, agar jejaring pertemanan kalian di blog lebih luas, kalian juga butuh melakukan kunjungan ke blog-blog lain (blogwaking), promosi alamat blog, menjadi pengikut (followers) blogger lain, memanajemen SEO, sampai memastikan blog kalian terindeks Google. Sialnya, meski semua cara itu sudah kalian lakukan, pengikut blog kalian boleh jadi belum akan bertambah secara signifikan! Di sinilah letak keruwetan jejaring pertemanan di blog dibandingkan dengan media-media sosial mainstream lainnya. Sederhananya, jika untuk mendapat teman di blog kita harus gigih berjuang berhari-hari, maka untuk mendapat teman dari media sosial mainstream hanya perlu hitungan menit.
Alasan kemudahan dalam memperluas jaringan pertemanan inilah yang mengakibatkan jumlah pengguna blog dan pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter berbanding jauh. Selama belasan tahun kalian sekolah-kuliah, paling banter kalian hanya akan medapati dua tiga orang teman yang aktif ngeblog. Sisanya mungkin hanya iseng atau sekedar bikin blog untuk tugas TIK. Jadi, jika8 kalian ingin memperluas jaringan pertemanan melalui blog, menurut saya, media blog kurang cocok untuk tujuan semacam itu.
Perbedaan yang kedua, dari segi konten. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, membuat kontendi blog sebaiknya tidak ngasal. Jika konten blog kalian cenderung “3NG” (baca: TRING=NGawur, NGalay, dan Ngasal), hal tersebut bisa membuat pembaca merasa tidak nyaman (bahkan misuh mungkin). Akibatnya, pembaca akan malas berkunjung lagi ke blog kita karena kapok.
Berbeda dengan media-media sosial mainstream yang kebanyakan jejaring pertemanannya adalah teman-teman kalian sendiri. Sebagian dari mereka mungkin pernah bertemu langsung dengan kalian. Jadi, ketika kalian mengunggah sebuah konten (senorak dan seabsurd apapun itu), selama isi konten tidak bertentangan dengan undang-undang, maka akun media sosial kalian bisa tetap dikunjungi (bahkan masih mendapat jempol “like”).
Pada dasarnya, media-media sosial mainstream seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram adalah versi mini-nya blog. Hanya peruntukannya berbeda untuk setiap orang—tergantung pada kebutuhan masing-masing. Yang ngeblog untuk berjualan banyak. Yang bermedsos untuk jualan berjuaan juga bejibun. Yang blognya ramai pengunjung ada, yang akun medsosnya kebanjiran followers juga ada. Masing-masing media memiliki fungsi dan peran yang berbeda untuk para penggunanya.
Tapi, bagi saya pribadi, blog adalah media aktualisasi diri yang sunyi. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa jika saya ngeblog hanya untuk menjadikan diri saya terkenal, maka saya sudah menggadaikan waktu dan pikiran saya untuk sesuatu yang tidak akan meningkatkan kualitas diri saya! Jika menjadi terkenal adalah tujuannya, maka alangkah baiknya jika saya jadi selebgram atau vlogger mi instan di Youtube (misalnya lho, ya). Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk ngeblog saja untuk menghindari lebih banyak “korban”. Maksud saya, jika blog saya buruk, paling banter orang hanya akan mencela tulisan saya. Tapi kalau video Youtube yang ada gambar muka saya jelek, sudah diedit dan disunat sembarangan (seperti kasus Pak Ahok), wah bisa-bisa saya jadi buronan orang-orang sekampung dengan tuduhan macam-macam. Saya tidak mau yang seperti itu.
Semua blogger, pada awalnya pasti pernah mengalami fase-fase di mana “gairah artis-nya” bergejolak. Gairah artis itu pula yang mendorong mereka rajin menulis di blog. Saking “produktifnya”, sebagian blogger sampai harus mencomot tulisan blog orang lain (copy paste). Tapi, ketika mereka sampai di titik di mana kerja keras mereka sia-sia, trafik pengunjung datar-datar saja, kolom komentar masih melompong, atau judul tulisan gagal tampil di firstpage Google, sudah semestinya kearifan diri ini yang terketuk. Karena blog tidak sama dengan media-media sosial mainstream.
Dalam dimensi kesunyiannya, ada sejumput kebijaksanaan dan pembelajaran berharga yang bisa kita ambil dari blog. Ada tetes hikmah keikhlasan yang harus kita renungkan, agar kita bisa melakukan sesuatu tanpa pamrih duniawi. Semuaitu membawa kita ke pertanyaan mendasar: “apa tujuan kita ngeblog”?
Para blogger yang konsisten ngeblog sampai belasan bahkan puluhan tahun selalu membat saya takjub. Konistensi mereka dalam menulis (mungkin karena faktor pekerjaan mereka yang rata-rata penulis) membutuhkan kadar keikhlasan sampai level tertentu. Jika mereka menulis, mereka akan menulis semata karena mereka ingin menulis. Karena dalam pekerjaan apapun, jika kita meniatkan pekerjaan itu sekedar untuk mencari tepukan dan ujaran pujian, maka yang akan kita dapati adalah kelelahan.
Begitu pula saat menulis. Jika kita terlalu muluk-muluk berpamrih, maka tulisan kita tidak akan selesai. Karena bagaimanapun, proses menulis membutuhkan kejernihan batin dan nalar agar apa yang tertulis tidak menjadi wacana yang menggelisahkan—pun ujaran kebencian.[]
Saturday, May 26, 2018
Ngomong-Ngomong Masalah Pensil
Sebelum membaca lebih jauh, perlu saya ingatkan bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk kepentingan promosi merk produk tertentu. Meski dalam beberapa saya menyebut merk, itu tidak menunjukan opini pribadi penulis bahwa merk tersebut lebih baik daripada merk lain. Semuanya pure sekedar untuk membantu pembaca memahami isi dan konteks tulisan ini. Demikian.
***
Selain pulpen, salah satu perkakas menulis yang berperan penting dalam kehidupan anak sekolah adalah pensil. Pada umumnya, pensil dipakai pada kelas tingkat bawah (TK-SD kelas 3). Dibandingkan dengan pulpen, pensil dinilai lebih aman untuk belajar menggambar dan menulis karena bisa dihapus. Berbeda dengan pulpen yang bersifat permanen dan tidak erasable. Pemakaian pulpen biasanya baru diizinkan pada jenjang kelas yang lebih tinggi dengan catatan siswa sudah lancar menulis dan perkembangan psikomotoriknya berlangsung normal. Begitu juga dengan saya. Pensil adalah alat tulis pertama yang saya pakai untuk belajar menggambar-menulis. Dibandingkan pulpen, saya lebih dulu dikenalkan dengan pensil oleh guru saya.
Ada banyak sekali jenis pensil yang beredar di pasaran. Pensil pertama saya adalah “pensil wangi bergambar” yang saya pakai saat TK sampai SD kelas 2 (kira-kira). Jenis pensil ini sangat unik, karena selain aromanya wangi, badan pensil ini dilapisi gambar kartun warna-warni yang memanjakan mata anak-anak. Pada bagian ujungnya, melekat sebiji karet penghapus yang bisa menyelamatkan uang jajan anak sekolah dari pemborosan membeli karet penghapus standar. Lebih uniknya, pensil jenis ini seringkali tidak mencantumkan merk (barangkali ada, tapi saya jarang memperhatikan detilnya). Selanjutnya, pensil jenis ini akan saya sebut “pensil Wanibar”—karena baunya wangi dan ada gambar-gambarnya.
Seperti yang saya katakan tadi, pensil adalah alat tulis yang paling cocok digunakan untuk mengenalkan cara menggambar dan menulis pada anak. Berkat pensil Wanibar, keterampilan motorik saya dalam menggambar dan menulis juga semakin terasah. Saya masih ingat pelajaran pertama di kelas 1 SD. Saat itu, Bu Guru meminta murid-muridnya untuk menyalin gambar pola yang ada di papan tulis. Bentuk gambar pola di sana bervariasi, ada bentuk oval, spiral, eksagonal, kotak, turus, diamond, dan sebagainya (belakangan, saya tahu bahwa itu adalah metode klasikal untuk mengenalkan cara menulis pada anak). Berkat pensil ini pula, saya jadi bisa menggambar lukisan legendaris khas anak SD–hamparan sawah dengan latar gunung kembar dan seringai matahari.
Setelah pensil Wanibar, saya berkenalan dengan “pensil tukang”. Pensil ini tidak pernah saya pakai di sekolah. Saya hanya melihatnya di kotak perlengkapan di rumah. Pensil itu biasa dipakai ayah saya untuk menandai bagian kayu yang akan dipotong. Itu sebabnya saya menamai pensil itu “pensil tukang”.
Karena ditujukan untuk menandai kayu, diameter pensil ini lumayan besar, kira-kira 3 kali lipatnya pensil anak sekolah.
Menginjak kelas 3 SD, saya mulai tidak nyaman memakai pensil Wanibar. Pensil itu terasa kasar dan lebih sulit dihapus bahkan dengan penghapus bermerk sekalipun. Saya mulai mencari jenis pensil lain yang lebih nyaman dipakai. Salah satunya adalah pensil HB warna merah (saya lupa merknya). Pensil ini mirip-mirip dengan pensil Wanibar, tapi lebih nyaman dan lembut saat digoreskan di kertas. Di ujungnya, pensil ini juga menyediakan sebiji karet penghapus—sama halnya dengan pensil Wanibar.
Sampai suatu hari, saat saya membaca majalah Bobo, saya mendapati sebuah iklan pensil merk “Staedler”. Pensil berwarna biru itu terlihat sangat menarik. Rautannya sangat rapi. Saya mendapati iklan pensil itu di setiap edisi majalah Bobo yang saya baca (ngomong-ngomong saya tidak berlangganan Bobo, hanya pinjam perpustakaan). Karena seringnya terpapar iklan, saya pun tertarik membeli sebuah pensil Staedler. Kualitas dan hasilnya memang cocok dengan iklannya yang masif.
Pensil Staedler adalah pensil modern pertama yang saya pakai. Bahan dasarnya adalah grafit berkualitas yang lembut saat digores di kertas. Pensil ini tidak sampai menyobek kertas walau ditekan dengan kuat. Saat dihapus, bekas hapusannya pun relatif bersih dan tidak merusak kertas (kecuali kalian memakai karet penghapus murahan bertekstur kasar). Memasuki kelas 6 SD, saya lebih sering memakai pensil Staedler 2B ini karena cocok dengan kebutuhan saya—entah untuk sekedar coret-coret atau menjiplak gambar-gambar karakter di komik. Hanya saja tulisan GERMANY yang tertera di badan pensil membuat saya bertanya-tanya “Apa iya, untuk sebatang pensil saja kita harus mengimpor produk dari luar negeri?”
Menjelang ujian kelulusan (waktu itu belum ada Ujian Nasional), muncul lagi pensil merk Faber Castle. Warnanya coklat tua dan tampak lebih elegan dianding Staedler biru. Grafit yang dipakai pensil Faber Castle memiliki tingkat kenyamanan dan kehalusan yang relatif sama dengan grafit pensil Staedler. Keduanya juga bisa dipakai untuk mengisi lembar jawab komputer (LJK). Tidak heran jika kemudian muncul perdebatan soal pensil mana yang lebih bagus dan lebih terbaca oleh komputer?
Ngomong-ngomong soal LJK, saat SD, saya masih awam dengan LJK. Saya terbiasa memakai pulpen untuk mengerjakan soal ulangan di kertas biasa. Sebelum ujian, saya dikursus menghitamkan jawaban pada LJK. Saya diwanti-wanti (mungkin lebih tepatnya ditakut-takuti) agar jangan sampai salah saat menghitamkan jawaban. Jangan sampai ada goresan pensil yang keluar dari batas lingkaran karena berpotensi dianggap salah oleh scanner jawaban.
Gara-gara LJK ini, saya mengikuti ujian kelulusan dengan kekhawatiran macam-macam. Khawatir salah menghitamkan jawaban-lah, khawatir tidak terbaca komputer-lah, sampai khawatir jawaban yang saya ganti (hapus) dianggap salah. Detik demi detik ujian pun menjadi terasa lebih lama.
Tentu saja saya tidak akan menyebut pensil mana yang lebih baik, Staedler atau Faber Castle. Seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan, saya tidak sedang membuat perbandingan produk. Toh, baik Staedler maupun Faber Castle, keduanya sama-sama berjasa mengantarkan saya sampai lulus kuliah dan menjadi sarjana. Menurut saya, masing-masing pensil memilik krakteristik masing-masing, tergantung kebutuhan dan selera si pemakai.
Jika kalian bertanya pensil mana yang lebih “terbaca” saat di-scan komputer, saya rasa keduanya sama saja. Insya Allah. Selama kalian memakai produk yang ASLI, maka keterbacaan LJK kalian tidak perlu diperdebatkan. Konyol sekali jika kalian mengkambinghitamkan merk pensil atas hasil ujian yang buruk. Ora nyambung blas. Itu sama saja mengkambinghitamkan stick playstation ketika kalian kalah tanding PES misalnya.
Terlepas dari semua itu, merk pensil akan selalu bermetamorfosis setiap waktu. Akan ada merk-merk pensil kekinian yang kalian temui di pasaran dengan wujud dan tampilan yang beraneka ragam. Dan untuk setiap merk pensil, semuanya membawa pesan filosofis yang sama, bahwa sebuah pensil akan tetap disebut “pensil” karena ia bisa dihapus. Sebagaimana dinamika hidup manusia, selama masih ada kesempatan untuk melakukan perbaikan diri dan kondisi, maka berupayalah. Selagi masih ada waktu dan hela nafas yang Tuhan berikan.[]