Saya pertama kali berkenalan dengan telepon genggam (ponsel) saat masih SD. Kalau tidak salah ingat, sekitar tahun 2001. Saat itu, ponsel masih menjadi barang mewah di kampung saya. Saking mewahnya, di kompleks rumah saya hanya ada dua orang yang mampu membelinya. Wajar saja, karena saat itu harga pulsa terbilang sangat mahal (100 ribuan). Jika dikonversi ke nilai uang sekarang, mungkin nilainya setara setengah juta rupiah. Padahal, dengan harga ‘semahal’ itu, masa aktif yang kita peroleh cuma satu bulan. Tidak heran jika saat itu ponsel hanya bisa dimiliki oleh masyarakat ekonomi mapan—salah satunya adalah paman saya.
Ponsel
paman saya terbilang sederhana. Bentuknya mungil, ramping, dan layarnya cuma
selebar ibu jari orang dewasa. Karena bentuknya yang mungil dan lucu, saya
sering meminjamnya setiap kali dolan ke rumah paman. Untungnya, paman saya
tidak pelit meminjamkan ponselnya. Dan seperti bocah-bocah lain pada umumnya,
saya lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game dengan ponsel itu.
Tahun
demi tahun berganti. Perkembangan teknologi ponsel berlangsung sangat cepat.
Teramat cepat, hingga setiap tahun seseorang bisa berganti ponsel dengan fitur
yang jauh berbeda dibanding ponsel sebelumnya. Model ponsel pun semakin beragam
sehingga masyarakat punya lebih banyak pilihan. Apalagi, sejak tahun 2003,
jumlah operator seluler di kota saya semakin banyak. Masing-masing operator
menyediakan beragam tarif promo sehingga harga pulsa semakin terjangkau.
Terjangkaunya
harga pulsa berbanding lurus dengan semakin murahnya harga ponsel. Ponsel pun
menjadi barang yang kian menjamur di masyarakat. Di setiap tempat, jamak
terlihat orang yang sibuk berkirim SMS, menelpon, atau sekedar mengecek ponsel
sambil menunggu angkutan umum. Tidak hanya orang-orang tua, anak-anak sekolah
pun terlihat menenteng ponsel kesana kemari.
Saya
beruntung karena larangan membawa ponsel tidak (atau mungkin belum) berlaku di
sekolah. Sekolah saya masih membolehkan siswanya membawa ponsel, sebatas untuk
berkomunikasi dengan orangtua agar lebih mudah mengurus jemputan. Karena pihak
sekolah membolehkan, jadilah teman-teman saya ikut-ikutan membawa ponsel dengan
berbagai model, ukuran, dan fitur masing-masing. Ada ponsel berukuran mini yang
bisa disaku, ada ponsel berkamera, ponsel dengan MP3 Player, games interaktif,
dan juga video player. Meski terdengar sedikit kampungan (khususnya bagi
generasi android saat ini), fitur-fitur itu terbilang “sangat canggih” untuk
ukuran ponsel saat itu.
Saya
sendiri tidak neko-neko dalam hal ponsel. Saya membawa ponsel sekedar
untuk memudahkan komunikasi dengan orangtua.
Bukan untuk prestise pribadi apalagi pamer-pameran. Gimana mau pamer, lha
wong ponsel saya malah cuma ‘lungsuran’ dari kakak saya. Soal fitur
jangan tanya, ponsel saya cuma bisa SMS sama telepon. Bikin lagu juga bisa,
cuma jarang saya utak-atiki. Nada deringnya juga masih monophonic dan
ukurannya pun sangat tidak ramah di saku. Jika kalian bertanya “bagaimana
caramu bersenang-senang dengan ponsel itu?” Jawaban saya cuma dua: “Bumper”
dan “Space Impact”.
Begitulah—ketika
sekolah saya tidak pernah bersentuhan dengan ponsel multimedia. Saya lebih
sering meminjam ponsel teman jika ingin mendengarkan MP3, memutar video atau
sekedar berfoto bersama. Saya sendiri sungkan meminta ponsel pada orangtua.
Prinsip saya, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan saya masih
bisa merasakan manfaat dari barang tersebut, saya segan membeli barang yang
baru. Karena itu, dalam urusan ponsel, bisa dibilang saya cukup ‘kudet’
(bahkan ikut-ikutan mig33 pun tidak pernah).
Terlepas
dari kekudetan saya, ada satu jenis ponsel yang membuat saya melting saat
itu. Tentu saja bukan jenis ponsel multimedia berkamera yang bisa “mendesah”
keras-keras melainkan ponsel flip. Sejak saya mengenal jenis ponsel
flip (ponsel dengan layar yang bisa dilipat), saya begitu terobsesi untuk
memilikinya. Salah satunya, karena layar ponsel flip bisa dibuka dan ditutup.
Entah kenapa, saya menganggap hal itu “keren” sekali (sama halnya dengan
aktivitas ‘buka-tutup’ pintu kulkas untuk mengecek lampu kulkas—ajaib).
Obsesi
saya pada ponsel flip boleh jadi karena saya terlalu terpengaruh serial Power
Ranger yang rutin saya tonton tiap Minggu pagi. Dalam salah satu serialnya,
para tokoh utama memakai gadget mirip ponsel flip untuk berubah menjadi Power
Ranger. Tidak mengherankan jika kelak saya ingin mewujudkan gadget itu dalam
bentuk nyata.
* * *
Hari ini,
sudah sepuluh tahun lebih sejak masa-masa perkenalan saya dengan ponsel.
Perkembangan terknologi ponsel sudah melampaui apa yang dulu cuma bisa saya
bayangkan dalam film-film kartun. Layar sentuh, panggilan video, file transfer,
dan internet adalah segelintir narasi fiksi yang telah mewujud menjadi
kenyataan di era ponsel saat ini. Saya telah tiba di masa depan.
Ponsel
tidak lagi semewah dulu ketika pertama kali muncul di kampung saya. Hampir
semua orang menenteng ponsel sekarang. Tidak cukup satu, dua, tiga, bahkan
lebih. Masing-masing orang mulai disibukkan dengan ponselnya yang semakin
‘pintar’. Cara mereka bersenang-senang dengan ponsel pun semakin beragam. Tidak
ada lagi Bumper dan Space Impact. Tidak ada lagi
ritus bangun dini hari demi mengejar telepon gratisan. Tidak ada lagi pesan
yang tertunda karena kepenuhan memori SMS.
Ponsel
masa kini sudah bertransformasi menjadi semacam ‘entitas’ tersendiri yang
bahkan bisa menggerus kemanusiaan seseorang. Dan dengan segala
silau kecanggihannya, saya mengikuti arus zaman—memakai ponsel android—hingga
saya pun mulai melupakan obsesi memiliki ponsel flip. Setidaknya, hingga
beberapa waktu yang lalu, saat saya pergi ke sebuah mall di pusat kota.
Saat itu,
saya sedang mencari-cari ponsel (android) baru karena ponsel android saya yang
lama sudah terlalu usang. Saking usangnya, sampai-sampai saya dibuat kesulitan
karena tidak bisa menginstall Whatsapp di sana. Saat sedang
berkeliling melihat-lihat, pandangan saya tertumbuk pada sebuah ponsel flip
berwarna putih yang dipajang di kaca etalase.
DEG!
Layaknya
seorang bocah yang takjub melihat pameran lumba-lumba, mata saya berbinar
melihat ponsel flip itu. Seketika, saya terlibat perasaan nostalgia. Saya
merasa kembali ke masa remaja saat saya menganggap ponsel flip sebagai barang
yang “keren”. Saya membayangkan betapa elegannya memakai ponsel sambil membuka
dan menutup layarnya. Obsesi saya memiliki ponsel flip pun kembali membuncah.
“Saya harus memiliki ponsel itu suatu saat nanti,“ tekad saya.
* * *
Dan
begitulah, setelah pertemuan tak disengaja dengan ponsel flip itu, saya ber-azzam kuat
untuk membeli ponsel itu. Kini, setelah menyisihkan sebagian gaji, sebuah
ponsel flip warna hitam telah berhasil saya dapatkan. Bukan sesuatu yang mewah
memang, tapi sudah cukup membuat saya puas karena akhirnya obsesi saya ketika
“bocah” telah terwujud. Terasa lebih puas karena saya mewujudkan obsesi itu
dengan jerih payah saya sendiri.
Dengan
hati-hati, saya keluarkan ponsel flip itu dari bungkusnya. Warnanya hitam
pekat, elegan, meski agak licin dipegang. Saya pun bergegas memasang kartu SIM
di dalamnya. Begitu saya membuka layarnya, ponsel flip itu menyala. Sebongkah
perasaan membuncah menjalari sekujur tubuh saya. Dan entah kenapa, saat itu
saya merasa—yah, sangat sangat—keren.[]