“Jika kamu tidak pandai tersenyum,
lebih baik jangan jadi pedagang”
(pepatah Cina)
Tempo hari, sakit gigi saya
kambuh—tepatnya di geraham belakang sebelah kiri. Selama ini, geraham belakang
saya memang bermasalah. Giginya berlubang karena tambalannya copot. Karena saya
bukan ahli gigi saya hanya berpurba sangka—jangan-jangan kuman-kuman di dalam
mulut saya sudah ‘beranak-pinak’ di lubang gigi itu. Pada akhirnya, kuman-kuman
itulah yang menyebabkan sakit gigi saya kambuh. Gusi di sekitar geraham saya
pun ikut membengkak. Rasa ngilunya luar biasa. Benarlah jika ada yang bilang: “sakit
gigi lebih menyakitkan daripada sakit hati” (untuk saat ini, saya setuju
dengan ungkapan itu).
Bagian paling menjengkelkan
dari sakit gigi adalah ‘sensasi nyerinya’ yang menjalar. Bagian-bagian tubuh
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan gigi bisa ikut-ikutan sakit. Dari
beberapa artikel yang pernah saya baca di internet, sakit gigi bisa menyebabkan
demam, infeksi, peradangan, gusi berdarah, linu di sekitar kepala dan bahu,
sampai gangguan sinusitis. Pada kasus saya, sakit gigi ini sukses mendatangkan
demam, nyeri kepala, dan gangguan pencernaan (gara-gara nafsu makan saya
anjlok). Biasanya, saya akan meminum paracetamol untuk meredakan rasa nyeri
akibat sakit gigi. Tapi kali ini, paracetamol saja tidak cukup. Selang tiga
hari kemudian, sakit gigi saya belum mereda. Saya pun memutuskan untuk segera
ke dokter gigi.
Berbicara soal dokter gigi,
saya punya seorang dokter gigi langganan—Bu In namanya. Saya sudah memakai jasa
layanan Bu In sejak tahun 1995 atau sejak umur 3 tahun. Setiap kali gigi saya
bermasalah, saya selalu pergi ke klinik Bu In. Sejauh ini, saya enggan beralih
ke dokter gigi lain. Pikir saya, jauh lebih mudah dan aman jika saya
memeriksakan gigi ke klinik Bu In karena semua rekam medis gigi saya ada di
kliniknya. Karenanya, setelah dewasa pun saya tetap memakai jasa Bu In untuk
merawat gigi saya.
Sejak kecil, riwayat gigi
saya memang tidak beres. Kebiasaan saya mengunyah permen, membuat saya hampir
kehabisan gigi. Gigi saya banyak yang tanggal dan berlubang di sana sini.
Karenanya, tidak heran jika saya sudah menjadi pelanggan Bu In sejak berumur 3
tahun. Berkat klinik Bu In, gigi-gigi saya yang bermasalah pun bisa
terselamatkan.
Pertama kali saya datang ke
klinik Bu In bersama ibu saya. Ibu saya pernah bilang kalau dia membawa saya ke
klinik Bu In agar saya tidak terlalu kesakitan saat diperiksa. Dan memang
begitulah adanya. Sejak dulu, klinik Bu In terkenal dengan keramahannya
melayani pasien anak-anak. Meski begitu, seperti bocah-bocah lain pada umumnya,
saya tetap ketakutan melihat alat-alat perawatan gigi di ruang kerja Bu In,
mulai dari lampu sorot berwarna kuning yang menyilaukan, penjepit, tang
pencabut, dan tentu saja—bor gigi.
Dan tanpa terasa, dua puluh
satu tahun berlalu. Saya kembali mengunjungi klinik Bu In untuk yang kesekian
kalinya. Kali ini, saya butuh bantuannya untuk menambal gigi saya yang bolong.
Begitu masuk ke ruang periksa, ada sebongkah perasaan nostalgia di benak saya.
Pandangan saya tertumbuk pada sebuah kursi periksa di tengah ruangan—kursi
empuk yang engselnya bisa bergerak otomatis naik-turun. Terbayang bagaimana
saya dulu duduk di kursi itu, sambil bergidik ngeri menahan sakit saat giginya
dicabut. Dan Bu In...ah, beliau masih seperti yang dulu. Wajah orientalnya
masih tetap terlihat muda meski usianya mungkin hampir berkepala enam (saya
katakan “mungkin”, karena saya tidak tahu usianya. Saya sungkan berbasa-basi
menanyakan umur).
Saat memeriksa gigi saya,
Bu In masih mempertahankan “cara-cara lama”. Pendekatan sugestifnya terhadap
pasien masih sama dengan yang dulu dilakukannya sewaktu memeriksa saya.
Kata-kata perintah Bu In sangat khas sehingga masih terngiang-ngiang di telinga
saya.
“Buka mulutnyaaa...”
“Gigit...”
“Kumur-kumuuur...”
Entah sengaja atau memang
sudah kebiasaannya, Bu In sering memanjangkan suku kata terakhir saat memberi
perintah pada pasieannya. Dengan cara itu, Bu In sukses mengesankan dirinya
sebagai sosok yang ramah serta menjauhkan pasiennya dari rasa takut dan trauma.
Tekanan dan intonasi suaranya yang lembut seakan-akan menggantikan peran morfin
sebagai penghilang sakit—menenangkan. Gara-gara itu pula saya benar-benar
kembali menjadi "bocah" di depan Bu In.
* * *
Bagi saya, keramahan
pelayanan adalah hal terpenting dalam berbisnis. Pepatah Cina
mengatakan "jika kamu tak pandai tersenyum, jangan menjadi pedagang."
Karena semua orang pada dasarnya suka diperlakukan secara ramah. Keramahan
pelayanan kalian adalah cara efektif menggaet pembeli. Tidak hanya itu,
keramahan kalian bisa menumbuhkan kepercayaan pembeli yang membuatnya tidak
ragu untuk kembali membeli barang di tempatmu. Tak peduli sebagus dan se-wah
apapun barang jualannya, jika kalian bersikap judes nan amit-amit pada pembeli,
saya tidak yakin si pembeli sudi datang ke tempatmu lagi.
Begitu juga dengan klinik
Bu In. Alasan saya setia menjadi pelanggannya adalah keramahan pelayanannya.
Saya pernah dibuat ilfil oleh seorang dokter yang judes dan bekerja
setengah-setengah. Gara-gara itu, saya enggan kembali ke kliniknya. Jangankan
periksa, menebus resepnya pun saya tidak sudi. Saya merasa diperlakukan seperti
motor yang diservis. Tidak ada sentuhan humanis dan sugesti untuk menenangkan
pasiennya. Karenanya, saya pernah bilang jika saya rela menebus harga yang
sedikit lebih mahal demi sebuah keramahan pelayanan. Dan saya tidak akan merasa rugi karenanya.
Apa bedanya dengan klinik
Bu In?
Tentu saja beda. Dokter
yang satu memeriksa saya seperti motor butut di tempat bengkel servis,
sementara Bu In memeriksa saya selayaknya benda hidup yang bisa bicara dan
merasa. Tidak mengherankan jika klinik Bu In selalu ramai didatangi pasien.
Bahkan meski di sebelah klinik Bu In sudah berdiri klinik dokter gigi baru,
pelanggan setianya yang sudah “kadung krasan” (terlanjur nyaman) tetap
memilih memeriksakan giginya di klinik Bu In—termasuk saya.
Meski begitu, tidak semua
keramahan pelayanan berkonotasi positif. Ada juga jenis keramahan pelayanan
yang menjengkelkan, misalnya di toko-toko swalayan berjejaring. Di toko-toko semacam itu, keramahan pelayanan yang kita
terima terasa seperti sebuah “basa-basi sistematis”. Sebagai pelanggan, kita
hampir selalu mendapatkan keramahan dan basa basi yang sama di toko-toko
serupa. Alih-alih merasa nyaman, kita bisa dibuat ilfil karena
pertanyaan-pertanyaan seperti: “Kartu membernya ada?” “Kembaliannya
permen, ya?” “Kembaliannya mau disumbangkan?” “Terima kasih sudah
berbelanja di sini...” “Dimulai dari nol, ya...”
Aaarghh....!#berisik (nutup
kuping).
Sekalipun keramahan
pelayanan penting, dalam praktek penggunaannya tetap harus memperhatikan
konteks waktu, tempat, dan kondisi konsumen yang kita hadapi. Keramahan
pramugari di pesawat, tidak akan cocok diterapkan di pom bensin. Keramahan
pelayanan operator telepon seluler tidak akan cocok dipakai di toko-toko
swalayan berjejaring. Pun dengan keramahan pelayanan di tidak akan cocok
diterapkan di pasar. Karena di tempat-tempat itu, konsumen yang kita hadapi
seringkali terburu-buru. Mereka tidak punya waktu memperhatikan keramahan dan
kelembutan kata-kata kita. Dalam hal ini, jauh lebih efektif jika keramahan
pelayanan itu ditunjukkan dengan bahasa tubuh (gesture), seperti senyum, jabat
tangan, atau sekadar wajah yang ceria. Ini jelas lebih baik dan tidak se-lebay basa-basi
‘sok ramah’ yang kadang membuat ilfil pelanggan—ya seperti di toko-toko
swalayan berjejaring itu. []