Saturday, February 8, 2025

Mie Ayam Pak Yuli di Tengah Kapitalisme Modern



Saya punya warung mie ayam langganan. Mie ayam Pak Yuli namanya. Mie ayam ini terletak di pinggir kota, bersisian dengan jalan kecil yang menghubungkannya dengan jalan provinsi. Lapaknya sederhana. Sebegitu sederhana, sampai algoritma Google Maps tidak selalu merekomendasikannya. Jika bukan karena kebetulan (atau nyasar), tidak akan banyak musafir yang sengaja berkunjung ke lapaknya.

Saya sendiri menemukan lapak Pak Yuli secara kebetulan. Saat itu, saya dan istri sedang mencari tempat rehat setelah perjalanan jauh. Kebetulan, kami melewati lapak Pak Yuli. Sebuah banner bertuliskan: “MIE AYAM INI TIDAK MEMBUKA CABANG”, meyakinkan kami untuk mencobanya.

Mie ayam Pak Yuli terbilang unik. Mienya besar, tebal, dan gurih. Porsinya banyak dan potongan dagingnya melimpah. Berbeda dengan mie ayam lain yang memakai mie kecil-sedang serta suwiran daging yang ‘pelit’. Jika ingin menambah cita rasa, sudah ada saos sambal dan kecap yang rasanya otentik (berbeda dengan yang biasa saya temui di lapak mie ayam lain). Pak Yuli membanderol mie ayam jumbo-nya seharga 12.000 rupiah saja (harga terakhir per 2024 saat saya berkunjung).

Dengan kualitas seperti itu, mie ayam Pak Yuli laris manis. Ia tidak perlu bekerjasama dengan aplikasi daring untuk mempromosikan mie ayamnya. Kualitas produk yang disajikan sudah menjadi magnet kuat yang mengundang lidah konsumen.

Dalam meracik mie, Pak Yuli dibantu istri dan anaknya. Dengan tagline ‘tidak membuka cabang’, terlihat bahwa Pak Yuli hanya mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Padahal, jika melihat kesuksesan lapaknya, Pak Yuli bisa saja membuka cabang di tempat lain demi memaksimalkan keuntungan.

Seperti Mie Gacoan—misalnya. Mie seharga 10 ribuan ini, sudah memiliki ribuan outlet dengan omset triliunan rupiah. Kebanyakan pebisnis kuliner tentu senang memiliki bisnis sesukses Mie Gacoan. Outlet yang banyak dapat memperluas jangkauan pemasaran produk. Profit yang dihasilkan pun menjadi berlipat ganda.

Akan tetapi, roda bisnis Pak Yuli tidak dijalankan dengan napas kapitalisme ekstrem. Sepanjang kunjungan saya, kesederhanaan lapak Pak Yuli menggambarkan gerak bisnisnya yang sederhana. Ia tidak muluk-muluk berbisnis demi menumpuk profit semata—seperti idiom kapitalisme ekstrem. Sebagai pedagang, Pak Yuli tidak naif. Ia juga berdagang demi memperoleh untung. Terbukti, ia beberapa kali mengubah (menaikkan) harga ketika kondisi mengharuskannya. Profit tetap penting, tapi tidak selalu yang terpenting. Alih-alih keberlanjutan bisnislah yang jauh lebih penting.

Saya yakin, Pak Yuli juga paham bahwa mempertahankan bisnis kuliner tidak mudah. Ia sudah sukses menggaet konsumen dengan produk yang berkualitas. Porsi mi ayam jumbo dengan potongan daging melimpah dan harga bersahabat, mengundang pelanggan untuk datang lagi. Tugas Pak Yuli selanjutnya adalah mempertahankan konsumennya agar tidak ‘kapok’.

Dalam bisnis kuliner, formulasi bahan dan resep harus konsisten demi cita rasa. Tidak sembarang orang bisa memasak atau mengolah mie ayam seperti Pak Yuli. Itu sebabnya, sangat beralasan jika ia mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Hal ini penting untuk menjaga konsistensi kualitas produknya—mungkin juga demi menjaga resep keluarga. Jika kualitas produknya tidak dijaga, pelanggannya yang akan pergi.

Dari lapak Pak Yuli yang sederhana, saya melihat bisnis mie ayamnya sebagai antitesis dari kapitalisme ekstrem. Ketika pebisnis lain jungkir balik mengejar profit secara eksponensial, Pak Yuli justru mantap ‘berjalan santai’ menjemput profit. Ketika pebisnis lain menggaet konsumen dengan promo-promo irasional, Pak Yuli memilih konsisten menjaga kualitas produk demi kepuasan pelanggannya.

Sebagai pebisnis, Pak Yuli juga seorang kapitalis. Namun ia tidak menjalankan bisnisnya dengan napas kapitalisme ekstrem. Andai Pak Yuli menganut kapitalisme ekstrem, ia akan segera membuka lapak baru. Karyawan-karyawan berusia muda yang bisa diupah ‘murah’ akan direkrut. Jika sudah lelah, karyawan tadi bisa berhenti (bahkan) tanpa pesangon. Supplier bahan bakunya akan ditambah agar mie ayamnya selalu tersedia. Pak Yuli mungkin tertarik menunjuk tenaga profesional untuk menjadi direktur cabang agar ia dan keluarga bisa pergi berlibur menikmati saldo ATM yang bertambah otomatis.

Tidak ada salahnya jika Pak Yuli mencoba menjalankan bisnisnya seperti itu. Namun, entah mengapa Pak Yuli tetap konsisten dengan tagline tidak membuka cabang” serta prinsip “manajemen bisnis berbasis keluarga”.

Asumsi saya, Pak Yuli bukan tipe pebisnis yang ‘tegaan’. Ia bisa saja melipatgandakan profitnya dengan lapak yang bercabang dan karyawan yang lebih banyak. Namun ia lebih memilih ‘mengambil laba secukupnya’. Ia mungkin sungkan, jika sampai memecat orang ketika bisnisnya sedang tidak baik. Ia mungkin cemas, jika keberlanjutan bisnisnya dipertaruhkan dengan menunjuk orang baru di luar keluarga inti untuk mengelola bisnis.

Realitasnya, kapitalisme ekstrem memang memiliki sisi gelap. Eksploitasi buruh, upah yang tidak layak, perusakan lingkungan, sampai ‘tindak licik’ di luar hukum demi monopoli, adalah segelintir di antaranya. Semua cara akan dihalalkan demi perolehan profit tanpa melihat efek domino dari keputusan bisnisnya.

Dunia bisnis juga memiliki etika. Ketika sebuah korporasi bisnis mencari untung dengan melanggar etika, pada akhirnya, ia tidak hanya merugikan bisnisnya sendiri. Korporasi bisnis lain, konsumen, dan masyarakat luas bisa saja terkena dampak latennya.

Ketika seorang pedagang bakso kedapatan memakai daging babi berformalin, pedagang bakso di sekitarnya bisa ikut kehilangan pembeli. Padahal pedagang bakso lain sudah berbisnis dengan jujur. Begitu juga dengan pengusaha startup nakal yang memanipulasi keuntungan demi menggaet investor. Ketika perusahaan startup itu mengalami fraud, perusahaan startup sejenis lainnya bisa ikut merugi karena kehilangan minat investor. Padahal perusahaan startup lain sudah berbisnis dengan jujur.

Di tengah hirup-pikuk kapitalisme ekstrem, Pak Yuli sedang mengaduk-aduk mie di lapaknya. Sebuah mangkuk bergambar ayam jago disiapkan. Irisan daging ayam yang gurih ditabur menutupi mie yang sudah matang. Semangkuk mie ayam sarat cita rasa terhidang.

Dari ketuk sumpit dan cecap pelanggannya, cerita kuliner tentang mie ayam Pak Yuli beredar. Aroma dan cita rasanya yang otentik, mengundang pelanggan untuk datang kembali. Semua itu menjadi ‘penglaris alami’ bagi Pak Yuli. Di balik kesederhanaan lapaknya, mie ayam Pak Yuli mengajarkan bahwa bisnis tidak selamanya tentang profit dan kekayaan. Bisnis yang dijalankan dengan etis, mengajarkan pada kita tentang esensi hidup yang sederhana, penuh rasa, dan jauh dari kerakusan materialisme. Itulah bisnis yang akan meninggalkan jejak kebaikan yang nilai kebermanfaatannya akan selalu dirasakan oleh banyak orang.[]

February 08, 2025Benny Prastawa

Saturday, January 4, 2025

Konten Youtube Tempo Dulu


 

The World’s Most Amazing Videos adalah salah satu reality show terbaik yang pernah saya tonton di televisi. Acara tersebut menampilkan kompilasi video berisi adegan-adegan yang mencekam dan menegangkan. Kebakaran besar, ledakan gas, kecelakaan yang hampir fatal, dan momen-momen penyelamatan dramatis, adalah contoh video yang sering ditayangkan. Bagian terbaiknya, setiap video yang disiarkan adalah video asli yang terekam kamera—tanpa gimmick dan tanpa script apapun.

The World’s Most Amazing Videos (selanjutnya saya singkat TWMAV) disiarkan di TV nasional sekitar tahun 2000-an. Saat itu, internet masih “bayi” dan ponsel masih menjadi barang mewah. Karenanya, bagi masyarakat awam, semua klip di acara TWMAV terasa sangat nyata dan mengundang antusiasme tinggi karena baru pertama kali ditonton.

Membahas TWMAV membuat saya teringat pada masa-masa awal Youtube. Jangan dibayangkan Youtube generasi pertama langsung penuh algoritma, FYP, dan cuan dari adsense. Saat itu, Youtube masih menjadi platform video eksklusif. Infrastruktur internet belum sebesar sekarang dan koneksinya terbatas pada jaringan 3G. Karena itu, hanya orang-orang yang memiliki privilege media dan koneksi internet saja yang bisa membuat konten di Youtube.

Keterbatasan infrastruktur internet secara tidak langsung mendorong content creator untuk bersikap selektif di Youtube. Mereka cenderung mengunggah video yang benar-benar organik, bernilai, dan mengundang perhatian orang banyak. Jika itu video lucu, ya memang lucu sekali videonya. Jika itu video absurd, ya memang absurd sekali klipnya. Sesederhana itu.

Salah satu video viral pada masa awal Youtube adalah “Charlie Bit My Finger”. Video yang diunggah pada tahun 2007 itu menjadi viral berkat kelucuan dan kesederhanannya. Dalam video berdurasi 56 detik itu, seorang bayi bernama Charlie menggigit jari kakaknya yang kemudian mengeluh dengan ekspresi lucu “Charlie bit me! That really hurt…”—kira-kira begitu nuansa dialognya.

Video seperti Charlie tadi menjadi gambaran umum konten Youtube generasi pertama. Video-video yang lahir dari spontanitas sehari-hari, tanpa script dan gimmick, selalu terlihat alami dan—seringkali—lebih memiliki nilai (values).

Hal ini jauh berbeda dengan wajah Youtube hari ini yang dibanjiri konten produksi profesional setara dengan kualitas siaran langsung TV Swasta berbayar! Content creator Youtube hari ini sangat mudah membuat video memasak mi instan dengan resolusi 1080p (FullHD).

Pembangunan infrastruktur internet global yang masif memungkinkan transfer data dengan kapasitas yang semakin besar dan semakin cepat. Hal ini sangat mendukung pengembangan platform besar seperti Youtube. Dulu, orang bisa menghabiskan berjam-jam untuk sekedar mengunggah video 2-3 menit—itu pun dengan kualitas pixelated 240-360p atau malah lebih buram. Tapi, kini, mengunggah video serupa dengan resolusi lebih baik bisa dilakukan dalam hitungan detik!

Pada akhirnya, kita bisa melihat wajah Youtube hari ini yang modern, glamour, dan memanjakan dopamin di otak. Youtube sudah sempurna menjadi industri raksasa dengan valuasi mencapai ratusan miliar dollar. Tidak mengherankan jika semakin banyak orang yang tertarik menjadi content creator Youtube karena tergiur cuan di dalamnya.

Sayangnya, kemudahan dan kemewahan ini membuat Youtube kebanjiran konten video. Semua jenis video bisa diunggah tanpa moderasi responsibilitas yang memadai. Video organik seperti video Charlie, sudah tidak relevan dengan standar selera penonton Youtube hari ini. Jika video Charlie diunggah hari ini, jumlah viewers-nya mungkin tidak akan mencapai angka 1000 (kecuali memang sengaja diviralkan).

Kehadiran fitur Shorts (video pendek) juga mempercepat banjir informasi di Youtube. Kita semakin kehilangna kontrol untuk membedakan mana konten yang perlu dan mana konten yang tidak perlu. Bahkan dengan sekali usap, kita sudah lupa konteks video sebelumnya.

Melihat realitas ini, ada remah-remah nostalgia dengan wajah Youtube tempo dulu. Ketika sebuah video diproduksi dengan spontanitas organik yang relatable dengan keseharian, kita akan lebih mudah melihat nilai kebermaknaan dari konten tersebut. Namun dengan begitu banyaknya script, gimmick, dan setting-an yang mewarnai konten Youtube hari ini, kita semakin kesulitan membedakan konten yang bermakna dan konten yang biasa.

Beruntung, masih banyak content creator yang rutin mengunggah video di Youtube dengan tujuan edukasi. Di tengah banjir informasi yang semakin meluap, konten-konten edukasi ini berperan penting dalam menyelamatkan otak penonton agar tetap waras.

Ironisnya, luapan informasi yang tak terbendung membuat penonton Youtube semakin tersegmentasi. Konten berisi hiburan dan kejenakaan menjadi daya tarik yang sulit ditolak karena efektivitasnya dalam merangsang dopamin di otak. Akibatnya, konten-konten edukasi (yang sebenarnya sudah dikemas dengan sangat menarik) menjadi tenggelam karena algoritma Youtube seringkali mengedepankan konten yang memiliki trafik lebih tinggi.

Saya pribadi lebih menikmati konten tekstual di internet daripada konten audio-visual yang disajikan platform seperti Youtube. Membaca situs-situs berita dan tulisan inspiratif yang dikemas dalam gaya penulisan indepth masih menjadi favorit saya. Dalam konten tekstual, saya bisa menyesuaikan kecepatan pemahaman konteks tulisan sesuai dengan preferensi saya. Hal ini tidak bisa saya lakukan pada konten di Youtube yang cenderung mengkondisikan kita sebagai penonton pasif. Sebegitu pasifnya sampai-sampai kita lebih sibuk membaca komentar daripada menyimak konten videonya.

Akhirnya, Youtube tempo dulu dengan video Charlie Bit My Finger menjadi pengingat, bahwa sesuatu yang lahir dari spontanitas yang organik seringkali menghasilkan nilai-nilai yang lebih bermakna. Hal-hal sederhana dari keseharian kita, sebenarnya sudah cukup banyak memberi pelajaran, andai kita memiliki sedikit kepekaan untuk memaknainya. Karena sejujurnya, di tengah lautan informasi artifisial di internet, saya khawatir manusia akan semakin tenggelam dan kehilangan cara untuk menggali kebermaknaan dalam perjalanan hidupnya yang fana ini.[]

January 04, 2025Benny Prastawa

Sunday, December 1, 2024

Jejak Sejarah Manusia Modern

Salah satu kegelisahan saya tentang dinamika peradaban manusia modern adalah hilangnya eksistensi dan jejak sejarah manusia itu sendiri. Kehadiran internet memungkinkan setiap manusia memiliki ruang publikasi nirbatas bernama media sosial. Namun dari sekian banyak konten yang diunggah—atau mungkin dipamerkan—apakah semua itu termasuk jejak sejarah yang memiliki nilai utilitas bagi generasi selanjutnya?

Peradaban manusia zaman kuno bisa kita ketahui dari artefak agung yang ditinggalkannya. Piramida Ginza, Taj Mahal, Candi Borobudur, dan Kuburan Tentara Terakota, adalah contoh artefak monumental karya peradaban masa lampau. Dari sana, manusia masa kini bisa menggali banyak informasi dari peradaban masa lampau.

Sayangnya, manusia modern dengan segala kecanggihan teknologi yang diciptakannya, seperti kehilangan arah dalam menciptakan warisan peradaban yang memiliki nilai utilitas bagi generasi selanjutnya. Manusia modern memang masih mampu membuat gedung super tinggi seperti Burj Khalifa. Manusia modern juga masih mampu membuat kecerdasan buatan yang serba tahu, hingga mempermudah banyak urusan manusia.

Namun, nilai utilitas apa yang akan manusia modern tinggalkan dengan segala kecanggihan teknologi kontemporer yang mereka ciptakan?

Manusia modern yang cerdas menciptakan media sosial, namun mengalami banyak masalah mental karenanya. Manusia modern memprogram kecerdasan buatan, namun keberadaannya malah memicu ketergantungan dan kemalasan. Manusia modern memiliki ponsel pintar dengan akses internet ultra cepat (5G), namun selalu bingung mencari foto-foto penting di galeri. Manusia modern membangun gedung pencakar langit, namun ketimpangan sosial di sekitarnya masih terus terjadi.

Memang ada segelintir manusia yang dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menunjang produktivitas lalu menghasilkan karya-karya yang memiliki nilai utilitas. Sayangnya, ada jauh lebih banyak manusia modern yang diperbudak oleh kecanggihan teknologi hingga sulit memaknai apa yang benar-benar penting bagi kehidupannya.

Pada akhirnya, sampailah manusia modern pada peradaban penuh dopamin dengan tujuan sederhana: menyenangkan diri selama mungkin.

Implikasinya, segala kecanggihan teknologi diarahkan algoritma untuk mempermudah manusia modern dalam mencari kesenangan. Kesenangan telah menjadi berhala baru bagi manusia modern. Video-video konyol, game, lagu, sampai tren-tren absurd terus diproduksi agar manusia modern terbiasa dengan nuansa kesenangan. Dengan kesenangan artifisial tersebut, otak akan mengeluarkan hormon dopamin yang memicu perasaan nyaman dan lega. Itu sebabnya, manusia modern tidak akan berhenti “memberhalakan kesenangan” karena mereka menginginkan efek dopamin tersebut.

Sampai kemudian, tiba waktunya bagi manusia modern itu meninggal. Tubuh jasmaninya dikuburkan dan ruhnya pergi menuju alam baka. Manusia modern yang masih hidup tidak bisa berkomunikasi lagi dengan mereka yang sudah meninggal. Yang tersisa hanya jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan.

Namun apa jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan manusia modern? Video-video konyol bersama kucing kesayangan? Foto selfie dengan puluhan filter? Komentar penuh makian pada pejabat yang korup? Atau hutang-hutang yang menggunung, karena perilaku konsumtif demi validasi sosial?

Ketika manusia modern meninggal, berapa banyak di antara mereka yang sempat meninggalkan “jejak-jejak sejarah”? Boleh jadi, generasi yang akan datang tidak sempat tahu siapa mereka dan apa jasa mereka semasa hidup. Nisan-nisan di pemakaman menjadi satu-satunya artefak yang mereka tinggalkan, dan satu-satunya informasi penting yang ditinggalkan hanyalah tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

Berapa banyak yang bisa kita pelajari dari media sosial, foto, ponsel pintar, catatan, atau jejak-jejak digital lain yang sempat didokumentasikan manusia modern semasa hidupnya? Apakah semua itu bermanfaat atau tidak lebih dari setumpuk sampah belaka? Ketika kelak kita meninggal, jejak-jejak sejarah kitalah yang akan tertinggal di dunia. Ada baiknya, kita mulai bersikap bijak dalam menulis jejak-jejak sejarah yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya.[]

December 01, 2024Benny Prastawa

Friday, November 15, 2024

Rumus Kerja Keras dan Kekayaan


Apakah kerja keras adalah kunci sukses menuju kekayaan? Tentu saja, YA. Tapi, kerja keras bukan satu-satunya cara.

 

Ketika kita berbicara tentang kekayaan, ada banyak faktor yang saling mempengaruhi dan ada lebih banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk melihatnya. Kita tidak akan sampai pada pemahaman yang utuh tentang kekayaan jika hanya memakai satu sudut pandang—karena akan kalian temui banyak pertentangan/kontradiksi setelahnya.

 

Misalnya, jika saya mengatakan kerja keras adalah kunci menuju kekayaan, kalian bisa langsung 'menyangkal' dengan menyodorkan realitas ada banyak orang yang tampak bekerja keras banting-tulang dari subuh hingga larut malam tapi tidak kunjung kaya. Sementara ada segelintir orang yang sepertinya malas-malasan, sering bangun kesiangan, kerja sesukanya, tidak pernah diburu waktu ke kantor, tapi penghasilannya berlipat-lipat digit nol-nya.

 

Artinya, kerja keras memang bukanlah satu-satunya cara untuk menjadi kaya. Kerja keras harus dipahami sebagai sebuah sikap atau mentalitas yang bisa membuat orang menjadi kaya, bukan sebuah prasyarat mutlak yang jika dikerjakan akan langsung membuat orang menjadi kaya.

 

Memang ada orang yang kaya raya meski tampaknya bekerja biasa-biasa atau malah terkesan malas-malasan. Tapi, ada lebih banyak orang yang menjadi kaya karena KERJA KERAS—yang telah dilakukannya sebelumnya. Hal terakhir inilah yang sering luput dari perhatian kita.

 

Kita tidak pernah benar-benar mengikuti perjalanan hidup Si Kaya itu. Kita hanya bisa melihat sisi luar kekayaannya saja. Mungkin dari megah rumahnya, banyak mobilnya, meriah pestanya, frekuensi liburannya, bagus bajunya, montok anak-anaknya, atau atribut kemakmuran lain yang kasat mata.

 

Kita mungkin mengabaikan fakta, bahwa dulunya, Si Kaya itu juga pernah mengalami fase kerja keras banting-tulang dari pagi hingga malam, sebelum sukses meraih kekayaannya saat ini. Kita hanya tertarik melihat produk akhir kekayaannya, tapi mengabaikan serangkaian proses yang mendahuluinya.

 

Orang kaya yang memiliki mentalitas kerja keras, akan lebih survive menghadapi perubahan zaman dibanding orang kaya yang malas, yang hanya mengandalkan warisan, keberuntungan, atau ketergantungan pada keahlian orang lain.

 

Sebagai contoh, ada dua karyawan yang bekerja di sebuah biro jasa wisata, karyawan A dan karyawan B. Keduanya sama-sama memperoleh gaji yang besar karena biro jasa wisata tempat mereka bekerja sangat laris.

 

Bedanya, karyawan A memiliki keahlian yang lebih unggul dibandingkan karyawan B. Karyawan A juga selalu bekerja keras dan meningkatkan skill-nya dibanding karyawan B yang lebih suka malas-malasan dan bekerja seenaknya. Karyawan B merasa aman dari pemecatan karena pimpinan biro jasa wisata itu masih terhitung saudara ayahnya.

 

Tiba-tiba, datanglah pandemi COVID-19. Pemerintah memberlakukan pembatasan perjalanan dan lockdown. Mobilitas masyarakat menjadi berkurang. Kegiatan pariwisata lokal dan internasional pun lumpuh seketika.

 

Biro jasa wisata tadi juga terkena imbasnya lalu mengalami kebangkrutan. Pimpinan biro yang masih saudara ayah karyawan B tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan bisnisnya. Karyawan A dan karyawan B pun sama-sama kehilangan pekerjaannya.

 

Di tengah-tengah krisis akibat pandemi, karyawan A menggunakan keahliannya untuk membuka bisnis sendiri dari rumah. Awalnya memang tidak mudah. Tapi, dengan mentalitas kerja keras yang dimiliki, karyawan A sukses membuat bisnisnya berkembang dan membuat kekayaannya bertahan.

 

Berbeda dengan karyawan B yang gemar bekerja seenaknya. Karena selama ini kekayaannya tidak ditopang oleh keahlian yang cukup, ditambah lagi pendapatannya tertolong oleh unsur nepotisme/ketergantungan pada orang lain, karyawan B kesulitan untuk tetap bertahan di tengah krisis. Mentalitas karyawan B yang enggan bekerja keras, memperkeruh krisis yang dialaminya. Ia pun kesulitan untuk mempertahankan kekayaannya.

 

Ilustrasi cerita ini hanya gambaran untuk menunjukkan bahwa JANGAN PERNAH MEREMEHKAN KERJA KERAS SIAPAPUN.

 

Kerja keras memang bukan satu-satunya kunci dan syarat penentu kekayaan. Tapi orang kaya yang tetap mau bekerja keras, lebih mungkin mempertahankan kekayaannya di tengah perubahan zaman yang bagaimanapun juga.

 

Lebih-lebih, bagi mereka yang merasa belum kaya—kerja keras adalah pilihan paling realistis agar selangkah lebih dekat menuju kekayaan. Kerja keras saja memang belum tentu akan membawa kita pada raihan kekayaan tertentu. Tapi, kerja keras adalah sikap yang jauh lebih terhormat daripada bermalas-malasan.

 

Terlepas dari semua itu, tidaklah bijak jika kita selalu mengukur nilai kerja keras dari raihan materi atau kekayaan semata. Tidak adil jika kita memandang mereka yang berhasil mengumpulkan lebih banyak uang sebagai orang yang lebih mulia kerja kerasnya. Sementara mereka yang mendapat lebih sedikit uang—meski telah gigih bekerja keras—kita anggap remeh tanpa penghargaan apapun.

 

Pasti ada balasan terbaik bagi orang-orang yang tetap gigih bekerja keras meski imbal materi yang diterimanya belum sesuai ekspektasi matematisnya. Tentunya, selama kerja keras itu bertujuan positif, ditempuh dengan cara-cara yang baik, dan dilakukan dengan sepenuh keikhlasan.


Semesta menjadi saksi bagi manusia-manusia yang tetap ikhlas bekerja keras. Dan biarkan Tuhan Yang Maha Pemurah yang memberi ganjaran terbaik bagi mereka.[]



-backdate-

November 15, 2024Benny Prastawa

Saturday, October 5, 2024

Bisnis Humanis di Bengkel Mobil


Ada sebuah bengkel mobil, sebut saja bengkel Mas Takur. Bengkel ini masih baru, tapi sudah ramai pelanggannya.Mas Takur selaku pemilik bengkel masih muda. Ia bekerja bersama 4 karyawannya.

Meski memiliki karyawan, Mas Takur selalu terlihat di bengkel. Ia bukan tipe bos yang “cuma nyuruh”. Sebisa mungkin, Mas Takur selalu membantu mengerjakan order pelanggannya.

Sekali waktu, anak Pak Takur datang ke bengkel. Usianya sekitar 4 tahun. Pak Takur tidak menyuruh anaknya pergi. Ia malah membiarkan anaknya membantu karyawannya mencuci mobil pelanggan. Namanya juga anak-anak. Daripada bermain seenaknya, lebih baik “bermain” sambil melatih mental bekerja—mungkin begitu pikir Mas Takur.

Bengkel Mas Takur enggan menggetok harga. Ia selalu transparan jika ditanya soal harga. Pelanggan bisa mengkontak Mas Takur untuk mendiskusikan perkiraan ongkosnya sebelum datang ke bengkelnya. Jika pelanggan membutuhkan servis lain, Mas Takur tidak ragu merekomendasikan bengkel lain yang lebih ahli.

Tidak heran jika bengkel Mas Takur cepat ramai. Pelayanan dan perhatiannya pada kepuasan pelanggan selalu diutamakan. Mas Takur juga sportif. Jika bengkelnya tidak mampu menangani, ia berani merekomendasikan bengkel lain. Mas Takur seperti tidak takut kehilangan pelanggan. Ia hanya fokus membantu dan mempermudah urusan pelanggannya.

Dalam dunia bisnis yang kompetitif, “monopoli” adalah target penting. Ketika suatu bisnis bisa mendominasi pasar dan aliran modal, mereka bisa terus memperbanyak profit. Sayangnya, mindset mengejar profit dan hasrat memonopoli seringkali tidak diimbangi dengan perbaikan pelayanan.

Banyak pebisnis yang pandai menekan harga, tapi tidak tahu cara melayani pelanggan. Banyak pula pebisnis yang cerdas membuat produk, tapi rajin menggetok harga.

Dunia bisnis memang penuh spekulasi dan fluktuasi. Hari ini, orderan bisa ramai. Di hari lain, orderan bisa sepi. Segala barang/jasa yang dapat mempermudah urusan konsumen dan membantu mengatasi kesulitannya akan selalu dicari. Kualitas layanan demi kepuasan pelanggan—seperti yang ditunjukkan Mas Takur—adalah Kartu As yang bisa menjaga kelangsungan bisnis.

Selain itu, bengkel Mas Takur juga mengajarkan pentingnya menjadi boss tanpa mental “bossy”. Pemilik bisnis yang tidak malu bekerja bersama karyawannya, tentu lebih disenangi daripada pemilik bisnis yang kerjanya menyuruh-nyuruh.

Bukan berarti semua pemilik bisnis harus ikut bekerja di lapangan. Poin pentingnya adalah perhatian dan penghargaan pemilik bisnis pada karyawan. Dua hal tersebut bisa berdampak positif bagi produktivitas kerja karyawan.

Dunia bisnis memang penuh spekulasi dan fluktuasi. Meski begitu, bisnis yang humanis, yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dan karyawan, lebih berpeluang untuk bertahan dan berkembang.

Bisnis yang humanis tidak berhulu dari hasrat kapitalis. Ia berangkat dari keyakinan bahwa profit selalu bisa diraih dengan jalan memanusiakan manusia—alih-alih mengeksploitasinya. Masyarakat kita membutuhkan lebih banyak bisnis yang humanis agar perekonomian terhindar dari krisis. Dari bengkel Mas Takur, saya mulai memahami pelajaran penting ini.[]


-backdate-

October 05, 2024Benny Prastawa