The World’s
Most Amazing Videos
adalah salah satu reality show terbaik
yang pernah saya tonton di televisi. Acara tersebut menampilkan kompilasi video
berisi adegan-adegan yang mencekam dan menegangkan. Kebakaran besar, ledakan
gas, kecelakaan yang hampir fatal, dan momen-momen penyelamatan dramatis,
adalah contoh video yang sering ditayangkan. Bagian terbaiknya, setiap video
yang disiarkan adalah video asli yang terekam kamera—tanpa gimmick dan tanpa script apapun.
The World’s Most Amazing Videos (selanjutnya saya singkat TWMAV) disiarkan di TV nasional sekitar tahun 2000-an. Saat itu, internet masih “bayi” dan ponsel masih menjadi barang mewah. Karenanya, bagi masyarakat awam, semua klip di acara TWMAV terasa sangat nyata dan mengundang antusiasme tinggi karena baru pertama kali ditonton.
Membahas TWMAV membuat saya teringat pada masa-masa awal Youtube. Jangan dibayangkan Youtube generasi pertama langsung penuh algoritma, FYP, dan cuan dari adsense. Saat itu, Youtube masih menjadi platform video eksklusif. Infrastruktur internet belum sebesar sekarang dan koneksinya terbatas pada jaringan 3G. Karena itu, hanya orang-orang yang memiliki privilege media dan koneksi internet saja yang bisa membuat konten di Youtube.
Keterbatasan infrastruktur internet secara tidak langsung mendorong content creator untuk bersikap selektif di Youtube. Mereka cenderung mengunggah video yang benar-benar organik, bernilai, dan mengundang perhatian orang banyak. Jika itu video lucu, ya memang lucu sekali videonya. Jika itu video absurd, ya memang absurd sekali klipnya. Sesederhana itu.
Salah satu video viral pada masa awal Youtube adalah “Charlie Bit My Finger”. Video yang diunggah pada tahun 2007 itu menjadi viral berkat kelucuan dan kesederhanannya. Dalam video berdurasi 56 detik itu, seorang bayi bernama Charlie menggigit jari kakaknya yang kemudian mengeluh dengan ekspresi lucu “Charlie bit me! That really hurt…”—kira-kira begitu nuansa dialognya.
Video seperti Charlie tadi menjadi gambaran umum konten Youtube generasi pertama. Video-video yang lahir dari spontanitas sehari-hari, tanpa script dan gimmick, selalu terlihat alami dan—seringkali—lebih memiliki nilai (values).
Hal ini jauh berbeda dengan wajah Youtube hari ini yang dibanjiri konten produksi profesional setara dengan kualitas siaran langsung TV Swasta berbayar! Content creator Youtube hari ini sangat mudah membuat video memasak mi instan dengan resolusi 1080p (FullHD).
Pembangunan infrastruktur internet global yang masif memungkinkan transfer data dengan kapasitas yang semakin besar dan semakin cepat. Hal ini sangat mendukung pengembangan platform besar seperti Youtube. Dulu, orang bisa menghabiskan berjam-jam untuk sekedar mengunggah video 2-3 menit—itu pun dengan kualitas pixelated 240-360p atau malah lebih buram. Tapi, kini, mengunggah video serupa dengan resolusi lebih baik bisa dilakukan dalam hitungan detik!
Pada akhirnya, kita bisa melihat wajah Youtube hari ini yang modern, glamour, dan memanjakan dopamin di otak. Youtube sudah sempurna menjadi industri raksasa dengan valuasi mencapai ratusan miliar dollar. Tidak mengherankan jika semakin banyak orang yang tertarik menjadi content creator Youtube karena tergiur cuan di dalamnya.
Sayangnya, kemudahan dan kemewahan ini membuat Youtube kebanjiran konten video. Semua jenis video bisa diunggah tanpa moderasi responsibilitas yang memadai. Video organik seperti video Charlie, sudah tidak relevan dengan standar selera penonton Youtube hari ini. Jika video Charlie diunggah hari ini, jumlah viewers-nya mungkin tidak akan mencapai angka 1000 (kecuali memang sengaja diviralkan).
Kehadiran fitur Shorts (video pendek) juga mempercepat banjir informasi di Youtube. Kita semakin kehilangna kontrol untuk membedakan mana konten yang perlu dan mana konten yang tidak perlu. Bahkan dengan sekali usap, kita sudah lupa konteks video sebelumnya.
Melihat realitas ini, ada remah-remah nostalgia dengan wajah Youtube tempo dulu. Ketika sebuah video diproduksi dengan spontanitas organik yang relatable dengan keseharian, kita akan lebih mudah melihat nilai kebermaknaan dari konten tersebut. Namun dengan begitu banyaknya script, gimmick, dan setting-an yang mewarnai konten Youtube hari ini, kita semakin kesulitan membedakan konten yang bermakna dan konten yang biasa.
Beruntung, masih banyak content creator yang rutin mengunggah video di Youtube dengan tujuan edukasi. Di tengah banjir informasi yang semakin meluap, konten-konten edukasi ini berperan penting dalam menyelamatkan otak penonton agar tetap waras.
Ironisnya, luapan informasi yang tak terbendung membuat penonton Youtube semakin tersegmentasi. Konten berisi hiburan dan kejenakaan menjadi daya tarik yang sulit ditolak karena efektivitasnya dalam merangsang dopamin di otak. Akibatnya, konten-konten edukasi (yang sebenarnya sudah dikemas dengan sangat menarik) menjadi tenggelam karena algoritma Youtube seringkali mengedepankan konten yang memiliki trafik lebih tinggi.
Saya pribadi lebih menikmati konten tekstual di internet daripada konten audio-visual yang disajikan platform seperti Youtube. Membaca situs-situs berita dan tulisan inspiratif yang dikemas dalam gaya penulisan indepth masih menjadi favorit saya. Dalam konten tekstual, saya bisa menyesuaikan kecepatan pemahaman konteks tulisan sesuai dengan preferensi saya. Hal ini tidak bisa saya lakukan pada konten di Youtube yang cenderung mengkondisikan kita sebagai penonton pasif. Sebegitu pasifnya sampai-sampai kita lebih sibuk membaca komentar daripada menyimak konten videonya.
Akhirnya, Youtube tempo dulu dengan video Charlie Bit My Finger menjadi pengingat, bahwa sesuatu yang lahir dari spontanitas yang organik seringkali menghasilkan nilai-nilai yang lebih bermakna. Hal-hal sederhana dari keseharian kita, sebenarnya sudah cukup banyak memberi pelajaran, andai kita memiliki sedikit kepekaan untuk memaknainya. Karena sejujurnya, di tengah lautan informasi artifisial di internet, saya khawatir manusia akan semakin tenggelam dan kehilangan cara untuk menggali kebermaknaan dalam perjalanan hidupnya yang fana ini.[]