Saya punya warung mie ayam langganan. Mie ayam Pak
Yuli namanya. Mie ayam ini terletak di pinggir kota, bersisian dengan jalan
kecil yang menghubungkannya dengan jalan provinsi. Lapaknya sederhana. Sebegitu
sederhana, sampai algoritma Google Maps tidak selalu merekomendasikannya.
Jika bukan karena kebetulan (atau nyasar), tidak akan banyak musafir
yang sengaja berkunjung ke lapaknya.
Saya sendiri menemukan lapak Pak Yuli secara kebetulan. Saat itu, saya dan istri sedang mencari tempat rehat setelah perjalanan jauh. Kebetulan, kami melewati lapak Pak Yuli. Sebuah banner bertuliskan: “MIE AYAM INI TIDAK MEMBUKA CABANG”, meyakinkan kami untuk mencobanya.
Mie ayam Pak Yuli terbilang unik. Mienya besar, tebal, dan gurih. Porsinya banyak dan potongan dagingnya melimpah. Berbeda dengan mie ayam lain yang memakai mie kecil-sedang serta suwiran daging yang ‘pelit’. Jika ingin menambah cita rasa, sudah ada saos sambal dan kecap yang rasanya otentik (berbeda dengan yang biasa saya temui di lapak mie ayam lain). Pak Yuli membanderol mie ayam jumbo-nya seharga 12.000 rupiah saja (harga terakhir per 2024 saat saya berkunjung).
Dengan kualitas seperti itu, mie ayam Pak Yuli laris manis. Ia tidak perlu bekerjasama dengan aplikasi daring untuk mempromosikan mie ayamnya. Kualitas produk yang disajikan sudah menjadi magnet kuat yang mengundang lidah konsumen.
Dalam meracik mie, Pak Yuli dibantu istri dan anaknya. Dengan tagline ‘tidak membuka cabang’, terlihat bahwa Pak Yuli hanya mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Padahal, jika melihat kesuksesan lapaknya, Pak Yuli bisa saja membuka cabang di tempat lain demi memaksimalkan keuntungan.
Seperti Mie Gacoan—misalnya. Mie seharga 10 ribuan ini, sudah memiliki ribuan outlet dengan omset triliunan rupiah. Kebanyakan pebisnis kuliner tentu senang memiliki bisnis sesukses Mie Gacoan. Outlet yang banyak dapat memperluas jangkauan pemasaran produk. Profit yang dihasilkan pun menjadi berlipat ganda.
Akan tetapi, roda bisnis Pak Yuli tidak dijalankan dengan napas kapitalisme ekstrem. Sepanjang kunjungan saya, kesederhanaan lapak Pak Yuli menggambarkan gerak bisnisnya yang sederhana. Ia tidak muluk-muluk berbisnis demi menumpuk profit semata—seperti idiom kapitalisme ekstrem. Sebagai pedagang, Pak Yuli tidak naif. Ia juga berdagang demi memperoleh untung. Terbukti, ia beberapa kali mengubah (menaikkan) harga ketika kondisi mengharuskannya. Profit tetap penting, tapi tidak selalu yang terpenting. Alih-alih keberlanjutan bisnislah yang jauh lebih penting.
Saya yakin, Pak Yuli juga paham bahwa mempertahankan bisnis kuliner tidak mudah. Ia sudah sukses menggaet konsumen dengan produk yang berkualitas. Porsi mi ayam jumbo dengan potongan daging melimpah dan harga bersahabat, mengundang pelanggan untuk datang lagi. Tugas Pak Yuli selanjutnya adalah mempertahankan konsumennya agar tidak ‘kapok’.
Dalam bisnis kuliner, formulasi bahan dan resep harus konsisten demi cita rasa. Tidak sembarang orang bisa memasak atau mengolah mie ayam seperti Pak Yuli. Itu sebabnya, sangat beralasan jika ia mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Hal ini penting untuk menjaga konsistensi kualitas produknya—mungkin juga demi menjaga resep keluarga. Jika kualitas produknya tidak dijaga, pelanggannya yang akan pergi.
Dari lapak Pak Yuli yang sederhana, saya melihat bisnis mie ayamnya sebagai antitesis dari kapitalisme ekstrem. Ketika pebisnis lain jungkir balik mengejar profit secara eksponensial, Pak Yuli justru mantap ‘berjalan santai’ menjemput profit. Ketika pebisnis lain menggaet konsumen dengan promo-promo irasional, Pak Yuli memilih konsisten menjaga kualitas produk demi kepuasan pelanggannya.
Sebagai pebisnis, Pak Yuli juga seorang kapitalis. Namun ia tidak menjalankan bisnisnya dengan napas kapitalisme ekstrem. Andai Pak Yuli menganut kapitalisme ekstrem, ia akan segera membuka lapak baru. Karyawan-karyawan berusia muda yang bisa diupah ‘murah’ akan direkrut. Jika sudah lelah, karyawan tadi bisa berhenti (bahkan) tanpa pesangon. Supplier bahan bakunya akan ditambah agar mie ayamnya selalu tersedia. Pak Yuli mungkin tertarik menunjuk tenaga profesional untuk menjadi direktur cabang agar ia dan keluarga bisa pergi berlibur menikmati saldo ATM yang bertambah otomatis.
Tidak ada salahnya jika Pak Yuli mencoba menjalankan bisnisnya seperti itu. Namun, entah mengapa Pak Yuli tetap konsisten dengan tagline “tidak membuka cabang” serta prinsip “manajemen bisnis berbasis keluarga”.
Asumsi saya, Pak Yuli bukan tipe pebisnis yang ‘tegaan’. Ia bisa saja melipatgandakan profitnya dengan lapak yang bercabang dan karyawan yang lebih banyak. Namun ia lebih memilih ‘mengambil laba secukupnya’. Ia mungkin sungkan, jika sampai memecat orang ketika bisnisnya sedang tidak baik. Ia mungkin cemas, jika keberlanjutan bisnisnya dipertaruhkan dengan menunjuk orang baru di luar keluarga inti untuk mengelola bisnis.
Realitasnya, kapitalisme ekstrem memang memiliki sisi gelap. Eksploitasi buruh, upah yang tidak layak, perusakan lingkungan, sampai ‘tindak licik’ di luar hukum demi monopoli, adalah segelintir di antaranya. Semua cara akan dihalalkan demi perolehan profit tanpa melihat efek domino dari keputusan bisnisnya.
Dunia bisnis juga memiliki etika. Ketika sebuah korporasi bisnis mencari untung dengan melanggar etika, pada akhirnya, ia tidak hanya merugikan bisnisnya sendiri. Korporasi bisnis lain, konsumen, dan masyarakat luas bisa saja terkena dampak latennya.
Ketika seorang pedagang bakso kedapatan memakai daging babi berformalin, pedagang bakso di sekitarnya bisa ikut kehilangan pembeli. Padahal pedagang bakso lain sudah berbisnis dengan jujur. Begitu juga dengan pengusaha startup nakal yang memanipulasi keuntungan demi menggaet investor. Ketika perusahaan startup itu mengalami fraud, perusahaan startup sejenis lainnya bisa ikut merugi karena kehilangan minat investor. Padahal perusahaan startup lain sudah berbisnis dengan jujur.
Di tengah hirup-pikuk kapitalisme ekstrem, Pak Yuli sedang mengaduk-aduk mie di lapaknya. Sebuah mangkuk bergambar ayam jago disiapkan. Irisan daging ayam yang gurih ditabur menutupi mie yang sudah matang. Semangkuk mie ayam sarat cita rasa terhidang.
Dari ketuk sumpit dan cecap pelanggannya, cerita kuliner tentang mie ayam Pak Yuli beredar. Aroma dan cita rasanya yang otentik, mengundang pelanggan untuk datang kembali. Semua itu menjadi ‘penglaris alami’ bagi Pak Yuli. Di balik kesederhanaan lapaknya, mie ayam Pak Yuli mengajarkan bahwa bisnis tidak selamanya tentang profit dan kekayaan. Bisnis yang dijalankan dengan etis, mengajarkan pada kita tentang esensi hidup yang sederhana, penuh rasa, dan jauh dari kerakusan materialisme. Itulah bisnis yang akan meninggalkan jejak kebaikan yang nilai kebermanfaatannya akan selalu dirasakan oleh banyak orang.[]
