Saturday, February 8, 2025

Mie Ayam Pak Yuli di Tengah Kapitalisme Modern



Saya punya warung mie ayam langganan. Mie ayam Pak Yuli namanya. Mie ayam ini terletak di pinggir kota, bersisian dengan jalan kecil yang menghubungkannya dengan jalan provinsi. Lapaknya sederhana. Sebegitu sederhana, sampai algoritma Google Maps tidak selalu merekomendasikannya. Jika bukan karena kebetulan (atau nyasar), tidak akan banyak musafir yang sengaja berkunjung ke lapaknya.

Saya sendiri menemukan lapak Pak Yuli secara kebetulan. Saat itu, saya dan istri sedang mencari tempat rehat setelah perjalanan jauh. Kebetulan, kami melewati lapak Pak Yuli. Sebuah banner bertuliskan: “MIE AYAM INI TIDAK MEMBUKA CABANG”, meyakinkan kami untuk mencobanya.

Mie ayam Pak Yuli terbilang unik. Mienya besar, tebal, dan gurih. Porsinya banyak dan potongan dagingnya melimpah. Berbeda dengan mie ayam lain yang memakai mie kecil-sedang serta suwiran daging yang ‘pelit’. Jika ingin menambah cita rasa, sudah ada saos sambal dan kecap yang rasanya otentik (berbeda dengan yang biasa saya temui di lapak mie ayam lain). Pak Yuli membanderol mie ayam jumbo-nya seharga 12.000 rupiah saja (harga terakhir per 2024 saat saya berkunjung).

Dengan kualitas seperti itu, mie ayam Pak Yuli laris manis. Ia tidak perlu bekerjasama dengan aplikasi daring untuk mempromosikan mie ayamnya. Kualitas produk yang disajikan sudah menjadi magnet kuat yang mengundang lidah konsumen.

Dalam meracik mie, Pak Yuli dibantu istri dan anaknya. Dengan tagline ‘tidak membuka cabang’, terlihat bahwa Pak Yuli hanya mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Padahal, jika melihat kesuksesan lapaknya, Pak Yuli bisa saja membuka cabang di tempat lain demi memaksimalkan keuntungan.

Seperti Mie Gacoan—misalnya. Mie seharga 10 ribuan ini, sudah memiliki ribuan outlet dengan omset triliunan rupiah. Kebanyakan pebisnis kuliner tentu senang memiliki bisnis sesukses Mie Gacoan. Outlet yang banyak dapat memperluas jangkauan pemasaran produk. Profit yang dihasilkan pun menjadi berlipat ganda.

Akan tetapi, roda bisnis Pak Yuli tidak dijalankan dengan napas kapitalisme ekstrem. Sepanjang kunjungan saya, kesederhanaan lapak Pak Yuli menggambarkan gerak bisnisnya yang sederhana. Ia tidak muluk-muluk berbisnis demi menumpuk profit semata—seperti idiom kapitalisme ekstrem. Sebagai pedagang, Pak Yuli tidak naif. Ia juga berdagang demi memperoleh untung. Terbukti, ia beberapa kali mengubah (menaikkan) harga ketika kondisi mengharuskannya. Profit tetap penting, tapi tidak selalu yang terpenting. Alih-alih keberlanjutan bisnislah yang jauh lebih penting.

Saya yakin, Pak Yuli juga paham bahwa mempertahankan bisnis kuliner tidak mudah. Ia sudah sukses menggaet konsumen dengan produk yang berkualitas. Porsi mi ayam jumbo dengan potongan daging melimpah dan harga bersahabat, mengundang pelanggan untuk datang lagi. Tugas Pak Yuli selanjutnya adalah mempertahankan konsumennya agar tidak ‘kapok’.

Dalam bisnis kuliner, formulasi bahan dan resep harus konsisten demi cita rasa. Tidak sembarang orang bisa memasak atau mengolah mie ayam seperti Pak Yuli. Itu sebabnya, sangat beralasan jika ia mempercayakan bisnis pada lingkaran keluarga intinya saja. Hal ini penting untuk menjaga konsistensi kualitas produknya—mungkin juga demi menjaga resep keluarga. Jika kualitas produknya tidak dijaga, pelanggannya yang akan pergi.

Dari lapak Pak Yuli yang sederhana, saya melihat bisnis mie ayamnya sebagai antitesis dari kapitalisme ekstrem. Ketika pebisnis lain jungkir balik mengejar profit secara eksponensial, Pak Yuli justru mantap ‘berjalan santai’ menjemput profit. Ketika pebisnis lain menggaet konsumen dengan promo-promo irasional, Pak Yuli memilih konsisten menjaga kualitas produk demi kepuasan pelanggannya.

Sebagai pebisnis, Pak Yuli juga seorang kapitalis. Namun ia tidak menjalankan bisnisnya dengan napas kapitalisme ekstrem. Andai Pak Yuli menganut kapitalisme ekstrem, ia akan segera membuka lapak baru. Karyawan-karyawan berusia muda yang bisa diupah ‘murah’ akan direkrut. Jika sudah lelah, karyawan tadi bisa berhenti (bahkan) tanpa pesangon. Supplier bahan bakunya akan ditambah agar mie ayamnya selalu tersedia. Pak Yuli mungkin tertarik menunjuk tenaga profesional untuk menjadi direktur cabang agar ia dan keluarga bisa pergi berlibur menikmati saldo ATM yang bertambah otomatis.

Tidak ada salahnya jika Pak Yuli mencoba menjalankan bisnisnya seperti itu. Namun, entah mengapa Pak Yuli tetap konsisten dengan tagline tidak membuka cabang” serta prinsip “manajemen bisnis berbasis keluarga”.

Asumsi saya, Pak Yuli bukan tipe pebisnis yang ‘tegaan’. Ia bisa saja melipatgandakan profitnya dengan lapak yang bercabang dan karyawan yang lebih banyak. Namun ia lebih memilih ‘mengambil laba secukupnya’. Ia mungkin sungkan, jika sampai memecat orang ketika bisnisnya sedang tidak baik. Ia mungkin cemas, jika keberlanjutan bisnisnya dipertaruhkan dengan menunjuk orang baru di luar keluarga inti untuk mengelola bisnis.

Realitasnya, kapitalisme ekstrem memang memiliki sisi gelap. Eksploitasi buruh, upah yang tidak layak, perusakan lingkungan, sampai ‘tindak licik’ di luar hukum demi monopoli, adalah segelintir di antaranya. Semua cara akan dihalalkan demi perolehan profit tanpa melihat efek domino dari keputusan bisnisnya.

Dunia bisnis juga memiliki etika. Ketika sebuah korporasi bisnis mencari untung dengan melanggar etika, pada akhirnya, ia tidak hanya merugikan bisnisnya sendiri. Korporasi bisnis lain, konsumen, dan masyarakat luas bisa saja terkena dampak latennya.

Ketika seorang pedagang bakso kedapatan memakai daging babi berformalin, pedagang bakso di sekitarnya bisa ikut kehilangan pembeli. Padahal pedagang bakso lain sudah berbisnis dengan jujur. Begitu juga dengan pengusaha startup nakal yang memanipulasi keuntungan demi menggaet investor. Ketika perusahaan startup itu mengalami fraud, perusahaan startup sejenis lainnya bisa ikut merugi karena kehilangan minat investor. Padahal perusahaan startup lain sudah berbisnis dengan jujur.

Di tengah hirup-pikuk kapitalisme ekstrem, Pak Yuli sedang mengaduk-aduk mie di lapaknya. Sebuah mangkuk bergambar ayam jago disiapkan. Irisan daging ayam yang gurih ditabur menutupi mie yang sudah matang. Semangkuk mie ayam sarat cita rasa terhidang.

Dari ketuk sumpit dan cecap pelanggannya, cerita kuliner tentang mie ayam Pak Yuli beredar. Aroma dan cita rasanya yang otentik, mengundang pelanggan untuk datang kembali. Semua itu menjadi ‘penglaris alami’ bagi Pak Yuli. Di balik kesederhanaan lapaknya, mie ayam Pak Yuli mengajarkan bahwa bisnis tidak selamanya tentang profit dan kekayaan. Bisnis yang dijalankan dengan etis, mengajarkan pada kita tentang esensi hidup yang sederhana, penuh rasa, dan jauh dari kerakusan materialisme. Itulah bisnis yang akan meninggalkan jejak kebaikan yang nilai kebermanfaatannya akan selalu dirasakan oleh banyak orang.[]

February 08, 2025Benny Prastawa

Saturday, January 4, 2025

Konten Youtube Tempo Dulu


 

The World’s Most Amazing Videos adalah salah satu reality show terbaik yang pernah saya tonton di televisi. Acara tersebut menampilkan kompilasi video berisi adegan-adegan yang mencekam dan menegangkan. Kebakaran besar, ledakan gas, kecelakaan yang hampir fatal, dan momen-momen penyelamatan dramatis, adalah contoh video yang sering ditayangkan. Bagian terbaiknya, setiap video yang disiarkan adalah video asli yang terekam kamera—tanpa gimmick dan tanpa script apapun.

The World’s Most Amazing Videos (selanjutnya saya singkat TWMAV) disiarkan di TV nasional sekitar tahun 2000-an. Saat itu, internet masih “bayi” dan ponsel masih menjadi barang mewah. Karenanya, bagi masyarakat awam, semua klip di acara TWMAV terasa sangat nyata dan mengundang antusiasme tinggi karena baru pertama kali ditonton.

Membahas TWMAV membuat saya teringat pada masa-masa awal Youtube. Jangan dibayangkan Youtube generasi pertama langsung penuh algoritma, FYP, dan cuan dari adsense. Saat itu, Youtube masih menjadi platform video eksklusif. Infrastruktur internet belum sebesar sekarang dan koneksinya terbatas pada jaringan 3G. Karena itu, hanya orang-orang yang memiliki privilege media dan koneksi internet saja yang bisa membuat konten di Youtube.

Keterbatasan infrastruktur internet secara tidak langsung mendorong content creator untuk bersikap selektif di Youtube. Mereka cenderung mengunggah video yang benar-benar organik, bernilai, dan mengundang perhatian orang banyak. Jika itu video lucu, ya memang lucu sekali videonya. Jika itu video absurd, ya memang absurd sekali klipnya. Sesederhana itu.

Salah satu video viral pada masa awal Youtube adalah “Charlie Bit My Finger”. Video yang diunggah pada tahun 2007 itu menjadi viral berkat kelucuan dan kesederhanannya. Dalam video berdurasi 56 detik itu, seorang bayi bernama Charlie menggigit jari kakaknya yang kemudian mengeluh dengan ekspresi lucu “Charlie bit me! That really hurt…”—kira-kira begitu nuansa dialognya.

Video seperti Charlie tadi menjadi gambaran umum konten Youtube generasi pertama. Video-video yang lahir dari spontanitas sehari-hari, tanpa script dan gimmick, selalu terlihat alami dan—seringkali—lebih memiliki nilai (values).

Hal ini jauh berbeda dengan wajah Youtube hari ini yang dibanjiri konten produksi profesional setara dengan kualitas siaran langsung TV Swasta berbayar! Content creator Youtube hari ini sangat mudah membuat video memasak mi instan dengan resolusi 1080p (FullHD).

Pembangunan infrastruktur internet global yang masif memungkinkan transfer data dengan kapasitas yang semakin besar dan semakin cepat. Hal ini sangat mendukung pengembangan platform besar seperti Youtube. Dulu, orang bisa menghabiskan berjam-jam untuk sekedar mengunggah video 2-3 menit—itu pun dengan kualitas pixelated 240-360p atau malah lebih buram. Tapi, kini, mengunggah video serupa dengan resolusi lebih baik bisa dilakukan dalam hitungan detik!

Pada akhirnya, kita bisa melihat wajah Youtube hari ini yang modern, glamour, dan memanjakan dopamin di otak. Youtube sudah sempurna menjadi industri raksasa dengan valuasi mencapai ratusan miliar dollar. Tidak mengherankan jika semakin banyak orang yang tertarik menjadi content creator Youtube karena tergiur cuan di dalamnya.

Sayangnya, kemudahan dan kemewahan ini membuat Youtube kebanjiran konten video. Semua jenis video bisa diunggah tanpa moderasi responsibilitas yang memadai. Video organik seperti video Charlie, sudah tidak relevan dengan standar selera penonton Youtube hari ini. Jika video Charlie diunggah hari ini, jumlah viewers-nya mungkin tidak akan mencapai angka 1000 (kecuali memang sengaja diviralkan).

Kehadiran fitur Shorts (video pendek) juga mempercepat banjir informasi di Youtube. Kita semakin kehilangna kontrol untuk membedakan mana konten yang perlu dan mana konten yang tidak perlu. Bahkan dengan sekali usap, kita sudah lupa konteks video sebelumnya.

Melihat realitas ini, ada remah-remah nostalgia dengan wajah Youtube tempo dulu. Ketika sebuah video diproduksi dengan spontanitas organik yang relatable dengan keseharian, kita akan lebih mudah melihat nilai kebermaknaan dari konten tersebut. Namun dengan begitu banyaknya script, gimmick, dan setting-an yang mewarnai konten Youtube hari ini, kita semakin kesulitan membedakan konten yang bermakna dan konten yang biasa.

Beruntung, masih banyak content creator yang rutin mengunggah video di Youtube dengan tujuan edukasi. Di tengah banjir informasi yang semakin meluap, konten-konten edukasi ini berperan penting dalam menyelamatkan otak penonton agar tetap waras.

Ironisnya, luapan informasi yang tak terbendung membuat penonton Youtube semakin tersegmentasi. Konten berisi hiburan dan kejenakaan menjadi daya tarik yang sulit ditolak karena efektivitasnya dalam merangsang dopamin di otak. Akibatnya, konten-konten edukasi (yang sebenarnya sudah dikemas dengan sangat menarik) menjadi tenggelam karena algoritma Youtube seringkali mengedepankan konten yang memiliki trafik lebih tinggi.

Saya pribadi lebih menikmati konten tekstual di internet daripada konten audio-visual yang disajikan platform seperti Youtube. Membaca situs-situs berita dan tulisan inspiratif yang dikemas dalam gaya penulisan indepth masih menjadi favorit saya. Dalam konten tekstual, saya bisa menyesuaikan kecepatan pemahaman konteks tulisan sesuai dengan preferensi saya. Hal ini tidak bisa saya lakukan pada konten di Youtube yang cenderung mengkondisikan kita sebagai penonton pasif. Sebegitu pasifnya sampai-sampai kita lebih sibuk membaca komentar daripada menyimak konten videonya.

Akhirnya, Youtube tempo dulu dengan video Charlie Bit My Finger menjadi pengingat, bahwa sesuatu yang lahir dari spontanitas yang organik seringkali menghasilkan nilai-nilai yang lebih bermakna. Hal-hal sederhana dari keseharian kita, sebenarnya sudah cukup banyak memberi pelajaran, andai kita memiliki sedikit kepekaan untuk memaknainya. Karena sejujurnya, di tengah lautan informasi artifisial di internet, saya khawatir manusia akan semakin tenggelam dan kehilangan cara untuk menggali kebermaknaan dalam perjalanan hidupnya yang fana ini.[]

January 04, 2025Benny Prastawa