Melihat kenyataan popok kotor yang menumpuk di ember, terkadang
saya kok jadi berpikir agak “milsuf”. Tumpukan popok kotor bisa kita ibaratkan
seperti tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban hidup yang harus kita kerjakan,
tapi kita menunda-nunda penyelesaiannya. Semakin sering kita menunda suatu
tugas maka tugas-tugas itu akan semakin menumpuk dan membuat kita kewalahan. Dengan
kata lain, semakin banyak penundaan yang kita lakukan, semakin enggan kita
menyelesaikan tumpukan tugas itu.
Hal ini sama persis dengan masalah popok bayi. Pada
usia-usia awal pasca kelahiran, bayi cenderung berak dan pipis lebih sering. Konsekuensinya,
bayi harus lebih sering ganti popok karena bayi akan rewel jika memakai popok
kotor. Dalam hal ini, bayi baru lahir biasanya akan memakai popok kain yang
bisa dipakai berulang kali (pemakaian popok sekali pakai biasanya kurang
disarankan karena bisa memicu reaksi alergi pada kulit bayi). Agar bisa dipakai
berulang kali, mau tak mau, orangtua harus rajin mencuci popok bayinya. Dari
sinilah masalah tumpukan popok kotor dimulai.
Entah karena kesibukan atau karena orangtuanya yang “malas”,
tugas mencuci popok sangat mungkin tertunda-tunda. Akibatnya, popok kotor
dengan bau amoniak yang menyengat menumpuk di ember cuci. Jika stok popok
bersih tidak mencukupi, si bayi bisa berada dalam masalah serius—lebih-lebih
bayi yang baru lahir karena tidak tahan jika popoknya kotor.
Untuk menyiasatinya, beberapa orangtua mungkin akan
berpaling pada popok sekali pakai yang lebih praktis. Begitu bayi ngompol atau
berak, popok sekali pakai bisa segera dibuang. Urusan popok kotor pun selesai.
Dengan cara ini, para orangtua tidak perlu repot memikirkan cucian popok yang
menggunung di ember.
Tapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, popok sekali pakai
sangat mungkin memicu reaksi alergi pada kulit bayi. Reaksi alergi ini biasanya
berupa ruam atau bercak-bercak kemerahan pada bagian pantat, selangkangan, atau
pada lipatan-lipatan paha yang bersinggungan dengan popok. Karena itu, popok kain
menjadi pilihan teraman agar bayi tidak menderita karena reaksi alergi semacam
ini. Sungguh tidak “berperi-kebayian” sekali jika orangtua memilih kulit si
bayi menderita hanya karena keengganan dan kemalasan mereka mencuci popok.
Dan begitulah, urusan cuci-mencuci popok kotor ini menjadi
potret tugas-tugas dan kewajiban hidup kita sehari-hari. Popok yang kotor akan
segera menumpuk jika tidak segera dicicil pencuciannya. Begitu pula dengan
tugas-tugas dan kewajiban dalam hidup yang harus segera kita tunaikan. Terlepas
dari apapun status sosial dan profesi yang kita jalani, kita harus konsisten
menyelesaikan tugas-tugas tersebut agar tidak menumpuk dan menimbulkan masalah
di kemudian hari.
Ya, seperti popok kotor tadi. Cara terbaik mengatasi popok
kotor adalah mencucinya sesegera mungkin. Jadi, ketika satu dua popok sudah
terkena urin atau feses, cucilah segera popok itu. Jika cara ini dirasa
memberatkan, maka cicillah pencucian popok setiap 6 sampai 10 jam sekali—jangan
sampai membiarkan popok kotor lebih dari 24 jam (kasihan baunya).
Begitu pula dengan tugas atau pekerjaan kita sehari-hari.
Tidak ada jawaban lain yang lebih baik untuk mengatasi tumpukan tugas, selain
dengan menyelesaikannya sesegera mungkin sebelum tugas-tugas itu
“beranak-pinak” dan menumpuk lebih banyak lagi.
Yang perlu kita ingat, setiap penundaan kita atas tugas dan
kewajiban-kewajiban yang seharusnya kita kerjakan akan selalu menuntut
“bayarannya”. Seorang pelajar atau mahasiswa, misalnya, jika mereka tidak
kunjung mengerjakan tugas-tugasnya, maka studinya bisa berantakan, nilai tidak
maksimal, sampai-sampai kelulusan pun serba tertunda. Si pelajar atau mahasiswa
jelas akan merugi, termasuk orangtuanya yang telah berdarah-darah membiayai
studinya. Seorang karyawan, jika mereka tidak kunjung menggarap pekerjaannya,
maka klien atau atasannya boleh jadi dirugikan. Imbasnya, sanksi-sankisi
administratif pun dijatuhkan, bonus-bonus dinihilkan, liburan tertunda, gaji
bulanan disunat, sampai yang terparah menghadapi resiko pemecatan.
Berteori dan beretorika memang mudah. Sedangkan untuk
implementasi dalam keseharian perlu adanya tekad kuat dan disiplin diri yang
tidak setengah-setengah. Selagi tubuh kita sehat dan waktu luang kita banyak,
ada baiknya kita mensyukuri nikmat-nikmat itu dengan menyelesaikan apa yang
menjadi tanggungan kita. Yah, seperti tulisan di gerobak sampah yang sering
mangkal di dekat tempat kerja saya: “Diparingi
Sehat, Kudu Manfaat” (diberi kesehatan, harus memberi manfaat). Semoga kita
semua bisa konsisten menyelesaikan tugas serta dijauhkan dari racun kemalasan
dan sikap menunda-nunda.[]
#backDate