"Tak perlu topeng untuk menjadi seorang superhero.
Yang kau butuhkan hanya sebuah uluran tangan yang ikhlas,
demi menolong sesama."
Yang kau butuhkan hanya sebuah uluran tangan yang ikhlas,
demi menolong sesama."
Sejak
kecil, saya dididik televisi untuk kenal akrab dengan tokoh superhero fiksi
seperti Batman, Spiderman, Kamen Rider, Power
Rangers, sampai Bima Satria Garuda. Kebanyakan plot cerita
superhero tersebut berkisah tentang “kebaikan melawan kejahatan”. Karena masih
bocah, saya selalu tertarik mengikuti kisah petualangan para superhero tanpa
bosan. Saking nge-fans-nya, saya gemar mengkoleksi beberapa mainan model para
tokoh superhero tersebut. Sesekali, saya juga membeli "topeng" untuk
kemudian bermain perang-perangan dengan teman dengan berperan sebagai salah
satu tokoh superhero.
Saat itu,
saya tidak peduli dengan plot cerita superhero yang terlalu fiktif dan
mengada-ada. Saya tidak peduli bagaimana bisa seekor lalat alien
datang ke bumi untuk kemudian mengacak-acak seisi kota secara membabi buta.
Saya juga tidak berpikir mengapa para polisi tidak pernah turun tangan menangkap
para monster itu langsung. Alih-alih sekumpulan manusia super berkostum anehlah
yang menghajar para monster jahat. Tidak logis memang. Meski begitu, saya tetap
asyik menontonnya. Hingga tanpa sadar saya begitu terinspirasi dengan cerita
kepahlawanan para superhero.
Jika
semasa bocah saya terbiasa menonton tokoh superhero fiksi, setelah beranjak
dewasa saya mulai berpikir tentang tokoh superhero yang benar-benar ada di
dunia nyata. Saya yakin, bumi yang kita tinggali sebenarnya baik-baik saja.
Kita tidak sedang berperang melawan monster jahat atau sekawanan alien barbar
yang turun ke bumi dengan pesawat kapsul. Alih-alih, dunia kita dipenuhi oleh
banyak superhero. Di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, ada saja
orang-orang yang bisa berperan menjadi superhero. Salah satunya adalah tukang
tambal ban di pinggir jalan.
Sejak
ditemukannya teknologi ban oleh Dunlop, jasa tukang tambal ban menjadi sangat
vital. Setiap saat, sering kita temui para pengendara malang yang mengalami
kebocoran ban di tengah jalan. Pada saat itu, tidak sembarang orang bisa
mengatasi masalahnya seketika. Diperlukan kecakapan teknik perbengkelan dan
seperangkat mesin penambal untuk mengatasi masalah itu. Pada kasus ini, yang
kita butuhkan adalah seorang tukang tambal ban.
Bayangkan,
suatu hari kita sedang berkendara malam-malam. Tiba-tiba, ban motor kita bocor
tertusuk garpu paku. Kita pun panik. Jalanan yang kita lalui
sudah mulai lenggang. Penduduk sekitar sudah terlelap di kamar masing-masing.
Tukang tambal ban tidak ada yang buka di sana sini. Hanya ada toko berjejaring
yang pintunya terbuka 24 jam.
Jika
kalian dihadapkan pada situasi seperti itu, apa yang akan kalian lakukan?
- Menghubungi kenalan terdekat untuk menjemput kita? Ya,
itu sih solusi paling mudah dan praktis. Tapi bagaimana jika tidak ada
seorang pun yang bisa menjemput kita karena hari sudah larut malam?
- Tetap mengemudikan kendaraan dengan ban bocor? Bisa
saja, meski beresiko celaka, apalagi jika jarak ke tempat tujuan masih jauh.
- Meminta pemilik toko untuk mengantarkan kita pulang?
Bisa saja, tapi saya tidak yakin kalian mau memilih opsi ini.
- Membawa motor ke kantor polisi? Ide konyol. Motor kita
kan bocor, bukan kena tilang. Buat apa dibawa-bawa ke kantor polisi?
- Teriak-teriak meminta tolong sambil berharap diangkut
mobil ambulans karena disangka orang gila???
Absurd!
Pada
situasi seperti itu, tidak ada yang bisa menolong kita selain tukang tambal
ban. Ya, simply, kita cuma butuh tukang tambal ban! Kita tidak bisa
pergi ke toko jejaring kemudian membeli pembalut banyak-banyak untuk mengatasi
kebocoran ban kita. Kita juga tidak bisa memaksa sembarang orang yang lewat
untuk sekadar menambal ban kita. Satu-satunya orang yang kita butuhkan saat itu
hanya seorang tukang tambal ban!
Karena
itu, terpujilah para tukang tambal ban yang masih buka hingga larut malam.
Keberadaan mereka sangat penting untuk menolong para pengendara malang yang
mengalami kebocoran ban di tengah jalan. Saking berjasanya, tidak etis jika
kita sampai misuh-misuh hanya karena tarif yang para tukang
tambal ban tengah malam cenderung lebih mahal. Jika dipikir-pikir, anggap saja
"impas" dengan jasa mereka menyelamatkan kendaraan kita.
Dalam
tulisan ini, saya tidak sedang membanding-bandingkan profesi. Saya hanya
mengajak untuk lebih menghargai profesi orang lain. Umumnya, kita terbiasa
menilai suatu profesi berdasarkan besaran gaji atau penghasilan yang diperoleh.
Tapi kita tidak bisa naif. Setiap profesi memiliki fungsinya masing-masing.
Ibarat sistem pencernaan, setiap profesi di dunia ini ada yang berperan menjadi
mulut, lambung, usus, pankreas, anus dan sebagainya. Bayangkan, betapa rusaknya
sistem pencernaan kita jika anus itu tidak pernah ada.
Realitanya,
manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya untuk bertahan hidup.
Betapapun kayanya, ktia tetap perlu bantuan orang lain, bahkan sekedar untuk
makan. Dari mana kita mendapatkan beras dan segala lauk-pauk jika tidak ada
seorang pun yang mau menjadi petani? Bagaimana kita membersihkan seisi kota
jika tak ada seorang pun yang menjadi tukang sampah? Bagaimana kita bepergian
jika tak ada seorang pun yang mau menjadi buruh pengaspal jalan? Pun bagamana
jika ban mobil kita bocor tanpa ada seorang pun yang mau menjadi tukang tambal
ban? Bayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi jika tidak ada seorang pun
yang mau menjalani profesi-profesi semacam itu.
Dalam
konteks profesi tukang tambal ban, kita tidak bisa menilai profesi tersebut
hanya berdasarkan tingkat penghasilan yang diperolehnya. Kita tidak bisa naif
menilai suatu profesi sedangkal itu. Ada sisi “kemanusiaan” yang bisa kita
lihat dalam setiap profesi yang kita jalani. Tak peduli kita seorang guru,
dokter, pengacara, polisi, buruh, pedagang, petani, maupun tukang tambal ban.
Setiap profesi memiliki peranannya masing-masing dalam sistem kehidupan. Setiap
profesi layak mendapat apresiasi selama itu halal dan tidak bertentangan dengan
hukum. Karena sebaik-baiknya profesi, adalah profesi yang kita jalani
dengan sepenuh keikhlasan dan sepenuh pengabdian. Tak tertolak.
Ada
pesepakbola di kota Manchester yang digaji 300 ribu poundterling per minggu
(setara dengan sekitar 5,6 milyar rupiah). Padahal kerjaannya pesepakbola itu
ngapain sih? Bersih-bersih masjid? Mencangkul sawah? Menanam padi? Sama sekali
tidak. Dia digaji karena keterampilannya menggiring bola melewati garis gawang.
Sesederhana itu.
Bandingkan
dengan sekawanan buruh kasar yang tengah bermandikan peluh mengaspal jalan di
tengah terik matahari. Buruh-buruh itu tahu, penghasilan yang diperoleh dari
pekerjaannya tidak sebesar pesepakbola di Manchester tadi. Mereka juga tahu
jika profesinya boleh jadi tidak sekeren pesepakbola itu. Tapi, dunia ini
membutuhkan tenaga mereka. Harus ada seseorang yang ikhlas menjadi buruh
pengaspal jalan demi kelancaran transportasi umat manusia. Secanggih apapun
kendaraannya, kita tetap membutuhkan jalan yang layak untuk kelancaran laju
kendaraan kita.
Begitu
juga dengan para tukang tambal ban. Selama peradaban kita mengenal ban dan
roda, selama itu pula kita membutuhkan jasa para tukang tambal ban. Setidaknya,
sampai para ilmuwan menemukan teknologi yang bisa membuat kita bepergian—tanpa
perlu sepasang roda untuk berpijak. Dan bagi saya, para tukang tambal ban di
pinggir jalan adalah para superhero yang sebenarnya. []