Di antara mimpi dan realitas, selalu ada
“harapan”
yang membuat kita lebih kuat dan tidak
pernah letih untuk terus berupaya
(Benny Prastawa)
Dalam hidup ini, seringkali
kita sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau keinginan
kita. Jika kita seorang pelajar, tentu kita ingin mendapat nilai yang baik.
Jika kita seorang petani, tentu kita ingin panen kita berlimpah. Jika kita
seorang pedagang, tentu kita ingin usaha kita maju dengan omset jutaan.
Demikian seterusnya.
Namun pada kenyataannya, jerih
payah yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang
diperoleh. Pada titik ini, semua usaha yang kita lakukan tampak sia-sia. Kita pun
merasa Tuhan berlaku tidak adil.
Seorang pelajar, misalnya, menjelang
ulangan umum dia telah belajar keras untuk mendapat nilai terbaik. Tidak cuma di
sekolah, intensitas belajarnya ditambah dengan les dan privat. Segala bentuk soal
latihan dilahapnya untuk menjamin bahwa si pelajar betul-betul menguasai materi.
Si pelajar yakin bahwa ia akan lulus dengan nilai terbaik.
Pada hari berlangsungnya ujian,
entah kenapa si pelajar merasa agak gugup. Perasaannya tidak tenang saat
mengerjakan soal-soal ujian. Di tengah-tengah ujian, mendadak si pelajar merasa
tidak enak badan. Pikirannya tidak mampu berkonsentrasi. Pada akhirnya, ujian hari
itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ketika hasil ujian dibagikan,
si pelajar mendapati nilainya tidak sebagus harapannya. Meskipun tergolong tinggi,
dia gagal mewujudkan keinginannya untuk meraih nilai terbaik. Sebagai seorang
pelajar yang ambisius dengan segala kesempurnaan belajarnya, dia merasa hasil
yang diterima tidak adil. Si pelajar merasa berhak mendapatkan hasil yang lebih
baik. Tapi ujian telah usai, dan lembar nilai telah dibagi.
* * *
Tulisan ini tidak sedang
mendoktrin kalian untuk berhenti berusaha. Ilustrasi di atas hanya gambaran
kecil bagaimana usaha yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan
hasil yang kita harapkan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana kita menyiapkan diri untuk
berlapang dada dengan hasil apapun yang kita peroleh. Sesempurna apapun
usaha kita, sebaik apapun proses belajarnya, dan sematang apapun rencananya, semua
itu tetap tidak menjamin 100 persen bahwa kita akan berhasil. Sekecil apapun
peluangnya, selalu ada kemungkinan kita gagal. Karena kehidupan ini bukanlah
persamaan matematika. Itu sebabnya, sebagai umat beragama kita diminta untuk selalu
bertawakal. Kita harus mengakui bahwa ada ‘tangan-tangan tidak terlihat’ yang berkuasa
penuh atas roda kehidupan di dunia. Kita harus legowo jika suatu saat jerih payah kita tidak sebanding dengan
hasil yang kita peroleh.
Pertanyaannya, jika memang
segala sesuatu sudah ditakdirkan dan segala hasil sudah ditetapkan Tuhan, lalu untuk
apa kita menjalani kehidupan ini? Untuk apa kita berletih-letih bekerja, jika
hasil dari usaha kita sudah ditentukan sebelumnya?
Seorang bijak pernah
menasehati saya untuk belajar dari seekor burung yang terbang mencari makan di
pagi hari. Beliau berkata “Seumur-umur,
saya belum pernah mendapati burung yang mati karena kelaparan”.
Ya, meski Tuhan berkuasa
penuh atas kehidupan yang kita jalani, sampai batas-batas tertentu Tuhan
memberi kita kebebasan untuk memilih jalan usaha mana yang ingin kita tempuh. Karena
hidup ini adalah PILIHAN. Setiap saat,
kita dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang bisa kita ambil. Kita bisa
memilih untuk giat bekerja atau tidur bermalas-malasan. Kita bisa memilih untuk
sibuk belajar atau duduk melamun. Kita bisa memilih untuk sibuk berkarya atau
diam menanti tua. Semua itu pilihan bebas kita. Tuhan tidak pernah membatasi
kita dalam memilih jalan hidup yang ingin kita jalani.
Yang harus kita perhatikan
adalah kenyataan bahwa untuk setiap pilihan, selalu ada ‘konsekuensi’ yang akan
kita tanggung. Misalnya, pada kasus pelajar yang kita bahas sebelumnya. Pelajar
itu mempunyai pilihan untuk sibuk belajar atau memilih untuk bermalas-malasan. Dalam
hal ini, dia memilih untuk sibuk belajar. Terlepas dari kegagalannya meraih nilai
terbaik, pelajar itu telah memilih pilihan terbaik yang bisa diambil. Pilihannya
untuk tekun belajar memperbesar
peluangnya mendapatkan takdir yang dia harapkan (nilai terbaik).
Memperbesar peluang untuk mendapatkan takdir yang kita
harapkan—itulah jawaban logis dari
usaha-usaha kita selama ini. Kita memang tidak bisa menjamin setiap usaha kita akan
selalu berhasil. Tapi usaha-usaha tersebut memperbesar peluang kita untuk
berhasil, dan memperkecil kemungkinan kita untuk gagal. Dengan katalain, kita
hanya mampu mengontrol tindakan kita, bukan hasil akhir dari tindakan yang kita
lakukan.
Contoh lain, misalnya pada
saat kita mengendarai motor. Dalam hal ini, tindakan yang bisa kita kontrol adalah
cara kita mengemudikan motor itu. Jika kita mengemudikannya dengan hati-hati dan
mematuhi rambu-rambu lalu lintas, maka peluang kita untuk selamat sampai tujuan
semakin besar. Jika pada akhirnya kita jatuh tersenggol kendaraan lain, maka
itulah takdir. Kita tidak bisa mengontrol hal tersebut. Tapi setidaknya, dengan
kita berhati-hati saat mengemudikan motor, hal itu jauh lebih baik bagi
keselamatan kita daripada mengemudikan motor secara ugal-ugalan. Alih-alih tindakan
itu justru memperbesar peluang kita tertimpa kecelakaan.
Karenanya, meski terkadang usaha
kita tidak berbanding lurus dengan hasil yang kita dapatkan, kita harus selalu
percaya bahwa tidak ada kerja keras yang
sia-sia! Setiap kerja keras akan menuai
kompensasinya. Boleh jadi si pelajar tidak mendapat nilai terbaik, tapi
usahanya membuatnya menjadi pelajar yang lebih berprestasi daripada pelajar
yang bermalas-malasan. Ketekunannya dalam belajar telah memperbesar
kemungkinannya mendapatkan takdir yang lebih baik di masa mendatang.
Dalam kehidupan ini, totalitas
kita dalam berupaya adalah ikhtiar terbaik untuk mewujudkan keinginan dan
cita-cita. Apapun hasilnya, kita harus tetap percaya bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia. Setiap kerja keras pasti akan melatih
kita untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan begitu, daripada sibuk memikirkan
hasil, alangkah bijaknya jika kita khusyu’
menikmati setiap jengkal prosesnya. Itulah cara terbaik untuk membuktikan sikap
tawakal kita. Dan itulah jawaban terbaik untuk
menerima segala ketetapan-Nya.[]